Wednesday, December 24, 2025
More

    Dampak Balpres Ilegal

    Duta, Pontianak | Isu pemusnahan 500 balpres pakaian bekas impor oleh Kementerian Perdagangan yang diberitakan Pontianak Post pada 13 November 2025 kembali memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menangani masuknya barang ilegal ke pasar Indonesia.

    Peristiwa ini bukan hanya sekadar laporan penertiban barang ilegal, tetapi mencerminkan persoalan yang lebih besar, terutama jika dianalisis dari sudut pandang perilaku konsumen, strategi pemasaran, serta bagaimana kebijakan pemerintah menjaga kesehatan pasar.

    Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa kasus ini menghubungkan aspek mikro seperti keputusan pembelian konsumen dengan aspek makro seperti regulasi dan struktur pasar.

    Fenomena pakaian bekas impor sebenarnya bukan hal baru. Produk-produk ini sangat diminati karena harganya jauh lebih murah dibandingkan pakaian lokal baru. Konsumen dari kelompok ekonomi menengah ke bawah biasanya menjadi segmen terbesar pasar balpres.

    Dalam teori perilaku konsumen menurut Schiffman & Kanuk, keputusan pembelian dipengaruhi oleh persepsi, motif, dan lingkungan sosial. Banyak konsumen memilih balpres bukan semata-mata karena kebutuhan fungsional, tetapi karena persepsi bahwa barang impor terlihat lebih trendi, modis, dan memiliki kualitas yang dianggap lebih baik.

    Faktor sosial, seperti pengaruh teman atau tren media sosial, juga memperkuat preferensi terhadap pakaian bekas impor. Sayangnya, sebagian besar konsumen tidak menyadari bahwa barang tersebut masuk secara ilegal dan dapat berdampak negatif bagi industri dalam negeri.

    Masalah utama dari maraknya balpres ilegal adalah rusaknya keseimbangan pasar. Industri tekstil lokal, yang sebagian besar terdiri dari UMKM, kehilangan pangsa pasar karena tidak mampu bersaing dari sisi harga. Barang ilegal tidak melalui proses produksi legal, tidak membayar pajak, dan tidak mengikuti standar distribusi yang berlaku sehingga harganya jauh lebih rendah.

    Dari perspektif pemasaran strategis, kondisi ini menciptakan market imbalance, di mana pelaku usaha legal yang mematuhi aturan justru berada pada posisi yang merugikan. Jika dibiarkan, struktur pasar dapat mengalami distorsi permanen, bahkan membuat produsen tekstil lokal gulung tikar.

    Menurut Peter & Olson dalam Consumer Behavior & Marketing Strategy, perilaku konsumen selalu berkaitan dengan persepsi nilai (perceived value) yang mereka dapatkan dari sebuah produk. Ketika pakaian bekas impor masuk dengan harga sangat murah, nilai yang dirasakan konsumen menjadi sangat tinggi.

    Mereka merasa mendapatkan keuntungan besar: harga murah, tampilan menarik, dan variasi produk yang banyak. Di sinilah tantangan besar bagi pelaku usaha lokal. Mereka tidak cukup hanya menurunkan harga, tetapi perlu membangun persepsi nilai yang lebih kuat melalui kualitas, desain, layanan, serta brand positioning.

    Konsep segmentasi, targeting, dan positioning (STP) harus digunakan secara optimal agar produk lokal dapat ditempatkan sebagai pilihan yang relevan dan berkualitas, bukan sekadar alternatif mahal yang tidak menarik.Tindakan pemusnahan balpres ilegal oleh pemerintah dapat dipahami sebagai bentuk intervensi makro yang bertujuan menertibkan pasar.

    Dalam buku Ferrell & Hartline – Marketing Strategy, regulasi pemerintah disebut sebagai salah satu faktor eksternal yang dapat memengaruhi strategi pemasaran perusahaan. Ketika produk ilegal membanjiri pasar, perusahaan legal akan mengalami kesulitan bersaing.

    Oleh karena itu, penertiban ini merupakan langkah strategis untuk memulihkan keadilan pasar dan memastikan bahwa kompetisi berlangsung secara wajar. Dengan menghilangkan produk ilegal, pemerintah membuka kembali ruang bagi pelaku usaha legal untuk berkembang.

    Selain dampak ekonomi, keberadaan pakaian bekas impor ilegal juga menimbulkan risiko kesehatan yang sering tidak disadari konsumen. Proses penyortiran, penyimpanan, dan pengiriman balpres tidak selalu mengikuti standar higienis. Pakaian dapat terkontaminasi jamur, bakteri, atau zat kimia tertentu selama perjalanan.

    Menurut Schiffman & Kanuk, persepsi risiko merupakan salah satu faktor penting dalam keputusan pembelian. Jika literasi konsumen meningkat dan masyarakat memahami potensi bahaya kesehatan yang mungkin ditimbulkan, preferensi terhadap balpres ilegal dapat menurun secara alami, bukan hanya karena adanya ancaman sanksi hukum.

    Dari perspektif pemasaran, langkah pemerintah ini juga dapat dianggap sebagai proses market repositioning. Dengan menutup akses produk ilegal, konsumen diarahkan kembali pada produk lokal dan legal. Namun reposisi pasar ini tidak akan efektif tanpa dukungan dari pelaku usaha. Industri tekstil lokal harus meningkatkan kualitas, mengikuti tren desain, memperbaiki pengalaman belanja, serta memperkuat strategi komunikasi pemasaran.

    Prinsip value creation menegaskan bahwa produk harus memberikan nilai nyata bagi konsumen agar mampu bersaing. Jika nilai yang ditawarkan pelaku usaha lokal kuat, konsumen akan mulai melihat produk lokal sebagai pilihan yang tidak kalah menarik.

    Maraknya balpres ilegal juga berdampak pada ekosistem ekonomi yang lebih luas. Hilangnya pendapatan perusahaan lokal akan mengurangi kontribusi terhadap pendapatan daerah, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan menghambat pertumbuhan UMKM di sektor tekstil.

    Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat merugikan upaya pemerintah dalam membangun industri nasional yang mandiri dan kompetitif.

    Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa kasus balpres ilegal menunjukkan bahwa dunia pemasaran tidak hanya berbicara tentang bagaimana menjual produk, tetapi juga bagaimana menciptakan pasar yang adil, sehat, dan berkelanjutan.

    Tanpa regulasi yang tegas, produk ilegal akan terus merusak struktur pasar. Tanpa literasi konsumen, masyarakat akan memilih produk murah tanpa mempertimbangkan dampaknya. Dan tanpa strategi pemasaran yang kuat, pelaku usaha lokal akan sulit bertahan.

    Oleh karena itu, persoalan balpres ilegal harus ditangani melalui pendekatan komprehensif: penegakan hukum yang tegas oleh pemerintah, edukasi kepada konsumen mengenai risiko dan dampak ekonomi, serta inovasi dan peningkatan strategi pemasaran dari pelaku usaha legal. Dengan sinergi ini, pasar Indonesia dapat menjadi lebih teratur, kompetitif, dan mendukung pertumbuhan industri nasional.

    Sumber Buku:

    Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2010). Consumer behavior (10th ed.). Pearson.

    Peter, J. P., & Olson, J. C. (2010). Consumer behavior and marketing strategy (9th ed.). McGraw-Hill.

    Ferrell, O. C., & Hartline, M. D. (2014). Marketing strategy (6th ed.). Cengage Learning.

    *Penulis: Jeremy Julius – AKUB _San Agustin – Manajemen Pemasaran. 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles