Sunday, October 26, 2025
More

    Membangun Peradaban Cinta di Sekolah

    DUTA | Saat ini, para siswa mengalami tantangan yang berat terkait dengan pelajaran sekolah yang kian membebani. Ini semakin berat dengan proses pembelajaran di sekolah yang acapkali miskin cinta sehingga tidak menyenangkan siswa.

    Guru menyalahpahami siswa, siswa antipati pada guru.  Siswa dalam posisi tidak berdaya mengingat hubungan guru-siswa bercorak relasi kuasa. Siswa, dalam ketidakberdayaannya, hanya bisa geram dan benci terhadap guru yang tidak mereka sukai. Guru pun semakin sering menyalahkan siswanya.

    Selain kondisi proses pembelajaran yang tidak menyenangkan, para siswa juga menghadapi longsoran wibawa nilai-nilai dan runtuhnya norma-norma sosial dalam pergaulan yang membingungkan.

    Di zaman digital (mabuk internet) dan kepungan tayangan televisi yang tidak mendidik, kita tidak gampang mendidik anak remaja di tengah kecanduan gadget yang meracuni itu (lih. J. Sumardianta, 2013) dan kondisi kehidupan di masyarakat kita yang miskin keteladanan.

    Di tengah  kondisi proses pembelajaran yang tidak menyenangkan plus kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kian sumpek, nirketeladanan, disadari atau tidak, hal itu mendorong siswa berperilaku kasar bahkan anarkis.

    Mereka melampiaskan kemuakan mereka dengan melakukan perbuatan di luar nalar. Boleh jadi hal itu dilakukan sebagai bentuk protes atas segala kemunafikan, hipokrisi dan korupsi yang kian menggurita dan menggila di masyarakat kita.

    Remaja (siswa) kita membutuhkan suasana kondusif yang memungkinkan mereka tumbuh secara spiritual.

    Itulah sebabnya, membangun peradaban cinta di sekolah dan meracik serta memberikan pembelajaran bermakna dan kontekstual menjadi sangat penting. Bagaimana mewujudkannya?

    Di tengah rupa-rupa persoalan yang dihadapi siswa dengan segala dampaknya saat ini, proses pembelajaran yang bisa membantu pelajar terhubung secara lebih sadar dengan intelegensia abadi dalam hati,  menggeser para pelajar dari kepala ke nurani mereka, beranjak dari logika menuju waskita, melampaui persepsi menuju visi, dan mengatasi keduniawian dengan kesejatian sehingga membuat jiwa siswa menari kegirangan sungguh menjadi keniscayaan.

    Pada titik ini, peran guru sebagai motivator dan aktivator yang mampu menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan membahagiakan menjadi tuntutan.

    Bagaimana membuat agar siswa kita bahagia dalam aktivitas belajarnya mesti menjadi tujuan dalam kita mengajar dan mendidik untuk meledakkan prestasi puncak siswa.

    Agar kita mampu mewujudkan proses pembelajaran yang demikian, menjadi guru yang mampu menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan membahagiakan sehingga mampu menularkannya kepada para siswa kita, kita harus mampu berdamai dengan diri sendiri atas segala persoalan yang dialami dan memahami konsep diri sebagai guru  secara utuh.

    Pada titik ini, kemampuan guru untuk menghadirkan peradaban cinta dan kemampuan menyentuh hati siswa menjadi keniscayaan.

    Siswa bisa melupakan apa saja yang diajarkan dan dilakukan gurunya. Namun, siswa akan selalu mengingat dan mengenang apa saja yang membuat hati mereka tersentuh. Ini mestinya menjadi landasan pijak (paradigma) kita sebagai guru.

    Siswa tidak akan mengingat materi pembelajaran, tetapi merekam sentuhan kasih dan inspirasi baik yang tersurat maupun tersirat dari sang guru.

    Guru yang hebat bukan karena kuasanya. Guru yang dihargai dan dihormati karena menghargai dan menghormati siswanya.

    Guru yang mampu menghadirkan peradaban cinta di kalangan siswanya. Karena itu, guru mesti bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik) serta selalu merasa bahagia ketika berhasil mengantarkan dan merayakan kebahagiaan bagi siswanya.

    Kini, saatnya kita sebagai guru untuk melakukan perubahan dalam proses pembelajaran. Mari kita mengajar dan mendidik dengan kekuatan cinta yang memikat dan menyentuh.  Amor mundum fecit.

    Cinta itu menciptakan dunia. Amor vincit omnia. Cinta itu mengatasi segala-galanya. Cinta adalah senjata yang paling ampuh saat menghadapi situasi kritis dan kondisi darurat (termasuk menghadapi kegersangan moralitas dan kebangkrutan spiritual siswa).

    Mari kita menjadi Guru Kebahagiaan bagi siswa-siswi kita. Niente Senza Gioia (Tiada hari tanpa kegembiraan).

    Saatnya kita memahat kebajikan khas bagi generasi peradaban negeri ini.

    Mari kita menjadi elang  yang bisa terbang tinggi sehingga memiliki jarak pandang yang sangat luas dan jauh ke depan agar kita mampu mengajar dan mendidik siswa generasi digital ini dengan penuh cinta.

    “Do the best and let God do the rest”. Berusaha sebaik mungkin sembari percaya Tuhan sendiri yang akan membereskan sisanya.

    Mudah-mudahan pemikiran sederhana ini dapat berkontribusi dan menjadi inspirasi bagi teman-teman yang telah memilih profesi guru sebagai jalan kehormatannya sehingga mampu memfasilitasi dan mengaktifasi siswa dalam optimalisasi talenta yang mereka miliki.

    Oleh: Y Priyono Pasti | Penulis Alumnus USD Yogya Guru di SMP/SMA St. F. Asisi Pontianak – Kalimantan Barat. 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles