Oleh: Albertus Chandra, Mahasiswa Magister FISIP Untan, Owner Ranum Dialekita (Sablon dan Cloth)
MajalahDUTA.Com,Pontianak-Kebangkitan era modern pada abad ke-17 sampai abad ke-19 cenderung mengutamakan rasionalitas sebagai dasar dari pikiran manusia. Oleh sebab itu, sulit rasanya bagi kita para umat kristiani di era ini untuk memahami iman kristen tanpa bertolak belakang dengan rasionalitas yang diwariskan oleh era modern di masa lampau. Munculnya kaum ateis baru beberapa tahun silam (tahun 2006) ikut meramaikan suasana, dengan memberikan kritik pedas dan menusuk hati umat-umat beragama, yang secara tidak langsung memperlemah keimanan Kristen pada setiap masing-masing umat Kristiani. Segala pengetahuan atas dunia diserahkan pada rasio dan nalar manusia tanpa mempertimbangkan potensi spiritual yang ada di dalam diri manusia.
Salah satu kritik yang lumayan pedas terlontar dari argumen salah satu ateis militan, yaitu Richard Dawkins. Richard Dawkins menganggap bahwa “iman kepada Allah itu irasional”, baginya iman adalah tentang melarikan diri dari bukti, menyembunyikan kepala anda dalam pasir, dan menolak untuk berpikir. Hal tersebut menjadi sangat wajar di era pascamodernisasi saat ini, karena pada dasarnya para kaum ateis jelas lebih mempercayai rasionalitas daripada Allah yang mereka anggap hanya sekedar delusi semata. Namun pendapat tersebut mendapatkan kritik pula dari seorang apologis kristen, yaitu Aliester E. McGrath.
Baca Juga: Apa Makna “Jalan Salib” Bagi Umat Katolik?
Dalam bukunya yang berjudul “MERE APOLOGETICS : HOW TO HELP SEEKERS AND SKEPTICS FIND FAITH” tahun 2017, ia berkata bahwa hasil pengamatan dari Richard Dawkins masihlah terlihat dangkal, ateisme baru ini ternyata belum memiliki kepercayaan dan dogma yang belum terbukti dan tidak dapat dibuktikan, sama seperti pandangan lain.
Kepercayaan
Mengapa Aliester dapat berpikir demikian? Mengapa Aliester berani menentang argumen ateisme di era yang telah dikuasai oleh kebutaan rasionalitas modern saat ini? Jawabannya adalah, karena Aliester memiliki ilmu apologetika untuk membela iman kristen dalam keadaan yang telah dikuasai oleh rasionalitas modern saat ini, yang cenderung mengenyampingkan Tuhan dalam setiap lini kehidupan kita, lantas apa itu apologetika?
Apologetika berasal dari bahasa Yunani, yang bermakna “pembelaan, jadi apologetika dapat diartikan sebagai ilmu mengenai pembelaan iman kristen. Ilmu ini berusaha menjawab pernyataan sikap kaum skeptisme yang meragukan keberadaan Allah atau menyerang kepercayaan terhadap Allah yang terdapat pada Alkitab. Apologetika juga merujuk pada injil 1 Petrus 3:15, yang berbunyi; “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lembut dan hormat”
Apologetika tidak semata hadir untuk membela iman kristen dari luar kristen saja, tetapi juga dapat digunakan sebagai pembelaan iman di dalam Kristen, bahkan sebagai pembelaan iman terhadap pikiran skeptis yang ada dalam diri kita sendiri. Dengan apologetika, kita dapat melihat bahwa ternyata iman kristen tidaklah selalu bertolak belakang dengan rasionalitas, bahkan iman kristen memungkinkan kita untuk melangkah lebih maju daripada rasionalitas, serta akan terasa lebih mencerahkan bila digunakan bersandingan dengan rasionalitas, ketimbang hanya mengandalkan rasio dari kaum ateis yang terasa suram dan kosong.
Pembelaan
Walaupun begitu, apologetika tetap memiliki batasan-batasan tertentu. Sebab apologetika hanya hadir untuk menunjukkan jalan bagi para pencari kebenaran dari iman Kristen, namun apologetika sama sekali tidak memiliki kuasa untuk menyembuhkan kekosongan dalam hati pencarinya. Tuhan sendirilah yang jauh lebih layak dalam mengerjakan hal tersebut.
Baca Juga: MENGENAL SOSOK USKUP AGUNG PONTIANAK, MGR. AGUSTINUS AGUS
Apologetika dapat dianalogikan sebagai seorang dokter yang memberi resep obat pada seorang yang sedang sakit, serta obat itu sendiri dapat kita analogikan sebagai Tuhan. Pada kenyataanya, seorang dokter hanya mengarahkan orang sakit tersebut untuk mengkonsumsi obat-obatan tertentu, namun obat itu sendirilah yang menyembuhkan penyakit orang tersebut. Apologetika hanya mengarahkan kita pada resep-resep kebenaran, namun Tuhan sendirilah yang akan menyembuhkan kita dan mempertemukan kita pada kebenaran.
Masih meminjam analogi dari dokter dan obat, jika seorang dokter harus memperhatikan dan memahami pendengarnya, maka apologis juga harus memperhatikan dan memahami pendengar. Seorang dokter haruslah memahami pasiennya, dengan begitu dokter tersebut dapat mengetahui dengan tepat jenis obat dan dosis obat seperti apa yang cocok diberikan kepada pasien. Begitu pula seorang apologis, haruslah memperhatikan dan memahami pendengarnya agar dapat mengetahui dengan tepat metode ber-apologetika seperti apa yang harus digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pendengarnya.
Setiap apologetika haruslah disesuaikan dengan kemampuan individu yang mendengarnya. Bagi kita yang hidup di era saat ini, apologetika yang digunakan juga cenderung berbeda dengan apologetika di zaman Para Rasul, namun maknanya haruslah tetap sama. Perbedaan metode ber-apologetika tersebut juga sudah dilakukan di masa lampau oleh rasul Petrus dan Paulus. Hal ini dapat kita lihat pada khotbah Petrus di hari pentakosta (Kis 2) dan khotbah Paulus di Atena (Kis 17).
Khotbah Petrus pada hari Pentakosta ditujukan bagi orang-orang Yahudi yang Sudah akrab dengan kisah-kisah di Perjanjian Lama, oleh sebab itu menggunakan kata Tuhan dan Mesias dalam khotbahnya bukanlah sebuah masalah. Berbeda halnya dengan Paulus yang berkhotbah di depan orang-orang Yunani di Atena yang tidak pernah mengetahui kisah-kisah perjanjian lama, oleh sebab itu Paulus harus menunjukkan benang merah antara Tuhan yang ada pada Alkitab dengan karya-karya filsuf Yunani, agar khotbahnya mengenai Yesus Kristus dapat meyakinkan pendengarnya.
Apologetika adalah tentang meyakinkan seseorang bahwa iman Kristen itu rasional, seperti yang dikatakan oleh C.S Lewis seorang apologis Kristen terbesar di abad 20 “Saya percaya kepada Kekristenan seperti saya percaya bahwa matahari itu terbit, bukan karena saya melihatnya, tetapi karena melaluinya saya melihat segala sesuatu.” Disini Lewis menunjukkan suatu dasar bagi apologetika Kristen bahwa kekristenan itu sendiri masuk akal, dan memungkinkan kita untuk membuat segalanya masuk akal.
Analogi
Seorang kritikus zaman pencerahan Alasadir MacIntyre berargumen bahwa pencarian pencerahan terhadap pondasi dan kriteria pengetahuan yang universal gagal dan akhirnya runtuh di bawah beban-beban bukti yang sebaliknya. Maksud Alasadir sendiri adalah bahwa visi untuk memiliki rasionalitas sendiri tidak dapat dipertahankan dan dicapai.
Hal tersebut membuat kita sebagai manusia hidup dalam kebenaran rasionalitas yang abu-abu, ambigu, tidak absolut, dan tidak murni. Melihat kelemahan dari rasionalitas tersebut, harusnya menjadi kesempatan bagi kita untuk mengekspresikan dan membela kriteria yang dapat membela dan membenarkan iman kita orang Kristen, serta menyadari bahwa kepercayaan terhadap iman Kristen memungkinkan kita untuk melampaui bukti-bukti dari kebenaran rasionalitas yang masih ambigu dan abu-abu tersebut.
Baca Juga: Walau Corona Datang, Berkat Takkan Hilang
Sebagai contoh, dari pernyataan etis bahwa “memperkosa itu salah”, pernyataan itu jelas tidak bisa dibuktikan benar, entah secara rasio maupun ilmu pengetahuan. Dasar dari segala hal yang berhubungan dengan etika dan moral muncul dari nurani manusia atas dasar kepercayaan diluar rasionalitas. Dasar rasio manusia tidak dapat membuktikan bahwa ide tentang etika dan moral itu benar adanya, kecuali melalui kepercayaan manusia terhadap keyakinan yang dianutnya, yang dapat kita katakan sebagai Iman.
Kekristenan
Aliester E. McGrath dalam bukunya mengatakan bahwa Alvin Platinga mencanangkan sebuah poin beberapa tahun yang lalu merujuk pada sebuah problem abadi tentang “pikiran lain”. Kita tidak bisa membuktikan secara absolut bahwa orang lain memiliki pemikiran. Tetap tidak ada yang bingung dengan hal ini. Asumsi ini menurutnya aman dan tampak sesuai dengan realitas yang kita hadapi. Platinga disini kemudian berargumen bahwa ada sebuah pararel antara keberadaan “pikiran lain” dengan membuktikan keberadaan Allah.
Menurut Platinga Kedua-duanya tidak dapat dibuktikan, dan argumen yang baik bisa dikemukakan untuk menentang kedua-duanya, tetapi bagi para pembelanya, kedua teori tentang pikiran lain dan keberadaan Allah tersebut tetap terasa masuk akal. Disini kita dapat melihat sebuah kesamaan antara pendukung rasio yang menganggap bahwa pikiran lain yang tak dapat dibuktikan itu terasa masuk akal, serta begitu juga bagi para pendukung iman Kristen yang menganggap bahwa keberadaan Allah itu masuk akal.
Semua orang secara rasional mempercayai sesuatu sebagai kebenaran walaupun mereka menyadari bahwa kepercayaan-kepercayaan itu tidak bisa dibuktikan secara tepat. Pengkritik agama sering berpendapat bahwa “iman” adalah semacam penyakit mental, khususnya bagi mereka yang beragama. Pendapat tersebut jelas salah, karena iman sendiri adalah bagian dari manusia. Aliester juga mengatakan dalam bukunya bahwa seorang filsuf Julia Kristeva baru-baru ini mengatakan; “Entah saya ada dalam sebuah agama, entah saya agnostik atau ateis, ketika saya mengatakan ‘Saya percaya’ maksud saya adalah ‘saya yakin benar’. Kepercayaan terhadap Allah juga merupakan problema yang sama.
Penulis ateis sering kali gagal menyadari bahwa kemampuan rasio manusia, mereka meyakini bahwa keyakinan mereka tepat, bisa diandalkan, dan bertanggung jawab, padahal mereka sendiri yang bilang bahwa mereka tidak percaya apa pun dan membatasi diri bahwa mereka membatasi diri hanya pada sesuatu yang mereka anggap benar. Seperti yang dikatakan oleh seorang ateis Christopher Hitchens yang mendeklarasikan bahwa Ateisme Baru tidak memiliki kepercayaan. “Kepercayaan kita bukanlah kepercayaan”, begitulah katanya. Akhirnya dari sini kita dapat melihat sebuah pernyataan ambigu dan tidak konsisten dari Ateis Baru, yaitu “Kepercayaan yang bukan Kepercayaan”. Hal ini jelas keliru dan tampaknya Hitcens sedang menipu dirinya sendiri dengan pernyataan itu. Kritiknya terhadap agama jelas bergantung pada kepercayaan inti yang tidak dapat dibuktikan.
Rasionalitas di Era Modern
Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa apologetika memungkinkan kita untuk menghadapi serangan yang datang dari rasionalitas di era modern, terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari kaum-kaum Ateisme maupun Skeptisme, yang cenderung menyudutkan Iman Kristen yang dimiliki oleh segenap umat-umat Kristiani. Apologetika juga dapat digunakan sebagai ilmu untuk mempertahankan dan memperkokoh Iman Kristen yang kita miliki dalam diri, oleh sebab itu, penting bagi kita semua orang Kristen yang hidup di masa kini, untuk dapat belajar lebih banyak mengenai pengetahuan-pengetahuan baru, agar kita dapat terus bertanggung jawab atas segala hal yang berhubungan dengan keimanan kita sebagai orang Kristen.
Saya menyadari bahwa tulisan ini masihlah jauh dari kata sempurna, namun saya percaya bahwa dengan campur tangan Tuhan Kita Yesus Kristus, tulisan ini dapat menjadi sebuah berkah yang bermanfaat bagi semua pembacanya. Terima Kasih, Tuhan Yesus Memberkati.
Kepustakaan:
McGrath, Aliester E., MERE APOLOGETICS : HOW TO HELP SEEKERS AND SKEPTICS FIND FAITH, Tanzil, Vincent. 2017. Literarur SAAT : Malang, Indonesia