Sunday, November 9, 2025
More

    Ancaman Ganda Bonus Demografi

    Duta, Pontianak | Jurang Kesenjangan Keterampilan, Quiet Quitting, dan Gen Z.  Hampir sebagaian bahkan mayoritas dari kita mengetahui bahwa Indonesia tengah berada dalam periode emas. Emas disini bukan berarti emas dalam bentuk logam mulia tapi emas yang diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai.

    Indonesia saat ini hampir  70 persen penduduk berada di usia produktif yaitu kisaran 15 sampai 64 tahun, yang biasa disebut sebagai bonus demografi. Bonus Demografi pada hakekatnya merupakan kesempatan strategis untuk mencapai disebuah negara dan ini sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang telah dicanangkan di periode pemerintahan sebelumnya.

    Namun, perlu kita pahami bersama bahwa potensi besar ini terancam oleh dua krisis nyata di lapangan kerja. Sesuatu hal yang paling ditakuti dan menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Lalu apa saja dua kiris nyata di lapangan kerja saat ini di lingkungan di Indonesia

    ​Yang pertama, kita bisa menyebutkanya sebagai bom Waktu Demografi. Ketika mengatakan kata “bom” selalu terlintas dalam pikiran kita bahwa hal ini berkonotasi negative, ini berarti akan ada hal  yang bakal atau akan muncul.

    Terus bagaimana dengan bom yang dimadsud dalam tulisan di atas. Yakni Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada Agustus 2024 ada 8,99 juta anak muda Indonesia yang tergolong “not in education, employment, and training” (NEET), sekitar 20,30 persen dari pemuda Indonesia (usia 15–24 tahun).

    Mereka tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan. Sesuatu hal yang tidak bisa dipandang remeh karena menyangkut masa depan negara.  Ini merupakan potensi produktif yang terbuang percuma, mengancam kestabilan jangka panjang.

    ​Kemudian yang kedua adalah krisis Keterlibatan (Engagement).  Di kalangan yang sudah bekerja, saat ini muncul fenomena Quiet Quitting (QQ) atau “bekerja seadanya” atau “ berhenti diam-diam”  situasi atau fenomena ini menjadi epidemi di Indonesia saat ini karena cepat sekali menyebar dan menciptakan fenomena bahkan gaya hidup baru bagi sebagai pekerja atau karyawan dalam perusahaan atau tempat bekerja.

    Terutama Gen Z dan Milenial, Quiet Quitting dapat diartinya secara sederhana tentang bagaimana seseorang karyawan atau pegawai yang memilih bekerja sebatas tugas minimum dan tanpa inisiatif tambahan. Bagaimana hal ini bisa muncul, jelas memiliki berbagai macam alasan yang kuat yang memengaruhi secara terus menerus.

    Salah satunya sebagai bentuk cermin penolakan terhadap budaya kerja keras berlebihan (hustle culture). Hustle Culture merupakan tren atau budaya atau gaya hidup pegawai atau pekerja yang mendorong kerja keras tanpa henti demi mencapai kesuksesan dan pencapaian target usaha atau perusahan tempat bekerja, Hustle Culture sering kali dianggap mengorbankan kesehatan fisik dan mental dari para pekerja atau pegawai dan hal ini merupakan sinyal kuat adanya kegagalan banyaknya Manajemen Sumber Daya Manusia di perusahaan atau tempat bekerja di Indonesia dalam menciptakan lingkungan kerja yang suportif dan nyaman.

    ​Banyak perusahaan kini berada di persimpangan jalan. Mereka dihadapkan pada tekanan biaya operasional seperti rencana kenaikan UMP 2025, sambil harus mengelola generasi muda yang menuntut fleksibilitas, keseimbangan hidup, dan tujuan yang lebih besar dari sekadar gaji. Kegagalan merespons tantangan ini akan mengubah Bonus Demografi dari aset menjadi kewajiban yang mahal dan masalah dimasa depan.

    Mengapa Krisis NEET Kini Lebih Berbahaya?

    ​Kita bisa melihat bahwa 20-30 tahun yang lalu, banyak orang atau individu mencapai kesuksesan finansial tanpa gelar universitas, paradigma ini tidak lagi berlaku saat ini. Urgensi untuk mengatasi Gen Z NEET sekarang berakar pada pergeseran struktural ekonomi global. ​

    Model kesuksesan 20–30 tahun lalu didukung oleh struktur ekonomi yang masih memiliki permintaan tinggi untuk pekerjaan yang bersifat manual, rutin, dan padat karya. Pekerjaan ini, seperti teknisi atau pengrajin adalah tangga yang aman bagi lulusan non-akademik untuk mencapai karir yang baik.

    Mulai muncul ancaman otomasi di sekitar kita membuat saat ini, pekerjaan yang bersifat rutin dan terprediksi, atau bahkan teratur dapat digantikan oleh robot dan Kecerdasan Buatan (AI). Di Indonesia, diprediksi hingga 23 juta pekerjaan berisiko hilang akibat otomatisasi, mengapa? Karena kecendrungan mayoritas masyarakat Indonesia bekerja pada level tersebut.

    Pekerjaan yang sifatnya rutin, dapat diprediksi, teratur sehingga bisa dingantikan suatu saaat oleh teknologi.  Ironisnya dari kita tidak terlalu menyadari hal tersebut dan menganggap masih banyak waktu untuk mempersiapkan diri, padahal situasi ini sudah didepan mata.

    Gen Z NEET kini menghadapi kondisi memprihatinkan karena mereka tidak memiliki keterampilan kognitif dan digital tingkat tinggi seperti yang dulu diperoleh dari pendidikan formal, sementara pekerjaan manual atau dasar yang mereka kuasai pun sudah tidak aman lagi atau dengan kata lain sudah mulai akan diganti dengan sesuatu yang lebih modern.

    Model kesuksesan yang mengandalkan keterampilan manual stabil kini telah berakhir dan mulai memudar. Generasi muda tidak bisa lagi mengandalkan jalur yang sama seperti orang tua mereka atau model kerja 20-30 tahun yang lalu.

    Globalisasi yang Eksklusif Memicu Kesenjangan Keterampilan

    ​Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini didorong oleh teknologi dan globalisasi. Namun, pertumbuhan ini tidak merata dan cenderung hanya menguntungkan pekerja terampil. Disatu sisi hal ini merupakan hal yang miris tetapi disis lain ini adalah fakta yang terjadi dimasyarakat.

    Masuknya teknologi canggih secara sistematis meningkatkan permintaan untuk pekerja yang sudah terdidik dan memiliki keterampilan sedangkan mereka yang tidak memiliki itu akan mengalami kesulitan dalam memilih pekerjaan saat ini dan bahkan dimasa depan nanti.

    Pekerjaan masa depan menuntut kemampuan beradaptasi dan pembelajaran berkelanjutan (life-long learning), sesuatu yang sulit dibangun jika seseorang berada di luar sistem pendidikan dan pelatihan seperti mereka- mereka atau generasi yang masuk kategori NEET.

    Dari hal ini dapat kita garisbawahi bahwa  pertumbuhan ekonomi modern lambat laun akan meninggalkan Gen Z NEET di belakang, memperburuk ketimpangan, dan mengubah potensi aset menjadi masalah struktural.

    Konsekuensi Jangka Panjang

    ​Jika kita gagal mengintegrasikan 20,30 persen Gen Z yang masuk kategori NEET sekarang, konsekuensinya bukan hanya ekonomi tetapi banyak hal. Kegagalan ini berisiko menciptakan populasi besar yang memiliki produktivitas rendah dengan kualitas yang rendah.

    Dalam 20 tahun ke depan, kelompok ini akan mencapai usia paruh baya yang tidak produktif serta berpotensi membutuhkan dukungan sosial seumur hidup, alih-alih menjadi kekuatan produktif.

    Hal ini mengancam ketahanan fiskal dan visi Indonesia Emas 2045 sehingga malah memperburuk situasi negara di masa depan. Sulit membayangkan negara Indonesia yang saat ini saja masih berkembang harus menghadapi masalah seperti itu, jelas yang terlintas dalam benak dan pikiran hanyalah negara yang akan susah dan penuh masalah ekonomi.

    Dual Krisis yaitu NEET dan Quiet Quitting

    ​Krisis Gen Z NEET dan Quiet Quitting adalah dua sisi seperti mata uang yang sama. kegagalan sistem dalam mengelola potensi dan ekspektasi generasi muda. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini bukan saja sekadar “Malas” untuk bersekolah atau berkuliah atau bekerja seperti opini yang sering diutarakan sebagaian dari kita ketika melihat generasi mudah yang tidak bersekolah atau kuliah , tapi juga adanya muncul krisis Struktural Fenomena gen Z yang masuk kategori NEET mencapai 8,9 juta jiwa pada tahun 2024, didorong oleh dua faktor utama diantaranya terkait biaya Pendidikan dan ​Kesenjangan Keterampilan (Skills Mismatch).

    Dan yang paling mengkhawatirkan adalah kenaikan signifikan jumlah pengangguran dari kalangan lulusan perguruan tinggi (mencapai 959 ribu orang pada 2023).

    Krisis Quiet Quitting (QQ) bentuk dari Cermin Kegagalan Kepemimpinan

    ​Singkatnya Quiet Quitting adalah penarikan diri pasif. Karyawan hanya bekerja sebatas deskripsi pekerjaan minimum, tanpa inisiatif, dan tanpa keterlibatan emosional dan terkesan tidak terlalu peduli dengan yang bukan menjadi urusan pekerja.

    Dari mana akarnya? Semua berakar dari ketidakseimbangan tuntutan kerja yang tinggi dan minimnya dukungan psikologis, pengakuan, atau feedback yang adil. Bagaimanapun juga karyawan adalah manusia yang secara biologis dan naluri membutuhkan pengakuan, rasa nyaman, dihargai serta diperlakukan adil seperti yang lain yang ada disekitarnya.

    Lalu bagaimana mengatasi atau meminimalisir hal tersebut, penelitian-penelitian banyak menunjukkan bahwa  quiet quitting dapat diatasi dengan meningkatkan kepuasan kerja melalui kepemimpinan yang memberdayakan (empowering leadership) dan budaya organisasi yang positif.

    Jika pemimpin gagal menciptakan ruang kerja yang inklusif, suportif, dan fleksibel, Gen Z akan memilih mode quiet quitting sebagai bentuk perlindungan diri di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu saat ini.

    Organisasi atau perusahaan harus apa terkait fenomena ini.

    ​Untuk mengatasi krisis ganda ini, Manajemen SDM ditiap perusahaan atau organisasi harus bertransformasi dari fungsi administratif menjadi mitra strategis yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis data (data-driven).

    Sederhananya adalah bahwa karyawan dipandang sebagai pusat nilai dan makna untuk organisasi atau perusahaan. Bagaimana aplikasi dari konsep ini bisa diterapkan , adalah seperti model Hybrid Working secara terstruktur. Fleksibilitas ini adalah salah satu kunci retensi atau mempertahankan talenta terbaik, tetapi harus disertai jaminan hak karyawan (gaji penuh, dukungan alat kerja).

    Dukungan terhadap kesehatan mental dan work-life balance harus menjadi perhatian utama untuk mengatasi pemicu quiet quitting. Jelas hal Ini wajib melibatkan pembangunan budaya kolaboratif dan peningkatan komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan. Selain itu Perkuat proses onboarding (proses menyatukan karyawan baru dengan budaya organiasasi saat baru bergabung).

    Proses yang baik, yang berlanjut hingga karyawan mandiri, terbukti dapat meningkatkan tingkat retensi hingga 82% sehingga kecendrungan karyawan untuk resign atau quiet quitting bisa dikurangi.

    Perusahaan wajib berubah dan adapting tidak hanya karyawan, tetapi  membahas tentang Gen Z, maka mereka sendiri yang memegang kunci utama untuk mengatasi NEET itu sendiri dan menghindari terperangkap dari Quiet Quitting. ​

    Bagaimana dengan Gen Z?

    Yang harus dipahami dan dilakukan oleh Gen Z adalah membuat investasi pada keterampilan yang tidak bisa diotomasi. Gen Z harus berinvestasi pada keterampilan yang akan tetap relevan di tengah gempuran AI dan otomasi didunia pekerjaan saat ini dan masa depan.

    Memprioritaskan pada keterampilan teknis akan cepat usang atau ditelan teknologi, tetapi keunggulan kita di masa depan harus terletak pada soft skills.

    Karena banyak sekali kemampuan yang dibutuhkan oleh kita saat ini yang tidak sadari seperti ​kecerdasan emosional yaitu kemampuan memahami dan mengelola emosi diri dan orang lain, serta menunjukkan empati selain itu, komunikasi Interpersonal dan Presentasi selain itu keterampilan menyampaikan ide dengan percaya diri dan membangun kehadiran profesional yang kuat. Berpikir kritis dan pemecahan masalah merupakan hal yang juga  Gen Z pelajari untuk  menghadapi masalah secara strategis dan mendalam di organisasi atau dilingkungan kerja. Kemudian adapting terhadap lingkungan kerja dan inovatif.

    Selanjutnya  ​kuasai literasi digital professional karena keterampilan digital kini menjadi prasyarat. Gen Z perlu menguasai analisis data dasar, seperti Web Analytics atau SQL, untuk meningkatkan daya saing di pasar kerja.

    ​​Untuk menjembatani jurang skills mismatch, pengalaman praktis jauh lebih berharga daripada sekadar nilai akademik. Pengalaman magang dan kerja praktik sangat penting untuk meningkatkan keterampilan profesional. Magang memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan kampus di dunia nyata, memahami dinamika kerja, dan membangun jaringan profesional.

    Gen Z harus melihat wirausaha atau side hustle (pekerjaan sampingan) sebagai jalur untuk membangun keterampilan manajerial dan finansial yang mandiri. ​Selain itu jangan lupa untuk memprioritaskan Keseimbangan dan Kesehatan Mental dalam menghadapi tekanan dunia kerja, menjaga kesehatan diri adalah fondasi utama.

    ​Gen Z harus secara proaktif menjaga kesehatan fisik, mengelola stres, dan tetap fokus pada tujuan jangka panjang agar dapat terus berkembang dan menjadi individu yang kompetitif. Perlu juga Gen Z harus melakukan refleksi mendalam mengenai tujuan karir mereka. Pilihlah perusahaan yang menawarkan budaya kerja inklusif, suportif, dan selaras dengan nilai-nilai pribadi, jangan mengejar  hustle culture berlebihan.

    Kesimpulan akan harapan dimasa depan

    ​Krisis Gen Z NEET dan Quiet Quitting adalah panggilan keras bagi Indonesia. Solusi tidak dapat datang dari satu pihak saja; dibutuhkan sinergi tiga pihak, pertama, pemerintah harus memfasilitasi pelatihan kerja digital intensif  dan memastikan pendidikan berkualitas lebih terjangkau dan relevan.

    Kedua , Perusahaan harus bertransformasi menjadi fungsi yang human-centered dan data-driven. Dan ketiga, Gen Z Harus proaktif menguasai soft skills, mencari pengalaman nyata, dan menjadi individu yang adaptif dan kompetitif di tengah disrupsi otomasi.

    ​Dengan kemauan untuk beradaptasi dari semua pihak, kita dapat mengubah jutaan anak muda yang masuk kategori NEET dari ancaman dan menjadikan mereka  kekuatan produktif yang akan benar-benar membawa Indonesia mencapai visi emas di tahun 2045.

    *Theodorus Yanzens, S.S., M.M. adalah Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, di Kampus II Pontianak – Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa.

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles