Duta, Pontianak | Ini tentang, Dilema Terdalam Pemasaran Modern di Gerbang Khatulistiwa. Pemasaran telah melewati masa-masa iklan one-size-fits-all. Hari ini, kita hidup di era hyper-personalization, di mana setiap penawaran, setiap e-mail, dan setiap pop-up dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi individu.
Kecerdasan Buatan (AI) adalah arsitek dari era ini. Namun, di balik efisiensi AI yang menakjubkan, tersembunyi sebuah dilema etis mendasar.
Isu ini terasa sangat nyata di kota-kota yang berkembang pesat seperti Pontianak, di mana adopsi teknologi digital—mulai dari aplikasi pengiriman makanan lokal hingga e-commerce global—berlangsung sangat masif.
Persoalan bukan lagi tentang kepatuhan hukum semata, melainkan tentang konflik nilai antara profit dan privasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap ekosistem digital.
Celah Kebocoran Data di Pontianak
Dulu, kita beranggapan bahwa data yang dikumpulkan hanya seputar riwayat klik atau pembelian. Namun, riset kontemporer membongkar lebih jauh. Data yang dikumpulkan oleh platform digital sangatlah intim.
Dalam jurnal Tedry dan Tulipa (2025), kita melihat bagaimana live streaming e-commerce memanfaatkan Social Presence dan tekanan Scarcity untuk memicu Impulse Buying yang didorong oleh emosi.
Algoritma tidak hanya tahu produk apa yang kita inginkan, tetapi kapan dan dalam kondisi emosional apa kita paling rentan untuk membelinya.

Isu ini beresonansi kuat dengan laporan-laporan lokal yang sering kita dengar. Bayangkan sebuah kasus di Pontianak, di mana data pribadi—yang seharusnya aman di tangan penyedia layanan lokal (marketplace atau fintech tertentu)—justru bocor dan disalahgunakan.
Data tersebut kemudian digunakan untuk penargetan pinjaman online (Pinjol) ilegal atau spam penawaran yang masif kepada masyarakat Pontianak.
Ini bukan sekadar ketidaknyamanan, ini adalah pengkhianatan data.
Eksploitasi data emosional ini menciptakan gap besar dalam kepercayaan.
Konsumen Pontianak yang merasa dimanipulasi akan beralih, karena personalisasi yang seharusnya melayani justru berubah menjadi pengawasan yang menyeramkan (creepy) yang mengancam keamanan finansial dan psikologis mereka dalam pengembangan model perilaku pembelian impulsif pada konsumen yang membeli secara online.
Saran bagi penelitian selanjutnya Hubungan variabel yang memiliki pengaruh kecil adalah dari social
presence of viewers terhadap impulse buying melalui arousal. Untuk itu, dapat diuji lebih lanjut dengan mempertimbangkan penggunaan metode dan alat pengukuran yang berbeda. Penelitian lebih lanjut dapat memperluas cakupan dan metode untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak langsung dari social presence of viewers terhadap impulse buying melalui arousal.
Pertimbangan penggunaan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan konteks impulse buying terutama pada bidang live streaming yang masih belum banyak dieksplorasi, seperti informasi, visual, hiburan, keuntungan ekonomi dan jenis kelaInilah bahaya latennya, terutama bagi ekosistem digital yang sedang bertumbuh di Pontianak: seiring kita memasuki ranah interaksi yang lebih imersif, data yang dikumpulkan menjadi semakin sensitif.
Tanpa ada framework Data Etis yang ketat, perusahaan berisiko melanggar hak pribadi konsumen secara eksponensial.
Kita perlu bertanya, apakah perusahaan benar-benar memerlukan data sedalam itu hanya untuk tujuan komersial semata, atau justru berpotensi menjadi celah bagi kejahatan siber?
Menuntut Kontrol Algoritma
Untuk memulihkan keseimbangan—dan menjaga kepercayaan masyarakat Pontianak terhadap inovasi digital—kita harus kembali pada prinsip kedaulatan data—hak konsumen untuk mengontrol informasi mereka sendiri. Solusi bukan hanya terletak pada kepatuhan terhadap undang-undang seperti UU PDP, tetapi pada perubahan budaya internal perusahaan.
Pertama, Transparansi Mutlak. Pemasar harus mampu menjelaskan, dengan bahasa yang mudah dipahami, mengapa algoritma menargetkan individu tertentu dan data apa yang digunakan. Konsumen berhak tahu alasan di balik rekomendasi yang memengaruhi pengeluaran dan pandangan mereka.
Kedua, Prinsip Opt-In yang Jelas. Model persetujuan data harus diubah. Daripada memaksa konsumen mencari tombol opt-out yang tersembunyi, perusahaan harus meminta persetujuan eksplisit (opt-in) untuk penggunaan data sensitif. Ini menunjukkan penghormatan dan membangun kepercayaan.
Ketiga, Audit Data Internal. Perusahaan wajib melakukan audit internal secara rutin pada kumpulan data dan algoritma mereka untuk menghilangkan bias yang mungkin menyebabkan diskriminasi dan memperkuat keamanan data dari risiko kebocoran lokal. Perlindungan data masyarakat adalah tanggung jawab moral tertinggi.
Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori Engagement Marketing yang menekankan pentingnya interaksi aktif antara konsumen dan merek sebagai kunci membangun hubungan jangka panjang (Yusran et al., 2025).
Selain itu, teori Media Richness juga digunakan untuk memahami bagaimana media sosial dan platform metaverse yang kaya fitur komunikasi dapat meningkatkan kualitas interaksi dan persepsi konsumen terhadap merek (Romadhan et al., 2025).
Konsep Customer Experience dalam pemasaran digital juga menjadi pijakan penting untuk menilai bagaimana pengalaman pengguna di metaverse dapat mempengaruhi engagement dan loyalitas. interacting with consumers digitally.
However, the integration of new technologies with existing infrastructure often requires large investments in human and financial resources, as well as changes in established business processes
Kesipulan nya,Personalitas yang didorong oleh AI adalah kekuatan yang revolusioner. Namun, jika kekuatan ini tidak dibatasi oleh prinsip moral, ia akan menghancurkan fondasi terpenting dalam bisnis: kepercayaan. Kasus-kasus penyalahgunaan data, bahkan di skala lokal seperti Pontianak, adalah alarm serius bahwa Data Etis harus menjadi prioritas utama.
Merek yang akan sukses dan bertahan adalah mereka yang berani memperlakukan data konsumen sebagai aset yang harus dilindungi, bukan sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi tanpa batas.
Dengan menjadikan etika sebagai keunggulan kompetitif, kita dapat memastikan bahwa AI bekerja untuk melayani, memberdayakan, dan menghormati konsumen, alih-alih memanipulasi mereka. Ini adalah satu-satunya cara bagi pemasaran, khususnya di kawasan yang sedang bertumbuh, untuk melangkah maju dengan integritas dan relevansi yang berkelanjutan.
Sumber Jurnal:
- Tedry, Antonius Kevin & Tulipa, DiyahPENGARUH SOCIAL PRESENCE DAN SCARCITY TERHADAP IMPULSE BUYING MELALUI EMOTION PADA LIVE STREAMING E-COMMERCE (Psikologi Konsumen)Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol. 19, No. 1, 2025
2. Rinaldi, A. Y., & Diah, P.PERAN STRATEGI PEMASARAN OMNICHANNEL DALAM MEMBANGUN CUSTOMER ENGAGEMENT DI ERA VIRTUAL REALITY (Strategi Metaverse)Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen, Vol. 14, No. 3, 2025
3. Firmansyah, WiyonoANALYSIS OF MARKETING MANAGEMENT STRATEGIES IN FACING DYNAMIC CONSUMER BEHAVIOR IN THE DIGITAL ERA (AI & Adaptasi Digital)Jurnal Ilmiah Manajemen Kesatuan (JIMKES), Vol. 12, No. 2, 2022
*Penulis: Yuliana Illifia U.D. AKUB- San Agustin – Manajemen Pemasaran.


