Thursday, October 30, 2025
More

    Jejak Sunyi Seorang Dominikan

    Duta, Pontianak | “Menjadi kepanjangan tangan Tuhan”—itulah prinsip yang selalu dipegang oleh Romo Dominico Xaverio Budoyo Setiawan, OP (44) sejak awal memasuki kehidupan religius.

    Dalam wawancara yang berlangsung Sabtu, 18 Oktober 2025, Romo Dominic bercerita tentang keseharian, perjalanan panggilan, dan cara ia menemukan kehadiran Tuhan dalam hal-hal yang sederhana.

    Sebagai kapelan dan pendamping para frater di Seminari Tinggi Antonius Ventimiglia, tugasnya meliputi membantu Misa harian dan mingguan, mendampingi kegiatan para mahasiswa frater, sekaligus menyelesaikan tesis Licentiate Teologi Dogmatik di Universitas Santo Tomas, Filipina.

    Inspirasi panggilannya, kata Romo Dominic, berawal dari almarhum ayahnya yang dahulu seorang mualaf. “Ayah saya menjadi teladan terbesar. Namun keluarga dan teman-teman juga berperan besar dalam membentuk panggilan saya,” tuturnya.

    Kedua orang tuanya dulunya Muslim, lalu memutuskan menjadi Katolik, dan sejak lahir Romo Dominic sudah dibaptis secara Katolik.

    Satu kenangan masa kecil yang berkesan adalah ketika ia melihat ayahnya dengan penuh perhatian mengikuti siaran langsung Misa dari Vatikan melalui televisi. Peristiwa itu kemudian menjadi bahan renungannya di kemudian hari—bagaimana seseorang yang baru mengenal Kristus justru memiliki semangat iman yang begitu besar. Dari sanalah kesadaran akan imannya tumbuh dan membuatnya ingin semakin mendalami kekatolikan.

    “Gaya hidup saya sederhana,” ujarnya ketika ditanya tentang keseharian seorang imam. “Saya bukan tipe yang suka jalan-jalan. Kebanyakan waktu saya habiskan di kamar, membaca, menulis homili, dan melakukan riset.”

    Foto Anjeli: sedang mewawancarai Romo Dominic di Kapelan San Agustin Pontianak

    Selama studi di Filipina, ia menyadari bahwa homili yang baik lahir dari riset yang mendalam.

    Karena itu, ia banyak membaca buku teologi dan merenungkan pengalaman hidup, baik dirinya maupun orang lain.

    Namun yang paling bermakna bagi Romo Dominic adalah kehidupan komunitas di biara, karena di sanalah ia belajar menemukan Tuhan dalam setiap peristiwa kecil. “Kalau kita membuka mata dan hati, hal sederhana pun bisa menjadi tanda kehadiran Tuhan,” ujarnya.

    Sebagai religius, ia tidak mengenal hari libur. Harinya dimulai pukul 06.00 dengan doa pagi dan Misa bersama komunitas, lalu sarapan bersama.

    Setelah itu, ia memberi makan ikan di kolam biara—ikan yang nanti akan disantap bersama komunitas. Ia juga meluangkan waktu sekitar satu jam setiap hari belajar bahasa Spanyol, salah satu hobinya.

    Siang hingga sore diisi dengan membaca, menulis, menyelesaikan tesis, atau mengurus tugas sebagai sekretaris, archivist, dan chronicler di Biara Santo Dominikus, serta membantu pelayanan di Kapelan Universitas Santo Agustinus Hippo.

    Sore hari ia berolahraga ringan untuk menjaga stamina, dan malam harinya ia kembali membaca buku rohani atau mengulang pelajaran bahasa. Aplikasi seperti Duolingo menjadi sarana ia memperdalam kemampuan bahasa asing.

    Baginya, mempelajari bahasa baru berarti mengenal budaya lain dan memahami lebih luas keindahan ciptaan Tuhan.

    Dalam karya pastoral, Romo Dominic tidak menetap di paroki, tetapi membantu pelayanan Misa di Kuasi Paroki St. Petrus Kanisius Supadio, yang dilayani oleh Ordo Dominikan, serta melayani Misa bagi mahasiswa UNIKA Santo Agustinus Hippo.

    Pelayanan ini menuntutnya berhadapan dengan beragam orang dari berbagai latar belakang—tantangan yang justru ia syukuri sebagai kesempatan untuk belajar beradaptasi dan melayani dengan hati terbuka.

    “Memberi itu lebih baik daripada menerima,” katanya. “Maka, berikanlah senyummu kepada orang lain.”

    Perjalanan hidup religiusnya sendiri tidak direncanakan sejak awal. Setelah lulus dari SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan, ia kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, jurusan Akuntansi. Ia kemudian bekerja di Jakarta selama delapan tahun di bidang keuangan. Baru pada usia 32 tahun, ia memutuskan untuk masuk biara.

    Alasannya sederhana: sepanjang hidup ia merasa dilindungi dan dituntun oleh Tuhan, tetapi di balik kesuksesan dan kenyamanan hidup duniawi, ia merasakan kekosongan batin yang tidak bisa diisi oleh hiburan atau kesenangan sesaat.

    Pencarian itu membawanya menelusuri makna nama baptisnya, Dominico Xaverio, di internet. Di sana ia menemukan sosok Santo Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Dominikan, yang hidupnya berfokus pada doa, pewartaan Sabda, dan penyelamatan jiwa-jiwa. Dari sanalah tumbuh keyakinan untuk mengikuti jalan hidup religius.

    Bagi Romo Dominic, hidup religius dan hidup berkeluarga sama-sama panggilan mulia. Keduanya merupakan jalan menuju kekudusan, tergantung bagaimana seseorang menjalani dengan kesetiaan dan cinta.

    Ia pun memutuskan masuk biara tanpa perlu meminta izin orang tua karena sudah yakin dan dewasa dalam pilihan hidupnya.

    Untuk menjaga keseimbangan hidup, ia memegang tiga prinsip: istirahat cukup, makan bergizi, dan memiliki hobi yang menumbuhkan semangat baru. Hobinya memelihara ikan, misalnya, mengajarkannya untuk memperhatikan hal-hal kecil—memberi makan, merawat, mengenal kebiasaan makhluk hidup—yang menjadi sarana belajar tentang kesetiaan dan kehadiran Tuhan dalam keseharian.

    Dalam sesi wawancara, Romo Dominic juga menyampaikan pesan mendalam bagi kaum muda. Ia mengajak generasi muda untuk berani memulai hal baru dan menggunakan teknologi secara bijak. “Internet dan media sosial tidak bisa dihindari, tapi bisa digunakan untuk belajar dan mencari makna hidup,” ujarnya.

    Ia juga menasihati agar anak muda memilih teman yang baik, memiliki figur yang bisa dipercaya untuk membimbing kedewasaan, serta tidak terjebak pada gosip dan media sosial. “Gunakan waktumu untuk belajar, aktif di organisasi, pelayanan di gereja, atau belajar bahasa asing. Semua itu memperkaya hidupmu,” pesannya.

    Menurutnya, masa muda adalah saat terbaik untuk menghidupi nilai-nilai kebaikan Tuhan, bukan sekadar mencari popularitas atau “likes” di media sosial.

    Perjalanan hidup sederhana Romo Dominic diharapkannya dapat menjadi inspirasi—baik bagi mereka yang memilih hidup berkeluarga maupun selibat. Sebab, yang terpenting dari semua panggilan hidup adalah kesetiaan dan kesungguhan untuk menjalaninya setiap hari.

    *Anjeli adalah mahasiswa Keuangan dan Perbankan di Grha Arta Khatulistiwa Pontianak, Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II (S).

    Narasumber: RP. Dominico Xaverio Budoyo Setiawan, OP. 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles