Duta, Pontianak | Di tengah maraknya layanan digital yang semakin memudahkan hidup kita, ada satu ancaman yang diam-diam tumbuh dan mengintai masyarakat, yaitu “penipuan digital”.
Banyak orang mungkin merasa cukup berhati-hati, namun kenyataanya, teknik penipuan semakin halus hingga rentan untuk mereka tidak jarang menipu, bahkan pengguna yang paling waspada sekalipun.
Kasus terbaru di kalimantan barat menjadi bukti bahwa dunia digital tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga risiko yang harus kita hadapi bersama.
Perkembangan teknologi digital memberikan banyak kemudahan, terutama dalam kegiatan ekonomi dan keuangan.
Namun, dibalik kenyamanan tersebut, muncul tantangan serius yang kini semakin sering kita dengar “Penipuan Digital”. Baru-baru ini masyarakat kalimantan barat kembali digemparkan oleh kasus penipuan digital yang meninggkat signifikan.
Berita yang dirilis di Pontianak post pada 13 November 2025 oleh Meidy khadif ini menggambarkan bagaimana berbagai pihak termasuk perbankan dan operator telekomunikasi, harus merespons cepat demi menjaga keamanan pengguna.
Kasus ini membuka diskusi penting tentang bagaimana pasar digital berfungsi, bagaimana konsumen bereaksi, dan mengapa kapital sosial khususnya kepercayaan menjadi aset krusial bagi keberlanjutan ekonomi digital. Saya melihat kasus ini tidak hanya persoalan kriminal digital, tetapi juga mencerminkan dinamika kapital sosial dalam arena pasar modern. Di era ketika ponsel menjadi dompet kedua, satu kejadian penipuan digital bisa mengguncang rasa aman ribuan orang.
Penipuan digital bukan lagi fenomena baru, namun dampaknnya semakin meluas. Modus-modus penipuan semakin kreatif, mulai dari phising, penipuan OTP, hingga penyalahgunaan nomor telepon.
Banyak korban yang akhirnya kehilangan uang, data pribadi, bahkan kepercayaan terhadap layanan digital yang seharusnya membantu hidup mereka. Di tengah situasi ini, masyarakat sering kali menaruh harapan besar kepada lembaga formal seperti bank dan operator telekomunikasi untuk memberikan perlindungan.
Ketika kejahatan meningkat, rasa aman menurun, dan di situlah kapital sosial khususnya kepercayaan memainkan peran penting.
Penipuan digital merusak dua hal, aset finansial korban dan modal sosial masyarakat. Secara praktis orang kehilangan uang, secara struktural orang menjadi ragu untuk bertransaksi secara digital. Terpantau dari materi manajemen pemasaran, fenomen ini menuntut perhatian lebih pada riset pemasaran, memahami kekhawatiran konsumen, mengukur dampak terhadap perilaku transaksi, dan merancang komunikasi yang dapat memulihkan kepercayaan.
Dari perspektif filosofi pemasaran, kepercayaan sebagai pondasi, kapital sosial sebagai salah satu bentuk modal yang menentukan kemampuan dalam jaringan sosial untuk berkerjasama. Hubungan antara konsumen dan perusahaan tidak hanya sebatas transaksi.
Perusahaan memiliki tanggung jawab moral dalam menciptakan nilai dan rasa aman bagi pelanggan. Keamanan digital bukan sekedar fitur tambahan, tetapi bagian yang tidak terpisahkan dari nilai produk itu sendiri.
Ketika keamanan terganggu, nilai yang diterima konsumen juga otomatis menurun. Filosofi pemasaran modern mengajarkan bahwa perusahaan harus memahami kebutukan konsumen secara mendalam, termasuk kebutuhan akan perlindungan transparansi.
Karena itu, langkah bank dan operator telekomunikasi yang meningkatkan sistem keamanan merupakan bagian dari pemenuhan nilai tersebut. Mereka tidak hanya menjual layanan, tetapi juga menjual rasa aman dan kepercayaan.
Dari perspektif ekonomi, meningkatnya kasus penipuan digital berdampak pada perputaran uang, produktivtas, hingga Gross Domestic Product (GDP). Ketika masyarakat menjadi takut untuk bertransaksi digital, aktivitas ekonomi digital dapat mengalami penurunan. Padahal, ekonomi digital saat ini menjadi salah satu pendorong pertumbuhan penting di Indonesia. Banyak sektor usaha, termasuk UMKM, mengandalkan transaksi online.
Jika penipuan digital tidak dapat ditekan, maka potensi pertumbuhan ekonomi bisa terlambat. Terlebih lagi, kerugian finansial akibat penipuan tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga berdampak pada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Karena itu, menjaga keamanan digital berarti menjaga kelancaran arus ekonomi.
