Duta, Pontianak | Sebagai mahasiswa Keuangan dan Perbankan serta sebagai seorang yang berkerja di industri kreatif, pandangan saya terhadap dunia pemasaran awalnya hanya sebatas update story instagram dan feed saja, bagaimana strategi penjualan, meningkatkan profitabilitas, atau bagaimana client tertarik dengan portofolio saya.
Namun setelah mempelajari jurnal Cultural capital and strategic social marketing orientations oleh Kamin & Anker (2014), serta membaca beberapa teori dasar yang dijelaskan Bourdieu (1984), Ng & Lee (2015), dan Sassatelli (2007), saya mulai memahami bahwa pemasaran tidak pernah bisa berdiri hanya dari hasil jepretan kamera yang menurut saya layak untuk client sebarkan di grup keluarga. Ia sangat dipengaruhi oleh capital budaya yang melekat dan ada pada setiap konsumen.
Jurnal ini membuka mata saya bagaimana cara memasarkan produk yang sudah saya buat, tidak hanya soal menjangkau client atau meningkatkan radius media social saya supaya medapatkan client dari luar kota. tetapi juga harus menyentuh sesuatu yang lebih dalam.
Capital budaya mencakup kebiasaan, nilai, gaya hidup, dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dalam jurnal itu disebutkan bahwa setiap kampanye pemasaran akan menyentuh dan mempengaruhi sumber daya budaya yang dimiliki masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai seorang yang berkerja dibidang industri kreatif, saya melihat konsep capital budaya seperti bentuk ‘aset yang tak berwujud’ yang tidak bisa diukur dengan angka ataupun metering time dalam kamera, tetapi sangat menentukan bagaimana seseorang merespons sebuah pesan pemasaran.
Misalnya, dua orang dengan pendapatan sama bisa memiliki keputusan pemilihan produk yang berbeda hanya karena capital budaya mereka berbeda. Seseorang yang memiliki minat pada seni atau literatur mungkin lebih menerima pesan pemasaran yang bernuansa estetika. Sebaliknya, mereka yang terbiasa dengan pendekatan fungsional akan lebih memilih pesan yang to the point.
Dalam jurnal tersebut, penulis menjelaskan bahwa bentuk-bentuk capital budaya baik perilaku, objektifitas, hingga institusional dapat mempengaruhi strategi pemasaran yang seharusnya dipilih apakah menggunakan pendekatan individu, kelompok atau ranah kebijakan.
Di sinilah saya mulai memahami bahwa pemasaran bukan sekadar aktivitas bisnis, tetapi proses sosial yang cukup kompleks dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya sesorang tersebut.
Ng & Lee (2015) dalam Handbook of Culture and Consumer Behavior juga menegaskan bahwa perilaku konsumen merupakan hasil interaksi antara budaya, emosi, dan persepsi.
Artinya, dua konsumen dengan pendapatan sama dapat membuat keputusan berbeda hanya karena latar belakang budaya mereka yang tidak sama. Sementara Sassatelli (2007) dalam ‘Consumer Culture’ menjelaskan bahwa konsumsi tidak hanya tentang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga tentang simbol, identitas, dan bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain atau mendapatkan spotlight.
Saya merasa konsep ini sangat relevan bagi saya yang terbiasa measrkan produk hanya memlalui media sosial. Pemasaran produk portofolio saya, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan yang sama pada setiap konsumen atau client yang ingin menggunakan jasa saya.
Tetapi harus memahami nilai, kebiasaan, dan cara berpikir setiap client. Dengan begitu, pemasaran tidak hanya menjadi alat penjualan, tetapi juga jembatan yang membuat masyarakat merasa dihargai dan dimengerti sesuai dengan Tingkat Dimana mereka berada.
Dalam konteks dunia keuangan, pemahaman ini sangat relevan. Ketika lembaga keuangan memasarkan produk tabungan, kredit, atau investasi, mereka sering kali berfokus pada keuntungan ekonomis yang bisa diperoleh dari nasabah- nasabah.
Namun berdasarkan teori-teori di atas, saya memahami bahwa strategi tersebut akan lebih efektif jika juga mempertimbangkan modal budaya target nasabah. Misalnya, mereka dengan modal budaya tinggi mungkin lebih cocok dengan narasi yang sesuai.
Sementara kelompok dengan modal budaya rendah akan lebih mudah menerima pesan sederhana dan jelas daripada konsep yang cukup kompleks.
Saya belajar bahwa untuk menjadi seseorang profesional yang baik di masa depan, terutama di industri kreatif, saya tidak cukup hanya menguasai teori dan angka.
Saya juga harus belajar memahami manusia. Karena pada akhirnya, bisnis yang bertahan lama adalah bisnis yang mampu menyentuh hati, bukan hanya kantong. Bagi saya, itulah makna terdalam dari mempelajari modal budaya dalam pemasaran.
Referensi:
Kamin, T., & Anker, T. (2014). Cultural capital and strategic social marketing orientations. Journal of Social Marketing, 4(2), 94–110.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.
Routledge. Ng, S., & Lee, A. Y.-K. (Eds.). (2015). Handbook of Culture and Consumer Behavior. Oxford University Press.
Sassatelli, R. (2007). Consumer Culture: History, Theory and Politics. SAGE Publications.
*Penulis: Yendi Kurniawan – AKUB_San Agustin,- Manajemen Pemasaran.


