Duta, Pontianak | Bagi banyak orang, mendaki gunung bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan cara untuk bernapas kembali setelah lelah oleh hiruk pikuk dunia.
Ketika kata mendaki terlintas di benak seorang pendaki, yang terbayang bukan hanya tanjakan dan keringat, tetapi juga kenikmatan melepaskan diri dari kebisingan kota—suara klakson, rutinitas yang menekan, dan tuntutan hidup yang seolah tak pernah usai.
Dalam sunyi alam, tanpa distraksi buatan manusia, ketenangan terasa lebih jujur dan menyembuhkan.
Mendaki gunung bersama teman, keluarga, atau seseorang yang spesial sering kali terasa seperti menemukan “surga kecil” di bumi. Stres perlahan luruh, digantikan oleh rasa syukur dan kehadiran yang utuh pada saat ini. Namun, gunung tidak hanya memberi keindahan visual dan ketenangan batin.

Pepohonan di pegunungan memainkan peran ekologis yang sangat penting: menyaring air hujan, menahan longsor, dan menjaga keseimbangan alam demi keberlangsungan hidup manusia. Ketika hutan hilang, bencana menjadi tak terelakkan.
Banjir dan longsor di berbagai wilayah Indonesia, seperti yang terjadi di Sumatra, menjadi pengingat pahit bahwa kehidupan bukan perlombaan mengejar kekayaan semata, melainkan tentang hidup berdampingan dengan alam dan menghargai jasa-jasa yang sering kali tak tampak.
Dalam buku 3726 mdpl, terdapat sebuah kutipan yang terasa dekat dengan pengalaman para pendaki: “Selalu ada cinta untuk manusia, tenang saja, semuanya pasti akan ada bagiannya.”
Kalimat ini menggambarkan bagaimana mendaki menjadi ruang untuk berdamai dengan hidup—meninggalkan sejenak beban dunia dan belajar menikmati proses dengan tenang. Pendakian mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dikejar; sebagian cukup dijalani.
Pendakian juga tidak pernah lepas dari koordinasi dan kerja sama. Dalam sebuah tim pendakian, setiap peran memiliki arti: navigator, leader, chef, porter, follower, hingga sweeper. Tanpa koordinasi yang baik dan saling percaya, pendakian akan terasa berat dan berisiko.
Kerja sama inilah yang menjadikan perjalanan bukan hanya aman, tetapi juga menyenangkan. Seperti kutipan lain dalam 3726 mdpl: “Bagian paling seru dari diskusi bukanlah topiknya, melainkan lawan bicaranya.” Dalam konteks pendakian—dan juga organisasi—yang terpenting bukan siapa yang memimpin atau memberi perintah, melainkan kebersamaan dalam satu tim yang saling mendukung.
Tim pendakian menjadi ruang perjumpaan antara manusia, struktur, tujuan, dan keindahan perjalanan itu sendiri. Ada pula mereka yang memilih solo hiking, dengan alasan yang beragam: mencari ketenangan, menyembuhkan luka batin, atau merasa nyaman dalam kesendirian.
Namun, bahkan dalam kesendirian pun, pendaki tetap bergantung pada koordinasi—dengan informasi, pengalaman orang lain, dan persiapan matang.
Sebelum mendaki sendirian, seseorang akan mencari tahu jalur, kondisi gunung, dan risiko yang mungkin dihadapi, baik melalui teman maupun sumber informasi daring. Keindahan, seperti yang tersirat dalam 3726 mdpl, selalu membutuhkan waktu, kesiapan, dan koordinasi yang tepat.
Pada akhirnya, pendakian mengajarkan makna kedewasaan yang lebih luas. Dewasa bukan hanya soal relasi dengan orang terkasih, tetapi tentang menemukan cara hidup yang nyaman, seimbang, dan jujur pada diri sendiri.
Koordinasi bukanlah kepemimpinan yang kaku dan hierarkis, melainkan kebersamaan dalam tim, di mana setiap orang bekerja sesuai kemampuan dan perannya masing-masing.
Bumi adalah ruang perjumpaan manusia dengan beragam kisah—tentang kagum, sayang, kehilangan, dan penerimaan. Tidak hanya di ketinggian 3726 mdpl, tetapi juga di 0 mdpl, kehidupan memiliki perannya sendiri.
Dunia terus berputar, cerita datang dan pergi, ada yang singgah lalu menghilang. Maka, seperti pesan yang tersirat dalam 0 mdpl, hidup layak dinikmati dengan tenang, tanpa keserakahan dan tanpa membiarkan luka menguasai hati.
Pendakian bersama orang yang tepat, dengan alasan yang mungkin berbeda-beda, menghadirkan keindahan yang tak selalu terlihat dari bawah: kebersamaan di jalur pendakian, tawa di tengah lelah, dan kisah-kisah tak terduga yang tumbuh secara alami.
Begitulah kehidupan—sebuah perjalanan panjang yang mengajarkan bahwa keindahan sering kali ditemukan bukan di tujuan akhir, melainkan dalam proses berjalan bersama.
Daftar Pustaka
Sari, Nurwina. 3726 mdpl. Jakarta: Romancious, 30 Agustus 2024.
———. 0 mdpl. Jakarta: Romancious–Bumifiksi, Agustus 2025.
*Lira Virna_Mahasiswa AKUB Pontianak GAK_Pengantar Manajemen. (Sam).