Dalam persperktif manajemen, riset pemasaran harus menjadi landasan tindakan. Persoalan ini berkaitan erat dengan bagaimana organisasi mengelola risiko, strategi komunikasi, dan hubungan dengan pelanggan.
Bank dan operator telekomunikasi harus mampu membaca tren ancaman digital melalui riset pemasaran. Riset tidak hanya berfungsi untuk memahami prilaku konsumen, tetapi juga memetakan risiko pasar yang dapat memengaruhi keputusan konsumen, tetapi juga memetakan risiko pasar yang dapat memengaruhi keputusan konsumen.
Melalui riset, perusahaan dapat mengetahui seberapa besar ketakutan masyarakat terhadap penipuan digital, jenis penipuan yang paling sering terjadi, hingga teknologi apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kerentanan.
Hasil riset inilah yang kemudian menjadi dasar dalam memperkuat sistem keamanan, melakukan edukasi publik serta merancang kampanye yang dapat menumbuhkan kembali rasa percaya.
Kasus penipuan digital ini juga memperlihatkan bagaimana arena pasar modern berkerja brdasarkan kapital sosial, seperti yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu. Kapital sosial dalam kontek ini adalah kepercayaan yang dimiliki masyarakat terhadap lembaga formal. Kepercayaan adalah modal pentig yang menjadi dasar bagi hubungan timbal balik antara pengguna dan penyedia layanan.
Tanpa kepercayaan, transaksi tidak akan terjadi, layanan digital tidak akan digunakan dan pasar digital tidak akan berkembang. Ketika penipuan meningkat, kapital sosial melemah. Masyarakat menjadi ragu untuk menggunakan layanan digital, bahkan beberapa memilih kembali ke transaksi manual.
Oleh karena itu, langkah peningkat keamanan yang dilakukan bank dan operator merupakan upaya mengembalikan kapital sosial tersebut agar pasar tetap berjalan sehat.

Dari sudut pandang saya, saya melihat bahwa kasus ini memberikan perjalanan penting. Teknologi bukan hanya tentang kecanggihan alat, tetapi juga tentang hubungan manusia. Kita membutuhkan teknologi, namun teknologi juga membutuhkan kepercayaan manusia untuk dapat berfungsi optimal.
Dalam dunia pemasaran, kepercayaan adalah aset yang tidak ternilai. Perusahaan yang kehilangan kepercayaan pelanggan akan menghadapi kesulitan besar untuk bertahan, bahkan jika mereka memiliki teknologi canggih sekalipun.
Selain tu, kasus ini mengajarkan pentingnya literasi digital. Masyarakat harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengenali ancaman, memahami cara kerja keamanan digital, dan menjaga data pribadi.
Di sisi lain, perusahaan harus aktif memberikan edukasi. Kolaborasi antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah sangat dbutuhkan untuk menghadapi tantangan ini. Keamanan digtal bukan hanya tugas satu pihak, tetapi tanggung jawab bersama.
Pada akhirnya, peningkatan kasus penipuan digital di kalimantan barat bukan hanya isu kriminal, tetapi fenomena sosial-ekonomi yang memengaruhi kepercayaaan publik. Dengan pendekatan dari perspektif filosofi, ekonomi, dan manajemen, kita dapat melihat bahwa kepercayaan adalah modal utama yang harus di jaga di era digital.
Bank, operator telekomunikasi, dan pengguna harus berjalan bersama dalam menciptakan ekosistem yang aman, sehat, dan saling mendukung.
Karena pada akhirnya, masa depan ekonomi digital indonesia tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat teknologi berkembang, tetapi oleh seberapa besar kita mampu menjaga kepercayaan masyarakat yang menjadi dasar berjalannya seluruh aktivitas ekonomi dan pemasaran.
Sumber:
- Utami, Wida; Rofika, Ika Dina; Kamelia, Trisma; dkk. (2023). Pengaruh Persepsi Risiko, Kepercayaan Dan Keamanan Terhadap Minat Menggunakan BSI (Bank Syariah Indonesia) Mobile.
- Lestari, Widia; Sihabudin, Sihabudin; Fauji, Robby. (2023). Pengaruh Literasi Keuangan, Persepsi Risiko, dan Kemudahan Penggunaan terhadap Minat Menggunakan Bank Digital (SEABANK).
- Cut Mutia & Rayyan Firdaus. (2024). Analisis Penipuan Digital Teknik Phishing Terhadap Layanan Mobile Banking.
*Penulis: Enjelika Oktaviani Demitri – Mahasiswa Akademik Keuangan dan Perbankan, Universitas Santo Agustinus Hippo II Pontianak. – Manajemen Pemasaran.


