Thursday, December 25, 2025
More

    Loyalitas Pelanggan Bukan Soal Harga

    Duta, Pontianak | Dalam pandangan pemasaran modern yang semakin kompetitif, banyak perusahaan terjebak dalam asumsi sederhana turunkan harga, maka pelanggan akan kembali.”

    Premis ini sangat puitis, tetapi sesungguhnya menyederhanakan perilaku pelanggan  secara berlebihan dan agak memaksa.

    Harga memang mempengaruhi keputusan pembelian awal pelanggan, namun loyalitaslah yang menjadi awal keputusan untuk tetap bersama sebuah merek dan produk yang mereka beli dalam jangka panjang, lebih sering ditentukan oleh kualitas pengalaman yang mereka rasakan, bukan besarnya potongan harga maupun embel-embel kata diskon berapa persen.

    Starbucks merupakan contoh paling jelas bagaimana nilai emosional, konsistensi pengalaman, dan hubungan merek–pelanggan mampu menciptakan loyalitas yang bertahan, bahkan ketika harga relatif lebih tinggi dibandingkan pesaing.

    Asumsi pelanggan bahwa nongkrong di starbuscks dapat dikategorikan orang yang keren karena bisa nongkrong di tempat yang mahal dengan merek yang sudah banyak dikenal dikalangan pelanggan pecinta minuman kopi.

    Namun, sebelum menerima klaim ini mentah-mentah, penting untuk menelaah asumsi dasarnya. Pernyataan “loyalitas bukan soal harga” dapat menimbulkan konfirmas bahwa kita cenderung mencari contoh yang mendukung dan menutup mata terhadap konteks pasar yang berbeda.

    Pada kategori komoditas seperti gas elpiji, beras, atau bensin, harga memang menjadi faktor dominan. Judul yang saya ambil ini Relevan untuk segmen produk diferensiasi dan layanan berbasis pengalaman, di mana konsumen mengevaluasi nilai bukan hanya dari biaya, tetapi dari manfaat psikologis dan simbolis.

    Secara teoritis, argumen ini memiliki fondasi kuat. Kotler & Keller (Marketing Management) menjelaskan bahwa pelanggan yang loyal terbentuk ketika perusahaan secara konsisten memenuhi bahkan melampaui ekspektasi pelanggan melalui kualitas layanan, hubungan emosional, dan nilai jangka panjang.

    Demikian pula Zeithaml, Bitner, & Gremler dalam marketing service menekankan bahwa pengalaman pelanggan dari keandalan layanan hingga empati karyawan berkontribusi lebih besar terhadap loyalitas daripada sekadar strategi harga.

    Lovelock & Wirtz menambah perspektif dengan konsep bahwa pelanggan bersedia membayar premium ketika nilai yang dirasakan lebih tinggi dan stabil, harga adalah elemen penting, tetapi bukan mekanisme utama pembentukan loyalitas .

    Konsumen modern hidup di era informasi yang berlimpah. Sangat mudah membandingkan harga, tetapi juga mudah mengukur  pengalaman. Strategi dengan harga rendah dapat menarik pelanggan baru, namun jarang mempertahankan mereka.

    Terjadinya banyak perusahaan melakukan kekeliruan strategi banyak pelaku usaha mengira perilaku pelanggan jangka pendek (membeli karena promo) sebagai loyalitas.

    Padahal, seperti dijelaskan dalam jurnal Aaker (2015), loyalitas merek lebih kuat ketika bersumber dari hubungan merek  dibandingkan dari manfaat fungsional seperti harga. Jurnal Oliver (1999) juga menegaskan bahwa loyalitas berkembang secara bertahap melalui kepuasan yang berulang, kepercayaan, dan keabadian emosional.

    Grewal & Levy (2020) menunjukkan bahwa diferensiasi berbasis pengalaman bahkan dapat menstabilkan loyalitas di tengah peningkatan harga.Jadi bisa disimpulkan bahwa strategi loyalitas berbasis harga mengandung kelemahan sistemik dan mudah ditiru pesaing, tidak menciptakan kemiskinan emosional, dan memposisikan pelanggan sebagai pemburu diskon, bukan pendukung merek.

    Starbucks dalam Studi Kasus Loyalitas yang Dibangun di Atas Pengalaman, Bukan Harga

    Starbucks sering kali menjadi sasaran kritik karena harga kopi yang relatif mahal. Tetapi perusahaan ini menunjukkan bagaimana pelanggan tetap memilih kembali karena nilai kombinasi suasana kafe, pelayanan personal, teknologi aplikasi, serta konsistensi produk.

    Pertama, Starbucks menekankan pengalaman emosional . Howard Schultz, pendiri Starbucks, mengatakan bahwa perusahaan tidak menjual kopi, tetapi “tempat ketiga antara rumah dan kantor.” Konsep ruang sosial ini membuat pelanggan merasakan keterhubungan, kenyamanan, dan identitas, yang semuanya merupakan faktor afektif dalam loyalitas.

    Kedua, Starbucks menggunakan program loyalitas berbasis personalisasi melalui aplikasi mobile. Pelanggan mengumpulkan poin, menerima rekomendasi minuman berdasarkan preferensi, dan menikmati reward khusus. Sistem ini memperkuat hubungan yang bersifat relasional sehingga pelanggan merasa punya hubungan yang dekat dengan Starbucks itu sendiri  , bukan transaksional.

    Ketiga, Starbucks mempertahankan konsistensi kualitas di seluruh outlet global. Konsistensi adalah faktor penting dalam teori kualitas layanan Zeithaml & Bitner: ketika pelanggan percaya pada kinerja produk dan layanan, biaya perpindahan (switching cost ) meningkat, sehingga loyalitas terbentuk secara alami. Studi kasus ini menunjukkan bahwa meskipun harga Starbucks lebih tinggi, pelanggan tidak meninggalkannya.

    Karena mereka tidak hanya membeli kopi. Mereka membeli pengalaman, identitas, dan hubungan,yaa bisa dibilang membeli konsep tempat tersebut.

    Pasti banyak orang yang skeptis diluar sana yang berkata: “Jika loyalitas benar bukan soal harga, mengapa begitu banyak konsumen beralih merek hanya karena promo?” Argumen ini yaa bisa dibilang valid dan penting untuk ditanggapi.

    Pasar yang sensitif harga biasanya didominasi produk yang kurang diferensiasi, seperti air mineral meskipun secara fungsional serupa, produsen sering mencoba membuat produk menjadi ter-diferensiasi melalui aspek lain seperti merek, kemasan, desain, atau tagline untuk membangun keunggulan kompetitif yang serupa sehingga pengalaman pelanggan tidak cukup untuk membenarkan harga premium.

    Oleh karena itu, argumen dalam tulisan ini berlaku terutama pada industri berbasis pengalaman , berbasis layanan dan berbasis branding.

    Loyalitas adalah Hasil Kepercayaan dan Pengalaman, Bukan Sekadar Harga. Harga memainkan peran penting dalam tahap awal keputusan pembelian, tetapi tidak cukup untuk mempertahankan pelanggan dalam jangka panjang.

    Loyalitas yang tahan terhadap krisis ekonomi, perubahan tren, atau kampanye pesaing hanya dapat dibangun melalui pengalaman pelanggan yang konsisten, hubungan emosional antara pelanggan dan merek, diferensiasi nilai yang sulit ditiru,  personalisasi interaksi, kepercayaan yang dipupuk dari waktu ke waktu Starbucks membuktikan bahwa ketika pengalaman menjadi pusat strategi, harga bukan lagi penghalang.

    Pelanggan tetap bertahan bukan karena murah, tetapi karena mereka menemukan makna di balik transaksi. Jika perusahaan ingin memenangkan loyalitas yang sejati, maka fokus harus beralih dari “harga sebagai senjata” menuju “pengalaman sebagai strategi investasi”.

    Sumber Buku:

    Kotler, P., & Keller, KL (2016). Pemasaran(ke-15  teori pemasaran paling standar; membahas nilai pelanggan, loyalita

    Lovelock, C., & Wirtz, J. (2016). Pemasaran jasa: Orang, teknologi,(ke-8 ) sumber utama konsep kualitas layanan & pengalaman layanan

    Zeithaml, VA, Bitner, MJ, & Gremler, DD (2018). Pemasaran jasa: Mengintegrasikan pelanggan fokus pada kepuasan pelanggan, kualitas layanan, dan loyalitas

    Jurnal:

    Aaker, David A. (1991). Mengelola Ekuitas Merek: Memanfaatkan Nilai Nama Merek .
    The Free Press, New York.

    Oliver, Richard L. (1999). Dari Mana Loyalitas Konsumen? .
    Jurnal Pemasaran, Vol. 63, No. 4, halaman 33–44.

    Grewal, Dhruv, & Levy, Michael. (2020). Pemasaran .
    Pendidikan McGraw-Hill.

    *Penulis: Martina Angelina, AKUB- San Agustin- Manajemen Pemasaran.

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles