Sunday, September 21, 2025
More

    Saat Jonggan Terancam Distorsi

    Duta, Kalbar | “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.” Salam budaya ini bukan sekadar sapaan, melainkan pengingat akan tanggung jawab kita untuk menjaga warisan leluhur. Salah satunya adalah Tari Jonggan, tarian khas Dayak di Kalimantan Barat, yang kini sedang menghadapi tantangan serius di tengah arus modernisasi.

    Tari Jonggan bukanlah tarian biasa. Ia lahir dari rahim kebudayaan Dayak (Kanayatn), sebagai simbol kegembiraan, ekspresi rasa syukur, bahkan menjadi sarana interaksi sosial—termasuk untuk mencari pasangan hidup. Dengan demikian, Jonggan menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar gerak tubuh indah yang dipertontonkan. Ia adalah cermin jiwa masyarakat Dayak, penanda identitas, dan pengikat kebersamaan.

    Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul keprihatinan mendalam. Di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok, kita menemukan pertunjukan Jonggan yang melenceng dari makna aslinya. Alih-alih menjadi pelestarian, penampilan-penampilan itu justru mendistorsi nilai, menjadikan Jonggan sekadar hiburan kosong yang terlepas dari akar budayanya. Hal ini tentu membahayakan keaslian sekaligus martabat seni tradisional kita.

    Fenomena ini memperlihatkan betapa mudahnya budaya tergelincir ketika berhadapan dengan logika viral dan pasar hiburan digital. Modernisasi memang tak bisa dihindari, tetapi pelestarian budaya tidak boleh dikorbankan. Bila Jonggan hanya ditampilkan secara sembarangan demi tontonan singkat, maka generasi mendatang akan kehilangan kesempatan untuk mengenal makna sejati dari warisan leluhur ini.

    Karena itu, ada beberapa langkah yang patut kita ambil. Pertama, para pelaku seni, sanggar tari, dan generasi muda perlu menampilkan Jonggan sesuai pakem adat dan nilai filosofisnya. Bukan berarti tarian tidak boleh berkembang, tetapi pengembangan harus tetap berpijak pada akar yang kuat.

    Kedua, Dewan Adat Dayak, Timanggong, dan para pemangku adat perlu menyusun aturan adat yang jelas mengenai pelaksanaan Jonggan. Aturan ini bukanlah belenggu, melainkan pagar agar budaya tidak tercerabut dari maknanya. Ketiga, tindakan tegas, termasuk sanksi adat, perlu diberlakukan terhadap pihak-pihak yang merusak atau menyalahgunakan Jonggan demi kepentingan pribadi.

    Kita juga harus menyadari bahwa Jonggan bukan sekadar milik Dayak, tetapi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Dengan memelihara keaslian Jonggan, kita ikut menjaga keanekaragaman budaya yang menjadi identitas nasional. Di era pariwisata budaya dan diplomasi seni, Jonggan bisa menjadi daya tarik dunia, selama ia ditampilkan dengan cara yang benar dan bermartabat.

    Budaya adalah jiwa bangsa. Bila ia terkikis, kita akan kehilangan arah dan jati diri. Oleh karena itu, melestarikan Jonggan berarti melestarikan diri kita sendiri—bukan hanya untuk ditonton hari ini, tetapi untuk diwariskan esok hari. Mari kita jadikan Jonggan bukan sekadar pertunjukan, melainkan perwujudan cinta kita pada warisan leluhur.

    *Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, kampus II Pontianak.

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe
    spot_img
    spot_img
    spot_img
    spot_img

    Latest Articles