Friday, November 7, 2025
More

    Kembali ke Akar, Refleksi Perayaan Pekan Gawai Dayak ke – 39′

    Duta, Pontianak | “Adil ka Talino, Bacuramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Arus, arus, arus….”

    Oleh: Samuel, S.E., M.M. (CO. Humas, Publikasi dan Dokumentasi)

    Sekberkesda | Kamis 15 Mei 2025 – Pekan Gawai Dayak ke-39 (2025), boleh-lah kita lihat sebagai sebuah Refleksi Eksistensial. Di tengah dunia yang makin tergesa-gesa dan distraksi, Pekan Gawai Dayak (PGD) bukan sekadar festival budaya. Ia adalah warisan budaya tak benda yang hidup—menyimpan jejak, suara, dan napas awal peradaban manusia di tanah Kalimantan. Dalam setiap gawai, ada cermin dari masa silam, dan petunjuk arah bagi masa depan.

    Tahun ini (2025), Pekan Gawai Dayak ke-39 yang nanti dibuka dengan Misa Pembukaan oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus, di Rumah Radank, Pontianak, (16 Mei) yang berlanjut hingga 25 Mei mendatang. Sebuah awal nan sakral untuk sebuah pekan yang bukan hanya penuh warna, tetapi juga penuh makna.

    Pekan Gawai Dayak (PGD) menilik langkah perjalanan menuju pemahaman—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana hendak melangkah. Di balik tari-tarian, rangkaian acara dan musik tradisi, tersimpan ‘napas’ nilai hidup untuk mengakar dan menyatu dengan alam – bergandengan bersama komunitas dan waktu.

    Boleh kita sebut sebagai petualangan intelektual sejati. Menjelajahi bukan hanya data dan fakta, tetapi juga rasa dan makna. Sebagaimana yang diungkapkan Viktor Frankl yang seroang Psikiater dan filsuf eksistensialis Austria, yang sangat dikenal lewat karyanya Man’s Search for Meaning (Manusia mencari makna). Frankl berpendapat bahwa pencarian makna adalah motivasi utama manusia, bahkan dalam kondisi penderitaan ekstrem sekalipun.

    Sama halnya dengan Martin Heidegger seorang filsuf eksistensialis Jerman, yang menekankan pentingnya “keberadaan” (Being) dan menyatakan bahwa kesadaran akan kematian mendorong manusia untuk mencari makna sejati dalam hidupnya.

    Kita menemukan bahwa di tanah Kalimantan, manusia telah lama hidup dalam dialog dengan hutan, sungai, dan jiwa alam. Bukan sebagai penguasa, tapi sebagai penjaga dan bagian dari keseluruhan.

    Diam yang Menyentuh

    Pekan Gawai Dayak berlangsung tidak lama, mulai 16 – 25 Mei 2025,  juga merupakan momen spiritual yang ‘halus’ namun kuat. Dari tabuhan gong hingga gerakan penari, dari doa-doa yang dilantunkan ke langit hingga tenunan yang ditenun dengan doa-doa diam, kita (saya dan anda) mengalami kondisi ‘kesadaran’ yang bukan konsep, melainkan pengalaman eksistensial pada setiap nurani.

    Jiwa (boleh juga kita sebut dengan ‘Roh’) hadir secara lembut, ia yang tidak memaksa, tidak menceramahi, tetapi hadir dan mengalir. Kita tidak diminta untuk sekedar percaya, namun mampu merefleksikan kehadiran itu melalui ‘semiotika’ alam agar mampu me-‘rasa’-kan. Dari rasa itulah muncul kesadaran: bahwa hidup itu sakral, tubuh itu rumah roh, dan bumi adalah ibu.

    Warisan Budaya Tak Benda

    PGD juga merupakan bentuk pengakuan bahwa budaya Dayak bukan hanya penting bagi komunitasnya, tetapi penting sebagai refleksi untuk seluruh umat manusia. Ia adalah Warisan Budaya Tak Benda, sebagaimana ditetapkan (2017 lalu), yang mengandung nilai-nilai yang lebih tua dari konsep negara dan sistem modern.

    Pekan ini juga pengingat, bahwa Dayak dan Kalimantan adalah salah satu sumber awal peradaban manusia—bukan pinggiran, tetapi pusat dari hubungan manusia dengan alam, spiritualitas, dan komunitas. Saya mau menuliskan ini sebagai refleksi bahwa kita tidak sekedar  menghidupkan masa lalu; tetapi kita mengingat sekaligus berpijak sebagai semangat untuk masa depan bijak – kalau kita kembali belajar dari kebijaksanaan leluhur.

    Ajakan untuk Hadir

    Segenap panitia PGD ke 39 (Kalbar) mengundang Anda bukan hanya untuk hadir, tetapi lebih dalam dari itu yakni ‘datang dan mengalami’. Datanglah tidak hanya dengan kamera, tetapi dengan hati. Rasakan suara, aroma khas dupa, tarian yang semua itu mengalun mengikuti aliran energi alam. Ajak keluarga, teman, atau bahkan diri Anda yang penat untuk datang dan bernapas kembali di ruang yang jujur itu.

    Besok, di Rumah Radank Pontianak, PGD ke-39 akan dimulai dengan misa Pembukaan oleh Uskup Agustinus dan itu menandai bahwa acara tesebut bukan hanya acara budaya, itulah bentuk ‘leburan’ – eksistensial menjadi manusia yang lebih utuh, lebih peka, dan lebih damai.

    Pekan Gawai Dayak mengajarkan kita hidup dengan lebih selaras. Tidak dengan kekakuan dogma atau superioritas identitas, tetapi dengan kebijaksanaan yang tenang dalam ‘hening’. Kita belajar untuk bertuhan dan berbudaya dengan rileks, dengan nurani yang hidup, dan akal sehat yang jernih.

    Karena pada akhirnya, hidup ini adalah petualangan. Pekan Gawai Dayak merupakan salah satu perhentiannya—tempat di mana kita mengingat siapa kita sebenarnya, dalam keheningan dan dentang gong yang bersahut-sahutan. Mari hadir. Mari hayati. Mari jaga warisan ini—bukan sebagai museum, tapi sebagai nadi yang terus berdetak. Semoga!!!

    “Betungkaet Ke Adaet, Bepegaet Ke Baso, Besandieh Ke Petaro’ Kuuuuurrr Semungaaet….”

     

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles