Thursday, October 30, 2025
More

    Cara Konkret Menghayati Yubelium dalam Kehidupan Gereja

    Duta, Pontianak | Dalam kehidupan menggereja, peran seorang suster tidak hanya terbatas pada pelayanan rohani, tetapi juga meliputi pendampingan umat dalam berbagai kegiatan iman, termasuk dalam perayaan Yubelium.

    Yubelium menjadi momen istimewa bagiĀ  gereja untuk memperbaharui iman dan mempererat kebersamaan antarumat.

    Melalui wawancara Bersama Sr.Louise Marie SFIC (29/09/2025), kami mencoba menggali lebih dalam bagimana peran suster dalam mendampinggi umat serta bagimana makna Yubelium dapat dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

    Di dalam pendampingan umat di lingkungan, Suster berperan aktif untuk terlibat dalam kegiatan gerejawi.

    Dalam Gereja, keterlibatan tersebut tidak hanya terbatas pada perayaan misa atau kegiatan rohani lainnya, tetapi juga dalam membangun kebersamaan antarumat. Suster menekankan bahwa perayaan Yubelium bukan hanya milik para Suster atau Pastor, tetapi milik seluruh umat.

    Artinya, semua orang berperan dalam mewujudkan semangat persaudaraan dan pelayanan di dalam Gereja.

    Dalam Gereja secara universal, Suster juga merupakan bagian dari umat yang memiliki tanggung jawab untuk turut berpartisipasi dalam kehidupan menggereja.

    Baik dalam komunitas kecil maupun di lingkungan paroki, Suster ikut serta dalam berbagai kegiatan seperti devosi, doa bersama, dan pelayanan sosial.

    Suster menjelaskan bahwa penting bagi umat untuk saling melengkapi, saling mengajak, dan bekerja sama dalam semangat kebersamaan.

    Melalui keterlibatan aktif itu, umat dapat saling menopang dan membangun kembali semangat iman, terutama bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan atau kehilangan harapan.

    Beliau juga menyampaikan untuk menggugah yubelium pada kehidupan sehari-hari sebenarnya, semuanya kembali kepada diri kita masing-masing.

    Setelah krisis moneter tahun 1998 dan juga pandemi Covid-19, banyak orang mengalami keputusasaan ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang putus sekolah. Akibatnya, banyak umat yang kehilangan rasa percaya diri untuk bangkit kembali.

    Di sinilah peran kita semua untuk mendampingi mereka agar kembali memiliki pengharapan kepada Tuhan. Caranya adalah dengan berdoa. Tapi doa bukan hanya membuat tanda salib, melainkan sungguh berbicara dengan Tuhan dengan hati yang tenang dan batin yang hening.

    Dalam keheningan itu, kita bisa menumbuhkan kembali harapan dan kekuatan untuk menjalani hidup seperti sedia kala.

    Sebagai seorang religius, suster memaknai Tahun Yubelium sebagai momen kembali kepada diri sendiri dan memperbarui pengharapan kepada Allah. Setiap orang tentu memiliki cara yang berbeda dalam menghayati Yubelium, misalnya melalui ziarah ke sembilan gereja yang telah ditunjuk.

    Menariknya, ziarah ini juga menjadi sarana untuk menghidupkan kembali semangat umat di berbagai daerah. Misalnya, ketika kami mengunjungi umat di Tiang Tanjung dan Ambawang, antusiasme mereka luar biasa.

    Umat yang jarang mendapat kunjungan merasa diperhatikan dan dikuatkan. Dari situ, kami belajar bahwa kehadiran Gereja membawa harapan baru bagi mereka yang mulai kehilangan semangat hidup.

    Tantangan terbesar umat saat ini dalam memahami dan menghayati tahun yubelium seperti kurangnya empati.

    Banyak orang lebih sibuk dengan dunia digitalnya sendiri handphone, media sosial hingga melupakan kehadiran sesama. Saat diajak berkumpul, sering kali masing-masing sibuk dengan ponselnya.

    Kondisi ini membuat hati tertutup, sehingga sulit memahami makna kebersamaan dan kasih. Padahal, empati adalah dasar dari kasih dan perhatian terhadap sesama. Jika empati mulai hilang, maka semangat Yubelium yang mengajarkan pengharapan dan persaudaraan juga akan pudar.

    Tahun Yubelium ini bukan hanya tentang perayaan semata, tetapi juga tentang perjalanan iman dan pengharapan yang terus berlanjut. Tahun ini disebut sebagai Tahun Ziarah Pengharapan, namun semangatnya tidak boleh berhenti di sini saja.

    Kita sedang mempersiapkan diri menuju Yubelium berikutnya di tahun 2050. Tema dan situasinya mungkin akan berbeda, tetapi tujuannya tetap sama yaitu menumbuhkan iman dan harapan umat. Maka dari itu, setiap pribadi baik suster, bruder, maupun umat awam perlu saling menguatkan.

    Jangan biarkan siapa pun kehilangan arah atau iman karena pengaruh zaman. Perkembangan teknologi memang cepat, tapi jangan sampai membuat kita ā€œlupaā€ pada Tuhan.

    Justru di tengah dunia yang serba digital ini, iman dan empati harus semakin diperkuat agar semangat Yubelium tetap hidup dalam keseharian kita.

    *Martina dan Isni, Mahasiswi Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa Pontianak, San Agustin. – S.Ā 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles