Duta, Pontianak | “Adil ka Talino, Bacuramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Arus, arus, arus….”
Kealamian representasi dari kesempurnaan! Maksudnya demikian, ada kesempurnaan dalam kondisi kealamian. Alam yang menjadi pijakan seluruh makhluk hidup ini ‘dirampai’ dengan kealamian yang sempurna. Orang Dayak dekat dengan kealamian alam. Mereka bersahabat dengan alam bahkan dari alam mereka mengatur hidup, bertutur dan ber-adat.
Mereka menghargai segala dimensi warna ruang, waktu, pengalaman, dan kehidupan. Mereka (Alam) hadir sebagai sosok guru, penyeimbang, dan inti dari refleksi kehidupan. Berjalan untuk selaras dengan semangat itu, akhirnya warisan tersebut menyusuri ruang dan sela-sela kehidupan, pola pikir, dan kehalusan yang mereka ‘ramu’ saat berjumpa dengan kerabat makhluk ciptaan maupun saudara-saudari mereka.
Di atas semua itu, alam membiarkan semuanya tumbuh apa adanya. Burung-burung tidak mengenal sekolah, tidak punya ijazah, tidak memiliki android, tidak memerlukan internet, tetapi kalau bangun pagi selalu terdengar siulan dan nyanyian khas dari mereka. Pohon-pohon tumbuh tanpa melalui pendidikan formal sebagaimana manusia memahami pendidikan itu. Justru mereka (pohon) telah ribuan tahun melalui pendidikan kosmik dimana keadaan ‘kosmik’ tersebut sebagai gudang pengetahuan murni.
Jika diandaikan, alam semesta ini sudah menyediakan pengetahuan yang tak terbatas – dimana pengetahuan dan akal budi murni pelan-pelan terungkap dalam kondisi kesadaran ‘kealamian’ tersebut.
Dan yang paling penting, mereka semua terpelihara dalam kesempurnaan siklus alamiah alam itu sendiri. Tumbuhan baik dalam air maupun di bawah matahari, menari dan berkembang dalam keheningan, bersama siklus waktunya.
Petuah sakti nan filosofis itu terkandung di janin kekayaan alam bersamaan dengan tuturan petuah orang tua. Manusia yang ‘dilabel’ nama Dayak itu dikenal dengan kedekatan mereka bersama ‘kealamian’ dan pengetahuan kosmik. Ribuan tahun pengetahuan kosmik itu telah mengakar menjadi kearifan dan kebijaksanaan lokal yang masih terwariskan bersama kesadaraan di abad ini.
Tak lama lagi, Kalimantan Barat – akan merayakan bersama (Pekan Gawai Dayak) 2025. Peristiwa ini menandakan ‘kesadaran’ akan kekayaan pengetahuan alam semesta, juga merupakan salah satu jalan representasi sekunder dengan pertunjukan perayaan kebudayaan setiap tahunnya (Rumah Radangk) Pontianak.
Menyaksikan khas simbol, kode dan makna, meskipun disadari definisi tidak pernah dapat menampilkan dengan sempurna pengertian sesuatu yang dikandungnya, disamping setiap orang selalu berbeda gaya dalam mendefinisikan suatu fenomena. Namun eksistensi dari keberadaan budaya itu –jelas membuka dan mempersembahkan kekayaan ‘alam semesta’ dan bersama kesadaran akan ‘kealamian’ tersebut telah tersedia perpustakaan kosmik yang tak akan pernah habis.
Mari rayakan Pekan Gawai Dayak 2025 ini dengan semangat untuk ‘kembali’ lagi ke rumah kita yang sebenarnya. Bersamaan dengan refleksi tentang kealamian dan kesadaran pengetahuan kosmik tersebut. Disana bersama-sama kita merasakan ‘tumpahan’ kekayaan intelektual, keberanian, kesetiaan, stabilitas, keseimbangan hidup dan kehalusan semesta dalam menyapa setiap insan.
Mari kita panggil semangat itu kembali dalam pelukan genetiknya. Sebagaimana yang Uskup Agustinus katakan dalam Audiensi bersama panitia PGD 2025 beberapa waktu lalu, untuk merayakannya dengan ‘Syukur’.
“Betungkaet Ke Adaet, Bepegaet Ke Baso, Besandieh Ke Petaro’ Kuuuuurrr Semungaaet….”
By. Samuel_Koordinator Humas, Publikasi dan Dokumentasi.




