Duta, Pontianak | Ada sebuah kisah dari negeri Tiongkok tentang perosotan dan tangga. Di malam yang sunyi, setelah seharian “melayani” anak-anak di taman bermain, keduanya berbincang panjang.
Perosotan merasa dirinya paling dicintai, kemudian tak segan ia membawa anak-anak meluncur cepat dengan tawa riang. Sementara tangga, dalam pikirnya hanya membuat orang kelelahan.
“Setiap hari banyak anak yang memanjat dirimu, dan semuanya kelelahan dan bercucuran keringat. Sedangkan anak-anak yang merosot di atas tubuhku, mereka penuh tawa gembira. Engkau bisa lihat betapa besar jasa yang kuberikan kepada umat manusia. Betapa mereka mencintai saya!”
Mendengar ucapan perosotan yang penuh dengan nada sombong, tangga hanya tertawa kecil, sedikit pun tidak membela diri. Perosotan pun tidak melanjutkan keponggahannya. Keduanya sejenak diam, menunggu kantuk yang belum juga datang.
Karena tidak ada kegiatan lain, mereka berdua sepakat untuk berjalan-jalan ke luar. Ketiga tiba di dekat sebuah gedung tinggi, tangga menunjuk anak-anak tangga di tengah gedung dan berkata kepada perosotan, “apakah engkau lihat tangga yang ada di pinggir gedung tinggi itu?”
“Ya, saya melihatnya,” jawab perosotan.
“Itu kakak tertua saya, Anak Tangga. Dengan melalui tubuhnya , orang bisa naik ke atas dan sampai di tingkat yang mereka inginkan,” demikian tangga menjelaskan.
Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah gunung. Mereka melihat undak-undakan (semacam tangga) yang panjang sampai ke puncak gunung. Tangga pun angkat suara, “apakah engkau lihat undak-undakan itu? Itulah tangga yang bisa mengantarmu sampai ke puncak gunung.”
Perosotan pun mengangguk tanpa bersuara. Matanya membaca tulisan peringatan di pinggir jalan; “kalau hendak sampai di puncak gunung, berjalanlah melalui undak-undakan atau anak tangga ini.”
Mereka terus melanjutkan perjalanan sampai jauh malam. Di sepanjang perjalanan, ditemui tangga di mana-mana. Melalui perjalanan ini, perosotan akhirnya menyadari bahwa tangga ada di mana-mana, sedangkan perosotan jarang sekali terlihat.
“Sekarang saya mengerti, orang-orang yang merosot di atas diriku hanya anak-anak kecil yang masih ingusan, Tetapi ketika beranjak dewasa, mereka mulai mendaki tangga kalau mau menuju puncak. Sedikit orang yang mau merosot ke bawah.”
Perosotan pun melanjutkan, “saya telah gegabah dengan meninggikan diri sendiri, maafkan saya. Kalian para tangga jauh lebih berguna daripada saya.”
Mendengar pengakuan perosotan, tangga pun berkomentar, “Kita semua bisa dibuat istimewa dan memiliki satu tujuan, jadi tidak perlu saling membandingkan. Hal itu hanya memicu kesombongan atau perasaan rendah diri semata.”
Namun, dalam perjalanan malam itu, perosotan sadar bahwa tangga hadir di mana-mana — di rumah, gedung, bahkan gunung. Semua tangga memiliki satu fungsi, membantu manusia naik ke tempat yang lebih tinggi. Ia pun akhirnya menyesal atas kesombongannya. “Anak-anak memang bermain denganku,” katanya lirih, “tapi orang dewasa memilih menaiki tangga untuk mencapai puncak.”
Evaluasi dan pengendalian
Kisah sederhana ini sesungguhnya menyimpan pelajaran besar bagi dunia ekonomi dan manajemen modern. Dalam kehidupan bisnis, banyak orang ingin menjadi “perosotan” — ingin cepat terkenal, cepat untung, dan cepat sampai di puncak.
Namun, mereka lupa bahwa kemajuan yang sejati membutuhkan tangga langkah demi langkah yang terukur, terencana, dan diawasi secara berkelanjutan. Di sinilah pentingnya ‘evaluasi dan pengendalian’ dalam dunia marketing, ekonomi, dan manajemen.
Dalam marketing, godaan untuk menjadi “perosotan” sangat lah besar. Perusahaan tergoda meluncur cepat lewat promosi sensasional, potongan harga besar-besaran, atau ekspansi mendadak tanpa perhitungan.
Hasilnya memang cepat terasa — seperti tawa anak-anak di taman bermain — tapi sering kali hanya sesaat. Tanpa evaluasi yang matang, strategi itu bisa membuat bisnis kehilangan arah, reputasi, bahkan kepercayaan pelanggan.
Evaluasi dalam marketing bukan sekadar mengukur angka penjualan, tetapi meninjau kembali apa yang sebenarnya terjadi di pasar. Apakah produk benar-benar menjawab kebutuhan konsumen?
Apakah pesan yang disampaikan mencerminkan nilai perusahaan? Evaluasi memberi cermin, dan pengendalian menjadi pegangan agar tidak tergelincir di perosotan keserakahan dan euforia sesaat.
Tangga dalam kisah tadi menggambarkan proses disiplin. Setiap anak tangga itu dianalogikan seperti tahap evaluasi dan pengendalian mulai dari riset pasar, uji coba produk, perbaikan layanan, penguatan SDM, dan kontrol anggaran. Dengan melewati semua itu, sebuah organisasi tidak hanya naik, tetapi juga bertumbuh dengan pijakan yang kokoh.
Perosotan itu Licin
Dalam manajemen organisasi, terutama di sektor ekonomi rakyat seperti koperasi, evaluasi dan pengendalian bukan sekadar tugas administratif. Semua itu diibaratkan seperti napas keberlanjutan. Banyak koperasi gagal bukan karena kurang modal, melainkan karena pengurusnya tak punya sistem pengendalian yang jelas, uang keluar tanpa rencana, laporan tidak diaudit, keputusan diambil tanpa data.
Evaluasi dan pengendalian dalam manajemen serupa dengan bentuk tangga yang menopang kepercayaan. Setiap langkah ke atas dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan harus bisa dipertanggungjawabkan. Dalam bahasa ekonomi, ini disebut accountability dan transparency.
Pemerintah yang membangun program ekonomi seperti Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) pun membutuhkan dua hal itu.
Sebagus apa pun visi pemberdayaan masyarakat, tanpa evaluasi berkala dan mekanisme pengendalian keuangan yang kuat, KDMP hanya akan jadi perosotan yang licin, cepat meluncur di awal, tapi sulit bangkit ketika tergelincir.

Evaluasi Sebagai Budaya Naik Tangga
Evaluasi bukan berarti mencari kesalahan, melainkan mencari kebenaran yang lebih dalam. Kebiasaan ini merupakan budaya naik tangga dengan perlahan, konsisten dan terarah. Dalam dunia pasar maupun pemerintahan, evaluasi merupakan proses untuk mencegah kesalahan terulang dan mengarahkan organisasi pada efisiensi serta inovasi.
Demikian pula dengan pengendalian, perspektif ekonomi melihat bahwa pengendalian bukanlah pembatasan yang mengekang, tetapi pagar yang menjaga agar energi organisasi tidak terbuang percuma.
Kita hidup di era yang memuja kecepatan. Semua ingin viral, laris, dan sukses instan. Namun seperti perosotan dalam kisah Tiongkok tadi, kecepatan tanpa arah hanya akan membawa kita turun.
Zaman memang menuntut kita bergerak cepat, tetapi bukan tanpa kendali. Tangga mengajarkan kita arti kemajuan yang sejati bahwa naik ke puncak memerlukan kesabaran, pengukuran, dan pengendalian. Evaluasi memberi arah, dan pengendalian menjaga keseimbangan.
Dalam ekonomi dan manajemen, mereka yang memilih menjadi “tangga” mungkin tidak selalu tampak gemerlap. Tetapi merekalah yang membuat organisasi, perusahaan, dan masyarakat bisa naik perlahan, namun pasti, menuju kesejahteraan yang berkelanjutan. Semoga!
*Samuel – Dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa.


