Friday, November 7, 2025
More

    DOKTRIN DAN RADIKALISME

    Oleh: Albertus Chandra

    MajalahDUTA.Com,Pontianak-Tubuh itu berpilin tak berbentuk, perutnya menganga, isinya terburai, dan pada wajahnya yang beku tak bersisa bekas senyuman. Sabuk bom bergotri yang detonatornya ia ledakkan sendiri mengakhiri hidup lelaki dan wanita ini, siang sekitar pukul 10:11 di Gereja Katedral Makassar bertepatan pada perayaan Minggu Palma (hari peringatan dalam liturgi gereja Katolik yang jatuh pada hari minggu sebelum paskah), 28 Maret 2021.

    Dan kita pun bertanya: kalimat magis apa gerangan yang didedahkan ke pikiran orang-orang ini sampai rela mati tak berbentuk di keramaian itu? Bersamanya, yang luka adalah jemaat dan petugas gereja orang-orang yang bukan penentu jalannya peradaban.

    Minggu Palma

    Hipnotis kah? Janji tentang nirwana? Sungai-sungai dan bidadari? Itukah yang disebut doktrin? Tapi kalimat apa yang punya daya mematikan akal sehat sedahsyat itu?

    Baca Juga: Memahami Iman Kristen dari Sudut Pandang Apologetika

    Dan inilah misteri yang tak terjangkau pengetahuan bagaimana seseorang atau kelompok dengan pesona yang bisa mengendalikan kehendak orang lain seraya mematikan akal sehatnya.

    Manusia mungkin memang hanya seonggok daging, darah dan tulang-tulang, tapi punya jiwa dan benak yang kekuatannya jauh melampaui batas-batas yang terpikirkan. Dari sanalah lahir doktrin-doktrin, keteguhan-keteguhan, fanatisme yang membuta.

    Doktrinisasi

    Pernah dengar istilah Sindrom Stockholm? Di tahun 1973, dua lelaki Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson merampok Sveriges Kreditbank di Stockholm, Swedia dan menyandera para karyawan bank selama lima hari. Ketika akhirnya para sandera dapat dibebaskan, reaksi mereka malah aneh: memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka.

    Baca Juga: Pemimpin Gereja Mengecam Serangan Bom Indonesia pada Minggu Palma

    Empat hari bersama, para sandera berubah menyayangi sang perampok. Salah satu sandera bernama Kristin bahkan membatalkan pertunangannya. Ia jatuh cinta kepada salah satu penyanderanya. Sejak itu, korban yang berbalik jatuh cinta kepada penyanderanya disebut pengidap Sindrom Stockholm.

    Sindrom

    Radikalisme sekarang semakin menguat—meski radikalisme ada dalam setiap agama. Gerakan-gerakan kelompok radikal telah mencederai nama baik salah satu agama dengan menegasikan toleransi di antara umat beragama. Kemunculan berbagai kelompok seperti di Irak dan Boko Haram di Nigeria sudah menjadi bukti yang nyata.

    Kemunculan kelompok-kelompok radikal tersebut di antaranya dilatarbelakangi cara pandang dunia yang semakin kompleks dan ketidaksiapan mereka menghadapi tekanan ekonomi-politik yang begitu kuat. Sebagaimana yang tercatat disalah satu situs , mereka mengambil pembenaran dari sumber-sumber dalam melakukan aksi-aksi kekerasan dan kejam.

    Baca Juga: Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus Kecam Aksi Bom Bunuh diri di Katedral Makassar

    Benih-benih radikalisme juga mulai tumbuh di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana perlakuan kelompok-kelompok tertentu terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan secara umum. Mereka tidak siap menghadapi zaman yang terus berkembang dan pemahaman manusia terhadap agama yang secara otomatik semakin beragam. Mereka lupa bahwa setiap kelompok punya jalannya sendiri dan Tuhan tidak berkehendak untuk menjadikan kita satu umat/pandangan.

    Radikalisme

    Untuk menangkal persoalan di atas, kita harus menjadi agen-agen perubahan yang moderat untuk menebarkan toleran, pluralisme yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Kita sulit membayangkan apa yang akan terjadi bila kelompok-kelompok radikal berkuasa ketika populasi semakin membesar dan berlipat ganda.

    Sungguh, manusia adalah semesta misteri. Pada makhluk primata yang berjalan tegak ini, tak ada kesimpulan yang bisa dituliskan, bahkan dengan tinta sedalam lautan. Selamat hari raya paskah, Tuhan Memberkati!

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles