Duta, Pontianak | Dalam dinamika pemasaran masa kini, satu kenyataan tidak bisa diabaikan: kepercayaan telah menjadi fondasi utama yang menentukan apakah sebuah merek dapat bertahan dalam persaingan atau justru hilang dari perhatian publik.
Perannya bahkan melampaui fungsi sebagai pelengkap strategi, karena kepercayaan kini bekerja sebagai modal emosional yang memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan promosi, harga, atau fitur produk. Jika uang dipakai untuk transaksi ekonomi, maka kepercayaan berfungsi sebagai alat pertukaran psikologis yang menopang hubungan jangka panjang antara pelanggan dan perusahaan.
Dalam era yang penuh gejolak, kepercayaan ibarat jangkar yang menjaga pelanggan agar tetap setia pada satu merek meskipun dibanjiri berbagai alternatif.
Dalam konteks yang lebih luas, arti kepercayaan tidak lagi sebatas keyakinan bahwa produk mampu bekerja sesuai harapan, melainkan keyakinan terhadap niat baik perusahaan, konsistensi perilakunya, dan kemampuannya memenuhi tanggung jawab.
Kotler dan Keller (2016) menegaskan bahwa kepercayaan adalah kemauan seseorang bergantung pada pihak lain meskipun terdapat risiko. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan selalu muncul dari keputusan sadar yang melibatkan unsur rasional maupun emosional.
Saat pelanggan memutuskan untuk membeli produk yang belum pernah dicoba, membagikan data pribadi, atau menggunakan layanan yang tidak sepenuhnya mereka pahami, mereka sedang menempatkan diri pada situasi berisiko. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan beroperasi sebagai hasil dari pertimbangan pengalaman masa lalu, persepsi akan integritas perusahaan, serta kesiapan konsumen untuk menerima kemungkinan ketidakpastian.
Pendekatan yang dikemukakan Morgan dan Hunt (1994) melalui Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing semakin memperkuat pemahaman mengenai pentingnya kepercayaan. Mereka menegaskan bahwa dua unsur utama—komitmen dan kepercayaan—menjadi penentu keberhasilan hubungan pemasaran jangka panjang.
Dalam kerangka teori tersebut, hubungan antara perusahaan dan pelanggan dibangun atas dasar saling membutuhkan: perusahaan memerlukan loyalitas berkelanjutan, sedangkan pelanggan mengharapkan keamanan dan kepastian ketika bertransaksi. Jika salah satu unsur tersebut hilang, hubungan dapat berhenti kapan saja karena hilangnya rasa aman atau hilangnya perhatian dari pihak perusahaan.
Perubahan perilaku konsumen akibat berkembangnya teknologi digital membuat peran kepercayaan semakin terlihat. Di masa lalu, keputusan pelanggan sering kali bergantung pada iklan tradisional atau rekomendasi dari keluarga. Namun kini, konsumen memiliki akses cepat terhadap ulasan online, komentar di media sosial, perbandingan produk, dan testimoni video.
Mekanisme verifikasi mandiri ini membuat konsumen lebih selektif. Mereka menilai apakah sebuah merek benar-benar dapat dipercaya, apakah orang lain memiliki pengalaman positif, dan apakah perusahaan bersikap transparan. Dalam lingkungan digital yang terbuka, reputasi tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh perusahaan; konsumen memiliki ruang untuk mengevaluasi kebenaran klaim pemasaran melalui berbagai sumber.
Reichheld (2003) mengingatkan bahwa loyalitas pelanggan lahir dari pengalaman positif yang konsisten, bukan hanya dari janji promosi. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sering kali kehilangan pelanggan bukan karena kualitas produk yang buruk, tetapi karena ketidakmampuan memberikan pengalaman yang stabil. Layanan pelanggan yang lambat, respons yang tidak empatik, atau kegagalan menangani keluhan dapat merusak kepercayaan lebih cepat daripada pesaing.
Pelanggan biasanya masih bisa menoleransi kekurangan jika perusahaan menunjukkan usaha memperbaiki masalah dan bersikap jujur, namun mereka sulit menerima ketidakpedulian. Kepercayaan juga memainkan peran penting dalam praktik pemasaran yang etis. Mengikuti aturan saja tidak cukup; perusahaan harus mampu menerapkan nilai moral yang menghargai pelanggan sebagai mitra, bukan objek yang dapat dimanipulasi.
Konsumen semakin sensitif terhadap praktik yang dianggap menyesatkan, seperti penyembunyian informasi, testimoni palsu, atau klaim berlebihan. Ketika perusahaan memperlihatkan komitmen terhadap nilai-nilai etis, kepercayaan pelanggan bertumbuh. Sebaliknya, pelanggaran kecil sekalipun dapat menimbulkan keraguan besar dan merusak hubungan jangka panjang.
Kepercayaan adalah aset yang sangat rapuh. Ia dapat dibangun selama bertahun-tahun, tetapi bisa hancur dalam sekejap karena satu tindakan tidak etis atau keputusan yang merugikan pelanggan. Banyak perusahaan besar kehilangan reputasi hanya karena satu insiden, seperti kebocoran data, pelanggaran privasi, atau manipulasi informasi. Ketika pelanggan merasa dikhianati, mereka tidak hanya meninggalkan merek tersebut, tetapi juga memperingatkan orang lain.
Dampaknya menyebar dengan sangat cepat di era digital sehingga kerusakan kepercayaan bisa jauh lebih fatal daripada kerusakan produk. Di sisi lain, perusahaan yang mampu menjaga kepercayaan pelanggan akan merasakan manfaat yang berkelanjutan. Kepercayaan membuat pelanggan tidak mudah terpengaruh oleh penawaran pesaing, bahkan ketika harga lebih murah.
Kepercayaan juga membuat pelanggan bersedia mencoba produk baru dari perusahaan yang sama tanpa keraguan berarti. Lebih jauh lagi, kepercayaan mendorong pelanggan menjadi advokat sukarela yang dengan senang hati membagikan pengalaman positif mereka kepada orang lain. Pada titik ini, kepercayaan berfungsi layaknya mata uang bernilai tinggi: dapat ditukar dengan loyalitas, stabilitas pendapatan, dan pertumbuhan yang bersifat organik.
Dalam jangka panjang, kepercayaan berkontribusi pada peningkatan brand equity, yakni nilai tambah yang membuat merek dihargai lebih tinggi oleh pasar. Banyak perusahaan global memiliki kekuatan merek yang besar bukan hanya karena produknya unggul, melainkan karena konsumen yakin bahwa merek tersebut akan memberikan keamanan, konsistensi, dan kualitas. Kepercayaan inilah yang menjadikan merek bertahan meskipun muncul kompetitor dengan harga lebih rendah.
Ke depan, arah pemasaran akan semakin berpusat pada upaya membangun dan menjaga kepercayaan. Teknologi, iklan kreatif, atau influencer hanya menjadi alat pendukung. Tanpa kepercayaan, strategi tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Perusahaan harus bersikap jujur, transparan, dan konsisten.
Mereka harus siap mengakui kesalahan dan memperbaikinya secara cepat. Ketika perusahaan menempatkan kepercayaan sebagai inti strategi pemasaran, mereka tidak hanya mempertahankan pelanggan, tetapi juga menciptakan hubungan timbal balik yang bernilai bagi kedua belah pihak.
Daftar Pustaka:
Morgan, R.M. & Hunt, S.D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. Journal of Marketing.
Reichheld, F. (2003). The One Number You Need to Grow. Harvard Business Review.
Ha, H. & Perks, H. (2005). Effects of Consumer Perceptions of Brand Experience on Trust. Journal of Brand Management.
Kotler, P. & Keller, K.L. (2016). Marketing Management. Pearson.
Schiffman, L. & Wisenblit, J. (2015). Consumer Behavior. Prentice Hall.
Armstrong, G. & Kotler, P. (2015). Principles of Marketing. Pearson.
*Penulis: Emi – AKUB_San Agustin- Manajemen Pemasaran.


