Wednesday, December 24, 2025
More

    Membaca Konsumen di Era (AI) dan Modal Budaya

    Duta, Pontianak | Dalam perkembangan teknologi yang semakain cepat ini, menurut saya menjadikan kecerdasan buatan (AI) sebagai salah alat bantu yang sangat baik bagi kita yang ingin membuat bisnis dengan mengunakan AI sebagai riset pasar.

    Jika dulu kita melakukan riset pasar dengan mengandalkan survei manual, observasi lapangan, atau analisis statistik sederhana, kini kita mampu menganalisis jutaan data perilaku konsumen dalam hitungan detik dengan mengunakan AI.

    Namun dengan kehadiran AI saat ini tidak hanya menambah kecepatan dan efisiensi tetapi, ia juga membawa perubahan cara kita memahami konsumen, pasar, dan makna di balik pilihan-pilihan yang diambil individu.

    Pandangan ini dapat dijembatani melalui teori pemasaran Kotler dan Keller, konsep modal budaya Bourdieu, serta fondasi pemikiran Philip Kotler tentang nilai, kepuasan, dan penciptaan hubungan dengan pelanggan.

    Dalam teori Kotler dan Keller Marketing Management, menegaskan bahwa inti pemasaran adalah memahami kebutuhan, keinginan, dan permintaan konsumen secara mendalam, riset pasar bertugas memberikan wawasan yang memungkinkan kita atau Perusahaan merumuskan strategi produk, harga, distribusi, hingga promosi yang tepat sasaran.

    Pada titik ini, AI muncul sebagai alat yang dapat memperluas jangkauan pemahaman tersebut. Melalui analisis big data, AI dapat membaca pola perilaku konsumen, mulai dari barang yang mereka cari di internet, waktu mereka berbelanja di e-commerce, jenis konten yang mereka sukai di sosial media, hingga emosi yang terekspresikan dalam ulasan setelah belanja.

    Nah dari sini AI menawarkan efisiensi luar biasa yang relevan dengan prinsip pemasaran yang modern dan memberikan nilai yang lebih melalui pemanfaatan informasi yang lebih tajam untuk kita mau pun Perusahaan dalam menganalisis dan mrengetahui tren pasar saat ini.

    Namun, Kotler dan Keller juga mengingatkan bahwa pemasaran bukan hanya soal data, tetapi tentang customer insight.

    Data yang besar tanpa interpretasi yang benar tetap tidak akan menghasilkan pemahaman yang bermakna. Di sinilah relevan menghubungkan pemikiran pemasaran modern dengan perspektif Pierre Bourdieu dalam The Forms of Capital (1986).

    Bourdieu menekankan bahwa perilaku manusia tidak bisa dipisahkan dari modal budaya, habitus, dan struktur sosial yang memengaruhi cara seseorang memilih, menilai, atau mengonsumsi sesuatu. Konsumsi, menurutnya, adalah tindakan sosial yang sarat simbol, bukan sekadar keputusan rasional.

    Jika kita memadukan gagasan Bourdieu dengan praktik AI, muncul kesadaran bahwa mesin hanya mampu membaca apa yang terekam dalam data yang kita klik, transaksi pembelian barang yang kita lakukan, dan komentar yang kita berikan. Tetapi tidak otomatis memahami makna sosial di baliknya.

    Misalnya, keputusan seseorang membeli kopi bermerek tertentu tidak hanya karena rasa atau harga, tetapi karena citra gaya hidup, kelas sosial, dan identitas budaya yang ia ingin tampilkan. AI dapat mengenali tren pembelian, tetapi tidak selalu mampu menangkap lapisan simbolik tersebut tanpa dukungan analisis manusia.

    Di sisi lain, Philip Kotler menekankan bahwa pemasaran berkembang dari pendekatan berorientasi produk (Marketing 1.0), menuju konsumen (2.0), nilai budaya dan kemanusiaan (3.0), dunia digital (4.0), hingga integrasi teknologi dan kemanusiaan (5.0).

    Dalam Marketing 5.0,  disini Kotler menyatakan bahwa teknologi termasuk AI harus digunakan untuk memperkuat pemahaman manusia tentang pasar dan konsumen, dan bukan menggantikan manusia.

    AI hanya menjadi sarana untuk memperdalam riset pasar, tetapi tetap memerlukan penilaian manusia untuk membaca konteks sosial, etika, dan dimensi kemanusiaan.

    Dengan memadukan ketiga sumber tersebut, kita dapat melihat AI bukan sebagai alat yang sempurna, melainkan sebagai komponen baru yang memperluas lensa analisis pasar.

    Dalam praktiknya  AI mampu mengelompokkan konsumen berdasarkan pola perilaku secara otomatis, tetapi ia tidak bisa memahami perbedaan simbolik antara misalnya preferensi musik indie sebagai identitas generasi, atau konsumsi produk ramah lingkungan sebagai bentuk kapital moral.

    Elemen-elemen seperti itu memerlukan pemahaman sosial yang hanya dapat diberikan melalui teori seperti Bourdieu maupun pendekatan human centric dalam pemasaran yang dicetuskan oleh Kotler.

    Meski begitu, penggunaan AI tetap memberikan manfaat signifikan. Ia mempercepat kita dalam pengumpulan data, memperkecil risiko human error, dan memungkinkan prediksi yang jauh lebih akurat.

    Dalam persaingan pasar yang bergerak sangat cepat, kemampuan ini memberikan nilai strategis. Namun manfaat ini harus diseimbangkan dengan kesadaran risiko yang muncul, seperti bias algoritmik, reduksi makna budaya, dan ketergantungan berlebihan pada angka. Riset pasar berbasis AI harus dilihat sebagai kolaborasi antara mesin dan manusia. Mesin mengolah pola, sebagai manusia memahami makna.

    Pada akhirnya, penggunaan AI sebagai alat riset pasar merupakan suatu langkah yang baik. Namun seperti yang diingatkan Kotler dan Keller, pemasar sejati adalah mereka yang mampu memahami manusia secara holistik. AI dapat menjadi alat yang luar biasa kuat, tetapi manusia tetap memiliki kemampuan membaca simbol, budaya, dan konteks yang tidak tertangkap data mentah.

    Dengan memadukan kecanggihan teknologi dan kedalaman pemikiran sosial, riset pasar akan menghasilkan gambaran konsumen yang lebih akurat, lebih manusiawi, dan lebih berakar pada realitas budaya.

    Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan ai sebagai riset pasar itu sangat baik dan efisien untuk kita dan Perusahaan dalam memahami konsumen tetapi juga harus di seimbangkan dengan resiko yang muncul seperti bias algoritmik, reduksi makna budaya, dan ketergantungan berlebihan pada angka.

    Sumber Buku: 

    Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing management (15th ed.). Pearson Education.

    Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.).

    Kotler, P. (2003). Marketing insights from A to Z: 80 concepts every manager needs to know. John Wiley & Sons.

    Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2017). Marketing 4.0: Moving from traditional to digital. John Wiley & Sons.

    Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2021). Marketing 5.0: Technology for humanity. John Wiley & Sons.

    *Penulis: Deo Febriant, AKUB-San Agustin – Manajemen Pemasaran.

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles