Sunday, September 21, 2025
More
    Home Blog Page 2

    Mendorong Percepatan Kualitas SDM Kalimantan Barat di 100 Hari Pemerintahan Baru

    Agusandi, S.E., M.E.- Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak

    Duta, Pontianak | Seratus hari pertama pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat menjadi momen penting untuk menilai arah dan langkah strategis pembangunan daerah. Evaluasi ini bukan sekadar catatan kritik, melainkan dorongan agar pemerintah bekerja lebih cepat, tepat, dan fokus pada masalah fundamental: peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, tanpa SDM yang unggul, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka di atas kertas, tanpa benar-benar menyentuh kesejahteraan rakyat, khususnya kelompok berpendapatan rendah.

    Pertama, kita perlu jujur melihat posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat. Meskipun tren pertumbuhannya positif, posisi kita masih berada di peringkat 31 dari 38 provinsi di Indonesia, dan peringkat terakhir di antara provinsi di Pulau Kalimantan tahun 2024. Artinya, kecepatan kita tidak cukup untuk mengejar ketertinggalan. Pemerintah harus berani membuat terobosan yang mempercepat perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. Jangan sampai kita terjebak dalam kepuasan semu hanya karena grafik menunjukkan kenaikan, padahal secara peringkat kita tertinggal jauh.

    Kedua, akses kesehatan perlu menjadi perhatian serius. Kasus di Desa Amawakng, Kecamatan Sompak, Kabupaten Landak menunjukkan adanya masyarakat penerima bansos PBI-JK (Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan) yang bahkan tidak tahu dirinya sudah tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan.

    Minimnya informasi dan pendampingan membuat bantuan pemerintah menjadi tidak efektif. Ditambah lagi, data per 9 Mei 2024 memperkirakan masih ada sekitar 600 ribu masyarakat Kalimantan Barat yang belum memiliki BPJS Kesehatan. Pemerintah harus segera melakukan gerakan massif, jemput bola, dan kolaborasi lintas sektor agar jaminan kesehatan benar-benar dirasakan oleh masyarakat.

    Ketiga, selain kesehatan, perlindungan tenaga kerja juga tidak boleh diabaikan. Program subsidi BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja bukan penerima upah harus diperluas. Banyak masyarakat bekerja di sektor informal yang rawan risiko, namun tidak terlindungi jaminan sosial. Ini bukan hanya soal perlindungan, tetapi juga wujud kehadiran negara bagi masyarakat kecil.

    Keempat, persoalan klasik yang terus menghantui Kalimantan Barat adalah terbatasnya lapangan kerja. Pemerintah perlu menyiapkan strategi serius untuk mempercepat investasi, mengembangkan UMKM, serta mendorong sektor unggulan daerah seperti pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Lapangan kerja yang luas akan mengurangi angka pengangguran dan sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat.

    Kelima, akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin harus dijamin melalui program beasiswa kuliah. Tanpa itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu akan sulit bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif. Beasiswa bukan hanya bentuk kepedulian sosial, melainkan juga investasi jangka panjang untuk membangun generasi Kalimantan Barat yang lebih berkualitas.

    Segera Daftarkan diri Anda 

    Keenam, pemerintah juga harus memastikan bahwa upah minimum yang telah ditetapkan benar-benar diterima pekerja. Penegakan aturan terkait upah ini menjadi indikator seberapa serius pemerintah melindungi buruh dan pekerja. Tanpa pengawasan yang ketat, aturan hanya akan berhenti di atas kertas, sementara di lapangan pekerja tetap hidup dalam kerentanan.

    Enam persoalan ini sesungguhnya bukan hal baru. Pertumbuhan dan peningkatan setiap tahun memang ada, tetapi laju kita terlalu lambat dibandingkan daerah lain. Dalam konteks inilah, pemerintah Kalimantan Barat ditantang untuk bergerak cepat, progresif, dan berani mengambil langkah-langkah inovatif.

    Rakyat tidak hanya butuh angka pertumbuhan, tetapi juga perubahan nyata yang bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Seratus hari pertama adalah fondasi, namun perjalanan panjang masih menanti. Harapannya, Gubernur dan Wakil Gubernur mampu menjadikan momentum ini sebagai pijakan untuk mempercepat lompatan pembangunan SDM Kalimantan Barat, sehingga kita tidak lagi menjadi penonton dalam kompetisi nasional, melainkan mampu bersaing sejajar dengan provinsi lain.

    *Agusandi, S.E., M.E. adalah Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak

    Konfusius, Pendidikan, dan Jalan Menuju Kemakmuran

    Drs. Suardi M.Pd, Unika San Agustin

    Duta, Pontianak | Konfusius, seorang filsuf besar dari Tiongkok kuno, telah meninggalkan warisan pemikiran yang tak lekang oleh zaman. Ajaran-ajarannya yang lahir lebih dari dua ribu tahun lalu, masih dapat kita renungkan dalam konteks kehidupan modern, termasuk di Indonesia. Salah satu gagasannya yang paling penting adalah keyakinan bahwa pendidikan merupakan fondasi utama kemakmuran sosial dan ekonomi.

    Ungkapan terkenalnya, “Jika Anda ingin seratus tahun kemakmuran, didiklah masyarakat,” bukanlah sekadar nasihat filosofis, melainkan peta jalan strategis bagi sebuah bangsa. Konfusius meyakini bahwa pendidikan bukan hanya sarana peningkatan kualitas individu, melainkan juga kunci membangun masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Dengan kata lain, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya tidak hanya dinikmati oleh individu, tetapi juga oleh seluruh tatanan sosial.

    Salah satu keunggulan pemikiran Konfusius adalah pandangannya yang sangat luas mengenai pendidikan. Bagi Konfusius, pendidikan bukan sekadar akumulasi pengetahuan akademis, tetapi juga pembentukan karakter dan pengembangan moralitas. Nilai-nilai seperti kasih sayang, kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kearifan moral ditempatkan sebagai inti dari proses belajar.

    San Agustin – Keuangan dan Perbankan

    Ia percaya bahwa semua orang, tanpa memandang status sosial, memiliki potensi untuk dididik. Prinsip pendidikan untuk semua ini jelas melampaui zamannya. Pada masa itu, pendidikan sering dianggap hak istimewa kaum bangsawan atau keluarga tertentu. Namun Konfusius menegaskan bahwa setiap manusia berhak untuk berkembang melalui pendidikan.

    Guru, dalam pandangan Konfusius, bukan sekadar pemberi informasi, tetapi juga teladan hidup. Ia harus menjadi model moral yang bisa ditiru murid-muridnya. Karena itulah, Konfusius menekankan metode pembelajaran berbasis keteladanan, diskusi kritis, dan tanya jawab yang mendorong siswa berpikir mandiri.

    Konfusius pernah berkata, “Dapatkan pengetahuan baru sambil memikirkan yang lama, dan Anda mungkin menjadi guru bagi orang lain.”

    Kalimat ini mengandung makna bahwa proses belajar selalu harus berakar pada refleksi, sehingga pengetahuan lama tidak tercerabut dari konteksnya, sementara pengetahuan baru tidak sekadar menjadi hafalan belaka.

    Relevansi dengan Zaman Modern

    Ketika kita menoleh ke dunia modern, banyak negara telah membuktikan bahwa pendidikan yang kokoh merupakan kunci kemajuan. Finlandia dan Jepang, misalnya, mampu membangun sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek akademis, tetapi juga menumbuhkan karakter, kreativitas, dan keterampilan hidup. Hasilnya, mereka mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera, produktif, dan berdaya saing tinggi.

    Hal ini sejalan dengan pandangan pengamat budaya dan ekonomi kreatif, Harry Waluyo, yang menegaskan bahwa metode pendidikan seperti pembelajaran berbasis keteladanan, diskusi kritis, dan pembelajaran sepanjang hayat tetap relevan hingga saat ini. Pendidikan bukan hanya menyiapkan tenaga kerja, tetapi juga membangun manusia yang utuh.

    Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat relevansi pemikiran Konfusius dalam kebijakan pendidikan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017, pendidikan di Indonesia diarahkan bukan hanya untuk mencetak generasi cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter sesuai nilai-nilai Pancasila: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan berintegritas.

    Segera Daftarkan diri Anda. 

    Pendidikan Karakter sebagai Fondasi Bangsa

    Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sejatinya merupakan bentuk modern dari apa yang diajarkan Konfusius. Pendidikan karakter ditekankan sejak usia dini (1–12 tahun), masa emas pembentukan kepribadian manusia. Tidak hanya guru, orang tua dan masyarakat juga memiliki peran vital dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan.

    PPK juga menekankan pentingnya penguasaan keterampilan abad ke-21, berpikir kritis, kreatif, mampu berkolaborasi, dan berkomunikasi dengan baik. Di era digital yang penuh disrupsi, anak-anak kita tidak hanya dituntut cerdas secara kognitif, tetapi juga harus memiliki daya tahan moral agar tidak hanyut dalam arus negatif globalisasi.

    Presiden Jokowi bahkan menekankan perlunya pemanfaatan teknologi informasi sejak dini, bukan hanya untuk menguasai keterampilan digital, tetapi juga untuk memperkuat nilai karakter bangsa dalam konteks global. Dengan kata lain, pendidikan karakter di Indonesia tidak boleh berhenti pada slogan, tetapi harus benar-benar menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.

    Pendidikan sebagai Jalan Perbaikan Diri dan Masyarakat

    Konfusius percaya bahwa melalui pendidikan, individu dapat memperbaiki diri sekaligus berkontribusi pada kemajuan masyarakat. Prinsip aturan emas yang ia ajarkan—“Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepada Anda”—menjadi dasar bagi etika sosial yang universal. Jika nilai ini benar-benar hidup dalam sistem pendidikan, maka kita akan melahirkan generasi yang mampu hidup harmonis dalam masyarakat plural seperti Indonesia.

    Tantangannya memang tidak kecil. Kita masih menghadapi persoalan kualitas guru, ketimpangan akses pendidikan, serta budaya belajar yang sering kali hanya berorientasi pada nilai ujian. Namun, justru di sinilah urgensi pemikiran Konfusius dan kebijakan PPK menemukan momentumnya. Pendidikan harus dipahami sebagai upaya menyeluruh untuk membentuk manusia yang cerdas sekaligus berbudi.

    Pendidikan sepanjang hayat juga penting ditekankan. Belajar tidak berhenti di sekolah atau universitas, melainkan terus berlanjut sepanjang kehidupan. Resiliensi yang diajarkan Konfusius—“Kemuliaan terbesar kita bukanlah karena kita tidak pernah jatuh, tetapi karena kita selalu bangkit setiap kali kita jatuh”—menjadi semangat yang relevan untuk membentuk generasi tangguh di era ketidakpastian.

    Refleksi untuk Indonesia

    Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar menjadikan pendidikan sebagai jalan menuju kemakmuran? Jika pendidikan hanya dilihat sebagai alat untuk meraih ijazah atau pekerjaan, maka kita gagal menangkap makna mendalam yang diwariskan Konfusius. Pendidikan harus ditempatkan sebagai jalan untuk memperbaiki karakter bangsa, memperkuat moralitas, dan membangun solidaritas sosial.

    Dalam masyarakat yang kian kompleks, pendidikan karakter bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi teknologi membawa peluang sekaligus ancaman. Tanpa karakter yang kokoh, generasi muda akan mudah terombang-ambing oleh pengaruh negatif. Namun dengan karakter yang kuat, mereka justru bisa memanfaatkan peluang global untuk kemajuan bangsa.

    Konfusius telah memberi kita pelajaran berharga bahwa pendidikan adalah fondasi utama kemakmuran sosial dan ekonomi. Presiden Joko Widodo telah mengartikulasikan hal ini dalam program Penguatan Pendidikan Karakter. Tugas kita sekarang adalah memastikan bahwa implementasinya benar-benar berjalan, tidak berhenti pada tataran wacana atau dokumen kebijakan.

    Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menanamkan nilai sejak dini, membentuk manusia yang berpengetahuan luas sekaligus berbudi luhur.

    Seperti kata Konfusius, “Jika Anda ingin seratus tahun kemakmuran, didiklah masyarakat.”

    Maka, jalan menuju Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan kita hari ini. Pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, melainkan tanggung jawab seluruh bangsa. Hanya dengan pendidikan yang benar-benar menyeluruh—yang mengintegrasikan ilmu, moral, karakter, dan keterampilan hidup—kita bisa membangun generasi emas yang siap menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri.

    *Drs. Suardi, M.Pd merupakan Dosen di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, Kampus II Pontianak – Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa. – Pontianak, 19 Agustus 2025.

     

    Keacuhan dan Ketidakpedulian Menciptakan Bias Kepemimpinan

    Oleh: Theodorus Yanzens, S.S., M.M. (AKUB - San Agustin)

    Duta, Pontianak | “Sesuatu dasar yang salah di negara ini” …… Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan dengan berbagai macam pemberitaan di media massa atau media online terkait bagaimana kinerja pemerintah dan para pejabat yang sangat kontras dengan apa yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, pemberitaan bernada miring dan berkonotasi negatif muncul di headline berita ataupun postingan postingan dari masyarakat Indonesia d imedia sosial terkait kebijakan kebijakan yang absurd.

    Kemudian masalah-masalah sosial di Indonesia misalnya kenaikan pajak dibeberapa sektor, korupsi, diringankannya hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia, arogansi pejabat, kenaikan tunjangan dan gaji DPR RI yang tidak melihat kondisi ekonomi negara, ketimpangan sosial di masyarakat antara pejabat hingga kasus bagaimana seorang anak kecil berumur 4 tahun yang meninggal karena cacing yang menggrogoti tubuhnya karena ketidaklayakan tempat tinggal dan kemiskinan. Hal ini jelas bukan situasi yang sederhana yang harus dibiarkan. Ini menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang dasar yang salah di negara ini.

    Apa yang mendasari situasi Indonesia setelah kemerdekaan ke-80 yang baru saja diperingati di tanggal 17 Agustus bulan ini seakan tidak memberikan perubahan yang semakin baik dari tahun ke tahun dari sisi aspek sosial dan aspek lainnya.  Masyarakat tetap merasa dimiskinkan oleh negara. Negara dan pejabatnya masih dianggap sebagai “musuh dalam selimut”.

    Presiden dan para pemimpin silih berganti tetapi perubahan tiap tahunnya tidak membawa kepuasan di rakyat Indonesia itu sendiri. Apa sedang terjadi? Apakah Indonesia akan seperti ini seterusnya. Terdengar ‘klise’ tetapi pemimpin adalah wakil rakyat yang harus-nya menjadi penyambung lidah rakyat. Seperti judul buku semi-otobiografinya presiden pertama Indonesia, Sukarno yaitu penyambung lidah rakyat Indonesia.

    Pejabat negara ini dari level bawah sampai atas harusnya berkiblat dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mengedepankan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Tapi apakah benar seperti itu? Tidak! Kita bisa mengatakan bahwa hampir pejabat di negara ini tidak melakukan amanah tersebut! Yang muncul berikutnya yakni pertanyaan tentang, mengapa?

    Segera Daftarkan diri Anda.

    Bongkahan Gunung Es dari keacuhan dan ketidakpedulian

    Secara garis besar salah satu faktornya adalah karena ketidakpedulian rakyat Indonesia terhadap negara ini. Kok bisa? Tidak, ini adalah salah pejabat karena tidak bisa memimpin. Benar..itu benar sekali..tetapi kenapa para penjabat bisa menjabat?

    Ya karena andil kita sebagai rakyat Indonesia. Pernyataan ini terlalu tajam, tapi ini adalah kenyataannya. Ada statement yang muncul dimasyarakat bahwa sangat sulit memilih pemimpin yang baik saat ini. Hampir semua pemimpin sama saja. Ini merupakan pernyataan yang umum yang mungkin hampir terdengar jika pertanyaan berkaitan dengan karakter calon pemimpin saat ini di Indonesia. Lalu bagaimana?

    Apakah kita harus membiarkan saja..tentu jika melihat fenomena saat ini, sebagai manusia yang memiliki hati dan harapan, ada pengolakan bahwa ini tidak bisa didiamkan. Bagaimana memulainya untuk mengubah ini semua?  Bagaimana kita sebagai rakyat Indonesia memilih pemimpin untuk negara ini?

    Pernah ada dimasa kehidupan seorang filsuf dunia yaitu Sokrates. Sokrates pernah mengkritik Demokrasi di Yunani, Sokrates merasa bahwa banyak pemimpin yang memimpin saat itu tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin sehingga banyak kebijakan yang tidak sesuai untuk rakyat. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap siapa yang mereka pilih. Sangat relevan dengan situasi di Indonesia.

    Ini bisa terjadi karena beberapa hal yaitu Pendidikan dan pemahaman politik yang kurang baik dan rasa acuh tak acuh terhadap siapa yang akan memimpin karena pemikiran skepstis akan figure pemimpin serta munculnya kecendrungan dari kita bahwa orang orang yang memiliki kapasitas memilih untuk enggan untuk ikut terlibat dalam memimpin sehingga para pemimpin pemimpin negara ini baik di eksekutif maupun legislatif banyak diisi oleh orang orang yang kurang kompeten dan tidak baik,  alhasil negara ini tidak mengarah para perubahan yang diharapkan.

    Keacuhan ini memang muncul tidak secara instan tetapi bertahap dari tahun ke tahun hingga menjadi bongkahan gunung es yang terlihat biasa tetapi berbahaya sebenarnya untuk masa depan bangsa ini.

    Mulai berubah dari hal yang dasar

    Kapan memulai untuk perubahaan dasar berpikir kita dalam memilih pemimpin atau mulai ingin terlibat dalam kepemimpinan? Mau tidak mau, suka tidak suka dimulai dari diri dan lingkungan saat ini. Hal sederhana yang bisa dilakukan misalnya berorganisasi di lingkungan, mulai memilih pemimpin yang baik dan amanah berdasarkan kemampuan dan kapasitas. Untuk para mahasiswa dan anak muda bisa mulai memiliki kesadaran dan penilaian objektif dalam menentukan pemimpin di organisasi mahasiswa atau kepanitian di lingkungan sekitar.

    Hal-hal ini merupakan bentuk dari usaha kita menciptakan budaya tersebut. Dari sini akan berdampak positif dengan cara kita menilai pemimpin di negara ini sehingga pemimpin pemimpin negara ini bisa membawa sesuatu yang baik untuk negara ini.

    Selain itu juga, perlunya dari kita untuk ikut mulai aktif dan mau memimpin ketika kita memiliki kapasitas tersebut. Kita harus melihat permasalahan ini bagian dari tanggungjawab bersama, bukan lagi tentang mencari jabatan atau ketenaran tapi lebih pada tanggungjawab untuk menjadikan bangsa ini maju dan adil.

    San Agustin Prodi Keuangan dan Perbankan

    Harapan dan refleksi sejenak untuk negara ini

    Apa yang bisa kita lakukan dan kita sumbang untuk negara ini semata mata adalah  memastikan bahwa pemimpin-pemimpin di negara ini memiliki sikap kenegaraan yang memang bertujuan membangun negara ini dengan adil.

    Seperti mengutip pemikiran John Ralws tentang veil of ignorance atau “selubung ketidaktahuan” dimana pemimpin harusnya menentukan kebijakan dengan adil tanpa melihat secara kelompok atau personal atau kepentingan sehingga permasalahan permasalahan yang dari dulu hingga hari ini lambat laun bisa diatasi.

    Tidak ada lagi ketimpangan sosial dan kemiskinan serta kesejahteraan di negara yang sudah merdeka 80 tahun yang lalu ini dapat lebih baik. Jangan sampai bias kepimpinan terus mengakar di tengah tengah harapan kita menjadi negara maju ditahun 2045.

    Ini adalah pilihan kita sebagai rakyat Indonesia. Seperti beberapa kalimat yang terkesan sering kali didengar saat akan pemilu bahwa “suaramu menentukan nasib negaramu atau daerahmu” atau “suaramu menentukan masa depan” kalimat ini bukan omong kosong tetapi instruksi menuju perubahan yang lebih baik yang harus kita akui tidak pernah kita hayati dengan sungguh-sungguh.

    Apakah kita menginginkan atau mau negara ini dikuasai oleh pemimpin pemimpin dengan karakter yang buruk seperti pemimpin yang demagog, manipulatif atau atau bahkan populis? Semua bergantung dari pilihan dan kesadaran kita.

    *Theodorus Yanzens, S.S., M.M. adalah Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, di Kampus II Pontianak – Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa.

    Investasi Generasi Y dan Z di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

    Oleh: Dr. (Cand) Angelina Carolin, S.E., M.M. - Rabu 21 Agustus 2025

    Duta, Pontianak | Kondisi perekonomian global saat ini tengah berada dalam fase yang penuh ketidakpastian, beberapa faktor pemicu nya antara lain, konflik geopolitik yang tiada berkesudahan, perang dagang yang beresiko memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Masyarakat tanah air sendiri sangat merasakan dampak langsung inflasi contohnya, melemahnya daya beli, serta semakin tingginya biaya hidup.

    Di tengah ketidakpastian ini, masyarakat dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga stabilitas keuangan dan mengamankan aset mereka dari potensi risiko. Investasi yang sejatinya menjadi instrumen penting untuk membangun kesejahteraan jangka panjang, justru dipersepsikan sebagai aktivitas berisiko tinggi oleh sebagian masyarakat.

    Berdasarkan data BPS (2020), saat ini di Indonesia didominasi oleh generasi Z dengan jumlah penduduk sebanyak 74,93 juta atau 27,94% dari total penduduk, diikuti generasi milenial yang juga mendominasi populasi Indonesia, dengan jumlah sekitar 69,38 juta atau 25,87%, kemudian Generasi X sekitar 58,65 juta atau 21,88%.

    Karakteristik Generasi Y dan Z dalam Investasi

    Menurut survei global maupun nasional, mayoritas pelaku investasi saat ini berasal dari kalangan Generasi Y (milenial) dan Generasi Z. Fenomena ini sejalan dengan karakteristik kedua generasi tersebut yang sangat dekat dengan teknologi digital, adaptif terhadap perubahan, serta memiliki preferensi pada instrumen investasi yang praktis, cepat diakses, dan berbasis teknologi.

    Generasi Y cenderung memandang investasi sebagai sarana untuk mencapai stabilitas finansial jangka menengah hingga panjang, sementara Generasi Z lebih berorientasi pada hasil yang cepat, berani mengambil risiko, dan tertarik pada instrumen berisiko tinggi seperti saham teknologi, cryptocurrency, maupun platform peer-to-peer lending.

    Karena kedekatan mereka dengan teknologi, pola pikir finansial yang berbeda dibanding generasi sebelumnya, serta pengaruh media sosial dan komunitas digital telah membentuk tren baru dalam dunia investasi, yaitu meningkatnya minat pada instrumen digital sebagai alternatif dari investasi konvensional.

    Segera Daftarkan diri Anda. 

    Tantangan yang dihadapi Generasi Y dan Z dalam berinvestasi di kondisi sekarang

    1. Harga kebutuhan pokok yang terus meningkat membuat daya beli masyarakat melemah. Generasi Y, yang banyak sudah berkeluarga, sering kali harus mendahulukan kebutuhan sehari-hari dibanding menyisihkan dana untuk investasi. Generasi Z pun terhimpit oleh biaya pendidikan, transportasi, hingga gaya hidup digital.
    2. Fluktuasi harga saham, obligasi, dan aset kripto sangat ekstrem. Generasi Y cenderung menahan diri, sedangkan Generasi Z berani mengambil risiko namun kerap tanpa analisis yang memadai. Kondisi ini dapat meningkatkan potensi kerugian.
    3. Banyak generasi muda berinvestasi tanpa pemahaman mendalam tentang diversifikasi, manajemen risiko, atau fundamental instrumen. Rendahnya literasi keuangan membuat mereka rentan terhadap investasi bodong maupun spekulasi jangka pendek.
    4. Tekanan gaya hidup menjadi tantangan nyata. Generasi Y berusaha tampil mapan dengan rumah dan kendaraan, sementara Generasi Z terdorong oleh fenomena FOMO di media sosial. Alhasil, investasi sering dikalahkan oleh kebutuhan konsumsi.
    5. Meskipun banyak instrumen investasi modal kecil tersedia, masih banyak generasi muda yang beranggapan investasi memerlukan dana besar. Hambatan psikologis ini membuat mereka menunda memulai investasi.
    6. Banyaknya informasi yang menyesatkan di media sosial membuat generasi muda sulit memilah mana yang akurat. Akibatnya, keputusan investasi sering lebih dipengaruhi tren viral daripada analisis rasional.
    7. Krisis ekonomi membuat fokus generasi muda cenderung pada kebutuhan jangka pendek. Generasi Z cenderung menginginkan instant return, sementara Generasi Y sulit konsisten karena terhimpit kebutuhan keluarga.
    8. Banyak perusahaan melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawan akibat penurunan permintaan. PHK massal ini menjadi tantangan besar bagi Generasi Y dan Z yang berada di usia produktif. Ketidakstabilan pendapatan membuat mereka sulit menyusun rencana investasi yang konsisten.
    9. Pertumbuhan ekonomi yang melambat berimplikasi pada minimnya pembukaan lapangan kerja baru. Generasi Z, yang banyak sedang memasuki dunia kerja, menghadapi persaingan ketat untuk memperoleh pekerjaan layak. Pendapatan yang tidak menentu membuat kemampuan berinvestasi pun terbatas.

    Strategi Investasi di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

    Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, pendekatan tradisional dalam berinvestasi perlu disesuaikan. Investasi tidak lagi cukup dipandang semata-mata sebagai aktivitas menanam modal pada instrumen keuangan, melainkan harus dipahami sebagai strategi menyeluruh untuk memperkuat ketahanan ekonomi pribadi.

    Beberapa strategi yang dapat dijalankan oleh generasi Y dan Z di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini:

    1. Memperbanyak active dan passive income. Active income dapat memberikan stabilitas, sedangkan passive income menjadi penyangga tambahan yang bisa mengurangi risiko kehilangan pendapatan akibat PHK atau keterbatasan lapangan kerja. Dengan mengkombinasikan kedua income tersebut, maka dapat membangun fondasi keuangan yang lebih stabil, berkelanjutan, dan tahan terhadap risiko ekonomi.
    2. Bagi mereka yang sudah bekerja, mempertahankan pekerjaan dengan kinerja yang baik adalah bentuk investasi non-finansial yang sangat penting. Saat ini, mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit karena banyak perusahaan melakukan efisiensi. Oleh karena itu, bekerja dengan profesionalisme, meningkatkan keterampilan (upskilling dan reskilling), serta menjaga integritas akan menjadi modal utama agar tetap bertahan di dunia kerja.
    3. Saat ini Generasi Y dan Z harus mampu mengendalikan gaya hidup konsumtif, khususnya pengeluaran yang dipengaruhi oleh tren media sosial. Prinsip sederhana seperti “menyisihkan sebelum membelanjakan” harus diutamakan agar ada alokasi dana untuk investasi rutin meski dalam jumlah kecil.
    4. Strategi utama saat ini adalah memperdalam literasi keuangan. Membaca laporan keuangan, mempelajari profil risiko, serta mengikuti edukasi finansial dari lembaga resmi dapat membantu generasi muda mengambil keputusan lebih rasional.
    5. Generasi Y dan Z sebaiknya tidak terpaku pada satu instrumen saja. Jangan hanya menyimpan uang di tabungan bank (yang bunganya kecil), atau hanya ikut tren crypto tanpa dasar. Prinsip “don’t put all your eggs in one basket” harus dipegang teguh agar kondisi keuangan lebih aman, stabil, dan tumbuh berkelanjutan.
    6. Bagi Generasi Y dan Z, emas bisa menjadi pilihan investasi yang aman, terukur, dan tahan krisis, terutama sebagai aset pelindung nilai. Tetapi sebaiknya emas dijadikan bagian dari portofolio diversifikasi, bukan satu-satunya instrumen.

    *Dr. (Cand) Angelina Carolin, S.E., M.M. adalah Dosen di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, Kampus II Pontianak, di Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa.

    Film Parasite yang Mencerminkan Ketimpangan Sosial

    ANALISIS FILM PARASITE (2019) - Kiki Maria (PMAT22A)

    Duta, Landak | Film Korea Parasite (2019) garapan sutradara Bong Joon-ho bukan hanya menghibur.

    Film yang sukses besar hingga meraih Piala Oscar ini menyodorkan potret tajam tentang jurang sosial antara si kaya dan si miskin.

    Lewat kisah dua keluarga dengan latar belakang berbeda, Parasite menghadirkan kritik sosial yang relevan bagi masyarakat di mana pun, termasuk Indonesia.

    Dua Keluarga, Dua Nasib

    Cerita berpusat pada keluarga Park yang kaya raya dan keluarga Kim yang hidup dalam kekurangan. Keluarga Park tinggal di rumah mewah rancangan arsitek ternama.

    Sang ayah adalah CEO perusahaan IT, istrinya hidup glamor, sementara anak-anaknya menikmati pendidikan terbaik. Mereka tampak sebagai keluarga idaman kelas menengah modern.

    Sebaliknya, keluarga Kim tinggal di semi-basemen sempit, lembap, dan rawan banjir. Sang ayah berkali-kali gagal berbisnis, sang ibu yang pernah menjadi atlet tak pernah mencapai kesuksesan, sementara kedua anak mereka gagal menembus universitas.

    Pertemuan dua keluarga inilah yang memunculkan drama penuh ironi—hubungan “parasit” antara kelas bawah yang berjuang bertahan hidup dengan kelas atas yang nyaris tidak peduli.

    Ketimpangan

    Bong Joon-ho tidak sekadar bercerita lewat dialog. Ia menggunakan visual dan simbol untuk menegaskan jurang sosial.

    Mulai dari segi pendidikan. Anak-anak keluarga Park mendapat guru privat mahal, sedangkan anak-anak keluarga Kim harus menyerah pada mimpi kuliah.

    Setelah itu, rumah keluarga Park berada di dataran tinggi dengan halaman luas, sedangkan keluarga Kim di ruang bawah tanah pengap dan kumuh.

    Visualisasi selanjutnya juga terpancar melalui, keluarga Kim berkali-kali gagal mencari pekerjaan, sementara keluarga Park dengan mudah menikmati kenyamanan hidup.

    Tangga yang berulang kali muncul melambangkan naik-turun status sosial, sementara banjir besar menjadi simbol dampak kemiskinan. Saat keluarga Kim kehilangan rumah, keluarga Park justru menyebut hujan deras itu sebagai “malam yang menyenangkan.”

    Parasite kuat karena memadukan fakta sosial dengan emosi. Penonton tidak hanya “tahu” soal jurang kaya-miskin, tapi ikut “merasakan” penderitaan keluarga Kim dan ketidakpekaan keluarga Park. Pesan sosial jadi lebih hidup dan sulit dilupakan.

    Relevan untuk Kita

    Meski berlatar Korea Selatan, pesan Parasite terasa dekat. Jurang antara yang tinggal di rumah mewah dan yang hidup di rumah sempit penuh genangan bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Kesempatan yang timpang dalam pendidikan dan pekerjaan pun masih nyata hingga hari ini.

    Parasite membuktikan bahwa film bisa lebih dari sekadar hiburan. Lewat simbol visual yang kuat, ia mengajak kita bercermin pada realitas sosial yang kadang ingin kita abaikan.

    Pertanyaan yang tertinggal setelah menonton film ini sederhana tapi menohok, maukah kita terus menutup mata terhadap jurang yang semakin lebar antara yang di atas dan yang di bawah?

    *Ditulis oleh Kiki Maria (PMAT22A) Seorang Mahasiswa FKIP Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus I Landak.

    Saat Jonggan Terancam Distorsi

    Agusandi, S.E., M.E.- Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak

    Duta, Kalbar | “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.” Salam budaya ini bukan sekadar sapaan, melainkan pengingat akan tanggung jawab kita untuk menjaga warisan leluhur. Salah satunya adalah Tari Jonggan, tarian khas Dayak di Kalimantan Barat, yang kini sedang menghadapi tantangan serius di tengah arus modernisasi.

    Tari Jonggan bukanlah tarian biasa. Ia lahir dari rahim kebudayaan Dayak (Kanayatn), sebagai simbol kegembiraan, ekspresi rasa syukur, bahkan menjadi sarana interaksi sosial—termasuk untuk mencari pasangan hidup. Dengan demikian, Jonggan menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar gerak tubuh indah yang dipertontonkan. Ia adalah cermin jiwa masyarakat Dayak, penanda identitas, dan pengikat kebersamaan.

    Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul keprihatinan mendalam. Di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok, kita menemukan pertunjukan Jonggan yang melenceng dari makna aslinya. Alih-alih menjadi pelestarian, penampilan-penampilan itu justru mendistorsi nilai, menjadikan Jonggan sekadar hiburan kosong yang terlepas dari akar budayanya. Hal ini tentu membahayakan keaslian sekaligus martabat seni tradisional kita.

    Fenomena ini memperlihatkan betapa mudahnya budaya tergelincir ketika berhadapan dengan logika viral dan pasar hiburan digital. Modernisasi memang tak bisa dihindari, tetapi pelestarian budaya tidak boleh dikorbankan. Bila Jonggan hanya ditampilkan secara sembarangan demi tontonan singkat, maka generasi mendatang akan kehilangan kesempatan untuk mengenal makna sejati dari warisan leluhur ini.

    Karena itu, ada beberapa langkah yang patut kita ambil. Pertama, para pelaku seni, sanggar tari, dan generasi muda perlu menampilkan Jonggan sesuai pakem adat dan nilai filosofisnya. Bukan berarti tarian tidak boleh berkembang, tetapi pengembangan harus tetap berpijak pada akar yang kuat.

    Kedua, Dewan Adat Dayak, Timanggong, dan para pemangku adat perlu menyusun aturan adat yang jelas mengenai pelaksanaan Jonggan. Aturan ini bukanlah belenggu, melainkan pagar agar budaya tidak tercerabut dari maknanya. Ketiga, tindakan tegas, termasuk sanksi adat, perlu diberlakukan terhadap pihak-pihak yang merusak atau menyalahgunakan Jonggan demi kepentingan pribadi.

    Kita juga harus menyadari bahwa Jonggan bukan sekadar milik Dayak, tetapi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Dengan memelihara keaslian Jonggan, kita ikut menjaga keanekaragaman budaya yang menjadi identitas nasional. Di era pariwisata budaya dan diplomasi seni, Jonggan bisa menjadi daya tarik dunia, selama ia ditampilkan dengan cara yang benar dan bermartabat.

    Budaya adalah jiwa bangsa. Bila ia terkikis, kita akan kehilangan arah dan jati diri. Oleh karena itu, melestarikan Jonggan berarti melestarikan diri kita sendiri—bukan hanya untuk ditonton hari ini, tetapi untuk diwariskan esok hari. Mari kita jadikan Jonggan bukan sekadar pertunjukan, melainkan perwujudan cinta kita pada warisan leluhur.

    *Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, kampus II Pontianak.

    Globalisasi Teknologi Pendidik

    Jayadi,S.Pd.,M.Or adalah Dosen dan Kaprodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus I Ngabang, Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan (Ngabang Kabupaten Landak).

    Duta, Landak | Kemajuan di era “digital” merupakan perubahan dicita-citakan oleh semua Bangsa dan Negara. Masyarakat Indonesia khususnya telah mengalami perubahan signifikan dalam merespons dinamika globalisasi. Berbagai perubahan melalui reformasi telah dilaksanakan, tetapi dampaknya signifikan terhadap setiap aspek kehidupan, mencakup semua bidang. Salah satu dampak paling nyata adalah di bidang pendidikan. Proses perubahan selalu disertai dengan perbaikan berdasarkan undang-undang tentang peningkatan mutu pendidikan.

    Namun, peningkatan mutu pendidikan belum merata dan menyeluruh di seluruh wilayah. Ketimpangan ini menjadi penyebab perbedaan dampak implementasi pendidikan, yang mengakibatkan kemajuan mutu dari pendidikan tidak merata, pada kenyataannya, sangat lambat di seluruh wilayah. Kemajuan transformasi digital telah mempermudah dan mempercepat segala aspek kehidupan melalui internet, termasuk pendidikan. Kemajuan teknologi ini juga memberikan dampak positif, membantu memberikan fasilitas, terutama dalam dunia pendidikan.

    Masalah pandemi Covid-19 dicatat oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020, dialami seluruh dunia, membuat dunia pendidikan tidak dapat menyelenggarakan pertemuan tatap muka karena khawatir terinfeksi virus. Hal ini menyebabkan penurunan metode pendidikan yang seharusnya diterapkan di sekolah. Beberapa inovasi terbaru dapat diakses melalui internet telah bermunculan.

    Sistem dalam pembelajaran tidak mengharuskan kehadiran di ruang kelas, melalui aplikasi dapat diakses setiap saat dan fleksibel. Kemudahan dari pembelajaran dapat menghemat biaya transportasi, sangat berbeda dengan metode sebelumnya. Dengan metode e-learning membutuhkan penggunaan fasilitas seperti jaringan internet terhubung melalui komputer, laptop dan telepon seluler secara pribadi.

    Dunia pendidikan digitalisasi meningkatkan sistem kemajuan sangat cepat dari berbagai sumber ilmu pengetahuan diambil sebagai wawasan. Selain itu, berbagai penawaran memudahkan untuk mengakses materi pembelajaran dengan banyak pilihan situs pencarian, penyediaannya berupa ebook, artikel dan jurnal ilmiah diunduh sebagai referensi.

    Sehingga penghematan di atas kertas tidak harus dicetak. Lebih lanjut, kemudahan diberikan sebagai pembanding untuk mengevaluasi bagaimana pembelajaran global terhadap dunia luar tentang materi acuan bahan ajar. Alasan ini akan meningkatkan perkembangan dan kualitas pendidik disekolah ataupun perguruan tinggi era globalisasi.

    Sebelumnya, media pembelajaran yang digunakan sangat sederhana, yaitu menggunakan papan tulis dan spidol untuk menyampaikan materi. Dengan kemajuan teknologi digital saat ini, komputer yang terhubung ke internet digunakan untuk menggabungkan tulisan dengan gambar dan suara dalam bentuk video. Hal ini sangat memudahkan proses pembelajaran.

    Beberapa penjelasan di atas merupakan masukan positif tentang kemajuan di era digital, namun banyak yang harus dipahami dari isu negatif tentang kemajuan ini. Dampak dari pengaruh yang besar adalah mengikuti bentuk dan pola pikir masyarakat dunia pada umumnya. Perkembangan teknologi digital membawa permasalahan pada budaya dan nilai-nilai yang ada di bangsa ini. Tekanan dari berbagai aspek muncul dari kehidupan dalam memberikan perbandingan dengan generasi sebelumnya. Mentalitas instan praktis mengubah gaya hidup yang berlebihan dan konsumtif.

    Teknologi era digital mampu mengubah waktu sebelumnya, dengan teknologi ini segala aspek kehidupan menjadi praktis. Dahulu dunia pendidikan khususnya pendidik menjadi magnet paling dominan untuk memberikan pengetahuan berbagai wawasan, namun dalam perkembangannya justru akan bergeser. Artinya, seorang pendididk bukanlah satu-satunya tolok ukur dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Peserta didik dapat menguasai pengetahuan sebelum diberikan penjelasan selama dapat mengakses jaringan aplikasi internet.

    Beberapa tugas dan soal-soal yang telah diberikan sangat mudah untuk dijawab dengan bantuan aplikasi AI kecerdasan Buatan. Cukup dengan memfotokan kamere handphone hasil sudah didapatkan. Begitu juga dengan mahasiswa tingkat akhir tidak perlu berfikir terlalu keras dalam membuat jurnal ilmiah dan skripsi, dengan bantuan aplikasi sudah terlihat hasil yang diperoleh, walaupun sulit dibedakan oleh reviewer maupun dosen pembimbing.

    Penanganan ini setidaknya harus disikapi dengan bijak dalam mencari strategi, teknik pemutakhiran metode pengajaran mengikuti kemajuan teknologi atau untuk menentang pada teknologi ada. Metode pembelajaran yang kurang menarik akan menimbulkan rasa malas berada diruangan kelas.

    Sikap penyesuaian diri terhadap perubahan pendidik semakin menambah pengetahuan luas dari wawasan tentang pengalaman keterampilan menyeluruh. Penguasaan ilmu dapat mengikuti penyesuaian zaman di era digital, sehingga tidak ada tingkat kualitas yang dilihat sebagai penilaian dari peserta didik. Kebutuhan akan inovasi pengajaran terus ditingkatkan menuju hasil lebih berkualitas dunia pendidikan.

    Perubahan di era digital tidak dapat dibendung dari kemajuan teknologi yang tidak terbatas, tergerus dari budaya metode pembelajaran sebelumnya. Kini internet sebagai magnet pemersatu secara global. Sudah banyak ditemukan instalasi jaringan di setiap sekolah, kampus, perusahaan, perumahan, tempat usaha dan perkantoran selain penggunaan handphone pribadi. Melalui jaringan dan aplikasi membantu dalam kegiatan belajar mengajar seharusnya. Perubahan akan terjadi dialami dalam melahirkan generasi yang berinteraksi dengan berbagai macam media digital. Kondisi yang dirasakan berdampak langsung pada psikologi karena dari kebiasaan mengamati menjadi melekat mengikuti beberapa hal yang dilihat atau disaksikan melalui media mereka gunakan. Bimbingan atau arahan diperlukan.

    Tugas pendidik adalah, mengajar dan mendidik, oleh karena itu harus memiliki kualitas baik dalam wawasan, sikap, keterampilan profesional, dan kepribadian sebagai pendidik dan individu teladan. Tahapan dasar yang harus diketahui pendidik memiliki kemampuan mengajar untuk mengembangkan diri dalam keterampilan secara dinamis.

    Perubahan dinamis adalah mengubah metode sebelumnya dengan mengikuti arus zaman, terutama di era globalisasi digital penyampaian metode pembelajaran. Sudah banyak ditemukan metode pembelajaran aplikasi E-learning. Melalui pembelajaran E-learning, seperti menggunakan aplikasi chatgpt, Zoom cloud meeting dan google classroom atau aplikasi lainnya dalam bentuk AI.

    Pembelajaran melalui E-learning dapat dilakukan dengan fasilitas pendukung seperti jaringan internet, komputer, laptop, dan handphone yang dilengkapi dengan fitur pencarian di Google. Namun terkadang beberapa kendala yang dihadapi adalah kurangnya fasilitas dapat mengakses internet, ketidaktahuan penggunaan, masalah jangkauan sinyal, dan tingkat perekonomi kurang terhadap anak didik.

    Kesimpulan dari hasil pembelajaran dengan elektronik sangat baik digunakan sebagai fasilitasi interaksi seperti penggunaan gambar, vidio yang dijelaskan secara langsung karena lebih mendekatkan secara psikologis dalam jiwa peserta didik.

    Dari AKUB Menuju Masa Depan

    Oleh: Agnes Setim – Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa – Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak

    Duta, Pontianak | Pendidikan adalah salah satu jalan penting yang ditempuh generasi muda untuk membangun masa depan. Di balik setiap mahasiswa yang menempuh studi, terdapat cerita perjuangan, penyesuaian diri, serta pengalaman yang membentuk karakter dan arah hidup.

    Saya, Agnes Setim (22 tahun) mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan (AKUB) Pontianak, ingin berbagi refleksi perjalanan saya selama kuliah, menjalani magang, melakukan penelitian, hingga menyusun harapan ke depan setelah lulus.

    Adaptasi dan Pembentukan Karakter

    Ketika pertama kali memasuki bangku kuliah, saya merasakan perbedaan yang cukup besar dibandingkan masa SMA. Di kampus, gaya mengajar dosen lebih beragam, sistem pembelajaran menuntut kemandirian, dan lingkungan sosial lebih kompleks karena teman-teman berasal dari latar belakang yang berbeda. Situasi ini membuat saya harus cepat beradaptasi.

    Kampus bagi saya bukan hanya ruang akademis untuk menyerap ilmu, tetapi juga tempat belajar kehidupan. Di sana saya bertemu teman-teman baru, belajar membangun pertemanan, sekaligus mengasah kemampuan komunikasi.

    Presentasi, diskusi kelompok, hingga kerja sama dalam tugas membuat saya semakin percaya diri berbicara di depan umum. Walaupun awalnya penuh rasa gugup, bahkan tidak jarang diselingi candaan saat salah bicara, saya belajar bahwa setiap kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran.

    Saya bersyukur karena dosen-dosen di AKUB Pontianak tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing. Ketika kami mengalami kesulitan memahami materi, mereka dengan sabar menjelaskan ulang sampai benar-benar dimengerti. Lingkungan akademis yang demikian membantu saya berkembang, bukan hanya dari sisi intelektual, melainkan juga dari sisi pribadi.

    Dokumentasi saat magang, (2025)

    Magang dan Belajar Profesionalisme di Dunia Kerja

    Pengalaman lain yang tidak kalah penting adalah ketika saya menjalani magang selama dua bulan di Badan Keuangan dan Aset Daerah. Di sinilah saya merasakan langsung bagaimana teori yang dipelajari di kampus berhadapan dengan realitas dunia kerja.

    Selama magang, saya menemukan banyak pengalaman baru. Saya belajar arti disiplin, khususnya dalam hal datang tepat waktu dan menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat. Saya juga belajar tentang profesionalisme, baik dalam sikap maupun cara berkomunikasi dengan atasan, rekan kerja, serta masyarakat.

    Bagi saya, magang bukan sekadar formalitas akademis, melainkan pengalaman berharga yang membuka wawasan tentang dunia kerja. Bertemu mentor, senior, serta rekan-rekan dari berbagai divisi membuat saya memahami pentingnya kerja sama dan interaksi yang sehat. Dunia kerja ternyata bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tetapi juga bagaimana membangun hubungan baik dengan sesama.

    Pengalaman magang ini menegaskan bahwa mahasiswa perlu menjadikan magang sebagai kesempatan emas untuk mengasah diri. Di tengah persaingan kerja yang semakin ketat, pengalaman nyata seperti ini dapat menjadi nilai tambah yang membedakan satu lulusan dengan lulusan lainnya.

    Dokumentasi Magang, (2025)

    Penelitian yang Menghubungkan Teori dan Praktik

    Selama kuliah, saya juga melakukan penelitian dengan judul “Analisis Strategi Pemasaran dalam Upaya Meningkatkan Jumlah Anggota pada Credit Union Semandang Jaya.”

    Penelitian ini menggunakan pendekatan bauran pemasaran 4P: Product (produk), Price (harga), Place (tempat), dan Promotion (promosi).

    Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pemasaran yang dijalankan Credit Union Semandang Jaya berhasil meningkatkan jumlah anggota dari tahun ke tahun. Pada 2021, jumlah anggota naik 718 orang atau sekitar 8% dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2022, kenaikan lebih besar, yakni 5.083 orang atau 6,18%. Kemudian pada 2023, kembali meningkat dengan tambahan 4.781 anggota baru atau 5,48%.

    Angka-angka tersebut membuktikan bahwa pemasaran bukan sekadar kegiatan promosi, tetapi juga sarana membangun kepercayaan masyarakat. Credit Union Semandang Jaya berhasil menunjukkan bahwa strategi yang tepat mampu mempertahankan loyalitas anggota lama sekaligus menarik anggota baru, bahkan di tengah persaingan lembaga keuangan yang semakin ketat.

    Melalui penelitian ini, saya semakin yakin bahwa ilmu yang dipelajari di kampus memiliki relevansi nyata dalam kehidupan masyarakat. Penelitian bukan hanya tugas akademis, melainkan kontribusi kecil untuk memperkuat lembaga yang berperan langsung dalam pembangunan ekonomi rakyat.

    Dokumentasi Usai Sidang Tugas Akhir, (2025)

    Harapan Setelah Lulus

    Setiap mahasiswa tentu memiliki harapan setelah menyelesaikan studi. Demikian pula dengan saya. Setelah lulus dari AKUB Pontianak, saya ingin bekerja di perusahaan yang memberi ruang untuk berkembang di bidang keuangan dan perbankan. Selain itu, saya juga memiliki keinginan untuk membangun usaha sendiri agar dapat lebih mandiri secara finansial.

    Namun, harapan terbesar saya adalah dapat membantu orang tua. Mereka telah berjuang membesarkan saya dengan penuh pengorbanan. Dengan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, saya ingin meringankan beban mereka serta membiayai pendidikan kedua adik saya. Bagi saya, keberhasilan tidak hanya diukur dari pencapaian pribadi, tetapi juga dari sejauh mana saya bisa memberikan manfaat bagi keluarga.

    Pesan untuk Mahasiswa Muda

    Kepada adik-adik tingkat yang masih menempuh studi, saya ingin berpesan: jalani perkuliahan dengan semangat dan ketekunan. Jangan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Ingatlah bahwa setiap tugas, presentasi, dan pengalaman organisasi adalah bagian dari proses membentuk diri.

    Belajarlah untuk mengatur waktu, menghargai usaha dosen yang membimbing, dan manfaatkan kesempatan yang ada. Perkuliahan bukan hanya tentang nilai akhir, tetapi juga tentang pengalaman hidup yang akan menempa karakter kalian di masa depan.

    Segera Daftarkan diri Anda 

    Pendidikan sebagai Jalan Hidup

    Jika saya merefleksikan perjalanan ini, saya sampai pada satu kesimpulan: pendidikan adalah jalan hidup. Dari kampus, saya belajar arti ketekunan dan keberanian. Dari magang, saya belajar arti profesionalisme. Dari penelitian, saya belajar arti strategi dan data. Semua itu adalah bekal yang akan saya bawa memasuki dunia kerja.

    Generasi muda seperti saya memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengejar kesuksesan pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pendidikan memberi kita kesempatan untuk melangkah ke arah itu.

    Saya percaya, dengan semangat belajar, kerja keras, dan doa, setiap mahasiswa dapat mengubah masa depan mereka. Dan saya, sebagai bagian dari generasi muda Indonesia, ingin terus melangkah maju, membawa nilai-nilai yang saya pelajari selama menempuh pendidikan, untuk menjadi manusia yang bermanfaat.

    Penulis: Agnes Setim – Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa – Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak

    Olahraga Mengolah Berpikir Cerdas

    Jayadi,S.Pd.,M.Or -adalah Dosen dan Kaprodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus I Ngabang, Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan (Ngabang Kabupaten Landak).

    Duta, Pontianak | Belajar adalah sesuatu yang terus-menerus dilakukan seseorang untuk mempertahankan kemampuan berpikirnya. Menggali diri secara konsisten akan mengumpulkan informasi, baik melalui komunikasi langsung, membaca buku, maupun mendengarkan. Melalui konsep ini, seseorang harus mampu membuka diri untuk terus mencari ilmu atau dengan rasa ingin tahu yang mendalam hingga menemukan jawabannya.

    Kenyataannya, di era digital saat ini, banyak orang dimanjakan dengan pilihan komunikasi tatap muka. Kita mungkin semua familier dengan penggunaan Zoom, di mana sesuatu yang jauh terasa lebih dekat. Kemajuan teknologi tak lagi membuat hal yang mustahil menjadi tidak mungkin. Perkembangan aplikasi canggih tak terbantahkan. Orang kini lebih jarang bergerak karena segalanya berada dalam genggaman mereka, sehingga menimbulkan obesitas.

    Seseorang mahasiswa lebih senang menggunakan bantuan aplikasi chatgp atau yang lainnya dalam membantu membuat tulisan. Hanya mengetikan judul setelah itu akan mengikuti perintah dari pertanyaan. Sangat sulit membedakan tulisan asli dan tulisan buatan AI bagi reviewer atau dosen pembimbing.

    Segala kemudahan sangat gampang untuk diakses cukup berdiam diri dikursi santai pada penggunaannya dan akhirnya seseorang akan merasa manja untuk tidak bergerak, bahkan membeli makan cukup arahkan jari-jari dan tekan tombol untuk proses menunggu pengantaran tempat tujuan. Belum lagi kemajuan teknologi yang lainya.

    Baik di zaman dahulu maupun saat ini, manusia selalu menggenggam sesuatu. Perbedaan yang mencolok adalah di masa lalu, manusia menggenggam batu atau kayu untuk bertahan hidup dengan berburu dan meramu. Kini, banyak orang menggenggam smartphone, masing-masing dengan fitur dan harga yang dimiliki, berdasarkan kecanggihannya. Hal ini merupakan perbandingan kemajuan teknologi yang semakin meningkat.

    Bagi seorang dewasa, penggunaan smartphone mungkin membantu dalam hubungan pekerjaan, dan bahkan aktivitas lainnya. Namun, penggunaannya pada kalangan balita dan anak sekolah dapat berdampak negatif pada perkembangan kognitif dan pembelajaran mereka karena jarang kita melihat kedua orang tua yang aktif menemani dan mengarahkan pada saat penggunaan. Smartphone digunakan pada kalangan balita hanya sebagai hiburan menenangkan balita agar tidak menangis, dan rewel.  Semakin lama penggunaannya hingga berdampak negatif yang terjadi anak pastinya merasa enggan bersosialisasi dan bahkan mengalami delusi.

    Anak lebih beremosi tinggi, mudah marah karena efek merasa nyamanan pada pengunaan smartphone. Solusi bagaimana harus diberikan sehingga tidak menjadi kecanduan. Untuk menghilangkan pengaruh negatif terhadap kecanduan semestinya anak diperkenalkan aktivitas yang baru, walaupun tidak semudah harapan ini terjadi, namun secara konsisten mungkin dapat mengurangi.

    Aktivitas fisik melalui gerakan dapat digunakan seperti mengatasi kecanduan balita pada smartphone, misalnya dengan membeli bola kecil model dan karakter warna berbeda-beda, dimana mereka dapat diajari cara melempar dan menendang, terfokus pada perkembangan motorik kasar. Masih banyak permainan olahraga yang dapat meningkatkan pemikiran anak untuk melatih kecerdasan berfikir lainnya.

    Aktivitas gerak olahrga membantu mengembangkan pertumbuhan saraf, otot, dan kemampuan kognitif mereka. Saat melempar, anak akan berpikir secara cerdas tentang cara bagaimanan lemparan bola atau pun menendang menjadi lebih kuat, meskipun mereka belum bisa mengukur kemampuan diri sendiri tanpa bimbingan orang tua.

    Anak-anak usia sekolah mungkin juga dapat dibantu dengan menyalurkan bakat mereka melalui olahraga. Banyak sekolah sekarang ini menawarkan kegiatan ekstrakurikuler berbagai cabang olahraga, tetapi terkadang banyak anak yang tidak berpartisipasi mengikuti kegiatan, mungkin karena mereka kurang tertarik, beralasan fasilitas kurang memadai, sarana prasaran sangat minim, dan tenaga pengajar yang terbatas.

    Berdasarkan pengamatan dan keluhan sebagian besar guru mata pelajaran, anak lebih tertarik pada pelajaran pendidikan jasmani. Pertanyaan singkat tentang mengapa pendidikan jasmani menjadi pilihan hal ini patut dipertanyakan.

    Setiap orang, baik anak maupun dewasa, mendambakan bermain. Melalui bermain, mereka merasakan kepuasan mengeksplorasi diri, melepaskan ketegangan dan kelelahan akibat beban kerja sehari-hari, atau beban lainnya. Konsep bermain dalam pendidikan jasmani atau kegiatan olahraga dapat berdampak psikologis. Selain itu juga mungkin lebih penting lagi, olahraga dapat memengaruhi kemampuan anak untuk berpikir cerdas.

    Olahraga bukan hanya tentang membangun tubuh yang sehat secara fisik dan mental, tetapi juga tentang bagaimana konsep latihan dapat meningkatkan kecerdasan. Jelas betapa pentingnya olahraga dalam menghadapi pertandingan dan kompetisi, sehingga memikirkan cara mengalahkan lawan membutuhkan pemikiran yang cerdas dan strategi yang kuat.

    Nilai-nilai kecerdasan diperoleh secara otomatis oleh seseorang melalui pengembangan diri kegiatan olahraga. Bagaimana pemikiran yang cerdas dapat membawa kemenangan. Dengan tingkat pengamatan yang tinggi dalam pertandingan bela diri, petarung secepat kilat dapat menemukan peluang bagaimana satu pukulan dapat melumpuhkan lawan.Sangat dibutuhkan nilai-nilai kecerdasan dalam olahraga, karena dapat mengatasi kualitas dari segi permaianan. Taktik, teknik, dan kemampuan merupakan bagian dari berpikir cerdas untuk suatu kemenangan.

    Penggunaan teknologi setidaknya sangat membatu segala sesuatu kegitan, namun harus berpikir lebih bijak dalam pemberian smartphone terhadap balita dan anak sekolah, cukup dengan cara mengontro dan mengawasi serta memberikan edukasi dari suatu pengertian. Aktivitas olahraga hanya merupakan solusi bagaimana anak dapat diarahkan untuk berpikir cerdas di dalam olahraga.

    FKUB Kalbar Silaturahim Kerukunan ke Keuskupan Agung Pontianak

    Duta Pontianak | Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Barat melakukan Kunjungan Silaturahim Kerukunan ke Keuskupan Agung Pontianak. Rombongan dipimpin oleh Ketua FKUB Kalbar, Prof. Dr. Ibrahim, MA bersama para pengurus dari berbagai unsur agama.

    Dalam kesempatan tersebut, Ketua FKUB menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak, yang telah menerima kunjungan dengan penuh keramahan.

    “Kami sangat berterima kasih karena telah diterima dengan baik oleh Bapak Uskup. Kunjungan ini menjadi bagian dari upaya kami mempererat persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama di Kalimantan Barat,” ujar Ibrahim.

    Prof. Dr. Ibrahim, MA Ketua FKUB Provinsi Kalimantan Barat (20/8/2025)

    Ia menambahkan, pentingnya kunjungan langsung seperti ini agar tidak timbul salah persepsi.

    “Sering kali, ketika melihat hanya dari jauh atau dari luar, muncul perspektif yang keliru. Karena itu, melalui kunjungan ini kami bisa melihat langsung dan mengetahui keadaan yang sebenarnya,” tegasnya.

    Ibrahim juga menilai diskusi dan tanya jawab dalam silaturahim ini membuka banyak wawasan baru.

    “Melalui diskusi dan tanya jawab dalam silaturahim ini, banyak hal yang sebelumnya belum sepenuhnya kami pahami menjadi lebih jelas dan membuka mata kami,” ungkapnya.

    Dalam kesempatan itu, Uskup Agus memberikan penjelasan mengenai struktur Keuskupan dalam Gereja Katolik, sehingga para peserta kunjungan dari FKUB dapat lebih memahami tata organisasi dan pelayanan pastoral Gereja.

    Uskup Agus juga menjelaskan perbedaan antara Uskup Agung dan Uskup sufragan, yang menunjukkan hierarki serta tanggung jawab dalam kepemimpinan Gereja Katolik.

    Lebih jauh, Uskup Agus memaparkan tentang paroki-paroki yang ada di wilayah Keuskupan Agung Pontianak beserta jumlahnya, sehingga rombongan FKUB mendapatkan gambaran nyata mengenai pelayanan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.

    FKUB diajak Uskup Agus tinjau lokasi dalam gedung keuskupan (20/8/2025)

    Uskup Agus juga menyinggung cara Gereja menyikapi persoalan di masyarakat. Ia menegaskan bahwa apabila terjadi konflik atau gesekan, misalnya terkait pendirian gereja seperti yang pernah terjadi di Desa Kapur, umat awam tidak boleh mengatasnamakan Gereja.

    “Gereja sudah memiliki struktur resmi melalui paroki. Karena itu, yang harus terjun minimal adalah Pastor Paroki sebagai wakil resmi pihak Keuskupan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Uskup Agus menyampaikan pandangan Gereja mengenai pentingnya kerukunan antarumat beragama. Ia menyinggung Surat Ensiklik Fratelli Tutti Paus Fransiskus, yang menekankan pentingnya persaudaraan universal dan persahabatan sosial sebagai dasar membangun kerukunan, dialog, dan kerja sama lintas iman.

    Sebagai contoh nyata, Uskup Agus juga menceritakan pengalamannya mengundang tokoh Islam untuk memberikan pencerahan kepada para biarawan dan biarawati Katolik. Hal ini, menurutnya, merupakan wujud nyata dialog lintas iman yang saling memperkaya dan menumbuhkan sikap saling menghargai.

    Menanggapi penjelasan tersebut, Sekretaris FKUB Kalbar H. Nurwahid, S.Ag menyampaikan apresiasinya. Ia menilai pemaparan Uskup Agus sangat membuka wawasan baru mengenai kehidupan internal Gereja Katolik sekaligus memberi gambaran konkret bagaimana Gereja membangun kerukunan dengan umat beragama lain.

    dokumentasi di Kapel 12 rasul yang ada di gedung keuskupan (20/8/2025)

    Selain berdialog, rombongan FKUB juga mengapresiasi keunikan Gedung Keuskupan Agung Pontianak yang menjadi salah satu ciri khas Gereja Katolik di Kalimantan Barat.

    Sebagai penutup kunjungan, Uskup Agustinus Agus menjamu rombongan FKUB Kalbar dengan makan siang bersama di lantai 5 Gedung Keuskupan. Suasana penuh keakraban itu semakin mempererat persaudaraan dan mencerminkan semangat kerukunan yang dihidupi bersama.#Paul

    TERBARU

    TERPOPULER