Wednesday, December 24, 2025
More

    Kenaikan NJOP, BPHTB, dan Tantangan Akses Hunian

    Duta, Pontianak | Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan praktik rutin yang dilakukan pemerintah daerah untuk menyesuaikan nilai administrasi tanah dan bangunan dengan perkembangan harga pasar.

    Secara fiskal, kebijakan ini sah dan diperlukan karena NJOP menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun, dibalik kepentingan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kenaikan NJOP menyimpan dampak sosial yang tidak kecil, terutama terhadap kewajiban BPHTB dan akses masyarakat terhadap perumahan yang layak.

    BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, termasuk melalui jual beli, hibah, dan warisan.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besaran BPHTB dihitung dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), kemudian dikalikan tarif. Dalam praktiknya, NJOP sering dijadikan acuan NPOP apabila nilai transaksi dianggap tidak mewakili harga pasar. Permintaannya, setiap kenaikan NJOP akan langsung menaikkan kewajiban BPHTB.

    Masalah muncul ketika penyesuaian NJOP dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat. Mardiasmo (2018) menegaskan bahwa penentuan nilai objek pajak seharusnya didasarkan pada prinsip keadilan dan kemampuan membayar.

    Ketika NJOP naik signifikan, BPHTB yang harus dibayar di awal transaksi ikut melonjak. Padahal, BPHTB merupakan biaya yang wajib dilunasi sebelum akta jual beli diterbitkan, sehingga menjadi beban awal yang sangat menentukan keputusan membeli rumah.

    Penelitian Rahmawati (2021) dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik menunjukkan bahwa kenaikan NJOP sebesar 10–20 persen berbanding lurus dengan peningkatan BPHTB dan berdampak pada penurunan minat beli rumah, terutama di wilayah perkotaan.

    Kenaikan biaya transaksi ini paling dirasakan oleh pembeli rumah pertama, keluarga muda, dan masyarakat menengah ke bawah. Bagi kelompok ini, tambahan biaya beberapa juta rupiah saja sudah cukup untuk menunda atau bahkan menggagalkan rencana memiliki rumah.

    Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki kepentingan fiskal yang tidak dapat diabaikan. Penyesuaian NJOP bertujuan menjaga keselarasan nilai pajak dengan nilai ekonomi properti yang terus meningkat, terutama di kawasan yang berkembang akibat pesatnya pembangunan infrastruktur dan urbanisasi.

    Jika NJOP terlalu rendah, daerah kehilangan potensi penerimaan, dan ketimpangan antarwilayah semakin lebar. Dari perspektif tata kelola keuangan daerah, kenaikan NJOP merupakan instrumen legal dan rasional untuk memperkuat PAD.

    Namun, kebijakan fiskal tidak berdiri di ruang hampa. Pajak properti, termasuk BPHTB, bersinggungan langsung dengan hak dasar masyarakat atas tempat tinggal. Ketika biaya transaksi melonjak, akses terhadap perumahan menjadi semakin sempit.

    Nugraha (2021) mencatat bahwa sensitivitas BPHTB jauh lebih tinggi pada kelompok penempatan rendah dibandingkan investor atau masyarakat penempatan tinggi. Tanpa kebijakan mitigasi, kenaikan NJOP berpotensi memperlebar kepemilikan properti.

    Oleh karena itu, penyesuaian NJOP perlu disertai penyeimbangan kebijakan. Salah satu opsi yang paling relevan adalah penyesuaian NPOPTKP agar kenaikan NJOP tidak sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat.

    elain itu, pemerintah daerah dapat memberikan insentif BPHTB bagi pembeli rumah pertama, baik berupa pengurangan tarif maupun pembiayaan sebagian. Langkah ini sejalan dengan prinsip keadilan vertikal dalam perpajakan daerah, sebagaimana dikemukakan Mardiasmo (2016).

    Alternatif lain adalah dengan memberlakukan kenaikan NJOP secara bertahap dan terukur. Peningkatan yang moderat memberi ruang adaptasi bagi masyarakat sekaligus menjaga stabilitas pasar properti. Penyesuaian bertahap juga menghindarkan guncangan fiskal yang dapat menurunkan transaksi properti, yang pada akhirnya justru merugikan penerimaan daerah.

    Pada akhirnya, tantangan utama kebijakan NJOP bukan sekedar menaikkan angka, melainkan menyeimbangkan kepentingan fiskal dan keadilan sosial. Pemerintah daerah dituntut tidak hanya cermat membaca pasar, tetapi juga peka terhadap kondisi ekonomi warganya.

    NJOP yang akurat, BPHTB yang proporsional, serta kebijakan perlindungan bagi kelompok rentan merupakan kunci agar sistem pajak daerah tidak menjadi penghambat akses perumahan, melainkan bagian dari solusi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

    Referensi:

    • Mardiasmo. (2016). Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
    • Mardiasmo. (2018). Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
    • Rahmawati, D. (2021). Dampak Penyesuaian NJOP terhadap Daya Beli Perumahan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik .
    • Nugraha, A. (2021). BPHTB dan Aksesibilitas Hunian di Perkotaan. Jurnal Kebijakan Fiskal Daerah.
    • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    *Oleh: Exsraelgi Panamuan (Mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan, Semester 3C)
    *Editor: Lusia Sedati S.E., M.Ak. (Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan)

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles