Duta, Pontianak | Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga jendela untuk melihat siapa kita sebagai bangsa. Ada pepatah lama yang mengatakan, “bahasa menunjukkan bangsa”.
Cara seseorang berbahasa bisa mencerminkan cara berpikir, sikap hidup, bahkan karakternya. Itulah sebabnya, membiasakan mahasiswa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan semata soal tata bahasa, melainkan juga soal pembentukan karakter.
Sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 1928, lalu ditetapkan dalam UUD 1945 sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia telah berkembang pesat. Menurut Achmad (2011), bahasa Indonesia kini bukan hanya lambang jati diri bangsa, melainkan juga alat pemersatu ratusan suku yang ada di negeri ini.
Ia menjadi jembatan komunikasi yang memungkinkan kita saling memahami, meski berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Sayangnya, di era modern ini, posisi bahasa Indonesia kerap diuji. Banyak generasi muda yang merasa lebih percaya diri bila memakai istilah asing dalam percakapan maupun tulisan. Bahasa Indonesia dianggap ketinggalan zaman, bahkan kampungan.
Akibatnya, muncullah bahasa gaul yang sering kali jauh dari aturan kebahasaan. Fenomena ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Jika dibiarkan, kecintaan terhadap bahasa sendiri bisa semakin pudar.
Padahal, menurut Mulyasa (2012), bahasa Indonesia memiliki fungsi besar dalam mendukung pembangunan bangsa. Bahasa menjadi alat untuk menyampaikan gagasan, menyalurkan emosi, bahkan mengorganisasi harapan.
Melalui bahasa, kita bisa mengekspresikan diri sekaligus berkontribusi bagi masyarakat. Bagi mahasiswa, keterampilan berbahasa sesungguhnya juga merupakan pendidikan karakter.

Keterampilan bahasa
Coba kita lihat empat keterampilan berbahasa. Pertama, keterampilan menyimak. Mahasiswa yang terbiasa mendengarkan dengan baik akan tumbuh menjadi pribadi yang setia dan mampu menghargai orang lain. Kedua, keterampilan membaca. Dengan membaca, mahasiswa berlatih memahami pikiran orang lain, memperluas wawasan, sekaligus menumbuhkan sikap kritis. Ketiga, keterampilan berbicara.
Kemampuan menyampaikan ide secara runtut dan santun akan membentuk pribadi yang percaya diri dan komunikatif. Terakhir, keterampilan menulis. Menulis melatih kedisiplinan berpikir, keteraturan, dan tanggung jawab intelektual. Keempat keterampilan itu bila dibiasakan akan membentuk karakter mahasiswa yang jujur, kritis, berani, sekaligus santun.
Lebih jauh lagi, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai cermin kepribadian bangsa. Penggunaan bahasa yang sopan dan teratur menunjukkan bangsa yang berbudaya, sementara bahasa yang serampangan justru mencerminkan lemahnya karakter. Bahasa Indonesia juga menjadi perekat yang menyatukan keberagaman, sarana pengembangan ilmu pengetahuan, sekaligus pembentuk identitas nasional.
Wood (2009) menyebutkan bahwa karakter itu terkait dengan kekuatan moral seseorang: kejujuran, kesetiaan, keberanian, dan integritas. Semua nilai itu bisa tercermin dari cara seseorang berbahasa.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Gorys Keraf, pakar bahasa Indonesia, yang menegaskan bahwa penguasaan bahasa yang baik bukan hanya soal teknis komunikasi, tetapi juga soal pembentukan kepribadian. Bahasa yang jelas, logis, dan jujur menandakan cara berpikir yang sehat. Sementara penguasaan gaya bahasa yang menarik dapat membuat seseorang lebih percaya diri, persuasif, dan mampu membangun interaksi yang positif.
Dengan kata lain, bahasa Indonesia adalah cermin moral dan karakter bangsa. Ia mengajarkan kita untuk jujur dalam kata-kata, disiplin dalam berpikir, santun dalam menyampaikan gagasan, sekaligus bangga dengan identitas kita sendiri.

Kesetiaan sejati Indonesia
Namun, tantangan besar memang ada. Media sosial, misalnya, sering kali menjadi arena lahirnya bahasa campur-campur dan singkatan yang jauh dari kaidah. Memang, bahasa selalu berkembang, tetapi kita tidak boleh kehilangan akar. Tugas mahasiswa adalah menjaga agar bahasa Indonesia tetap hidup, relevan, dan terhormat, baik di ruang akademik maupun di ruang digital.
Bangsa-bangsa besar di dunia justru dikenal karena bangga dengan bahasanya sendiri. Jepang, Korea, dan Prancis adalah contoh nyata. Mereka menguasai bahasa asing, tetapi tetap menempatkan bahasa nasional di posisi terhormat. Kita pun harus begitu. Menguasai bahasa asing itu penting, tetapi mencintai bahasa Indonesia adalah wujud kesetiaan pada jati diri bangsa.
Bahasa Indonesia adalah jantung kebudayaan kita. Ia adalah perekat persatuan, cermin moral, sekaligus alat pembentuk karakter mahasiswa sebagai generasi penerus. Jika mahasiswa mampu menempatkan bahasa Indonesia sebagai bagian dari hidup mereka, bangsa ini akan tetap kokoh berdiri di tengah arus globalisasi.
Karena kehilangan bahasa berarti kehilangan jati diri, dan kehilangan jati diri sama saja dengan kehilangan masa depan.
*Penulis merupakan Dosen di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak, Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa Pontianak.