Duta, Pontianak | Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak lama menjadi salah satu fondasi penting dalam sistem pajak daerah di Indonesia.
Karena pajak yang bersifat tahunan, memiliki basis pajak yang luas, serta relatif stabil terhadap gejolak perekonomian, PBB berperan dalam strategi dalam memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam kerangka sentralisasi fiskal, PBB diharapkan mampu menopang kemandirian daerah sekaligus membiayai pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur secara berkelanjutan.
Namun, dibalik potensinya yang besar, PBB masih menghadapi permasalahan klasik. Penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kerap tidak mencerminkan harga pasar yang sesungguhnya, dasar data objek pajak belum ditukar, dan tingkat pemenuhan wajib pajak masih beragam.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana masa depan PBB agar tetap relevan dan adil dalam sistem pajak daerah yang terus berkembang?
Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berbeda dengan PBB yang bersifat periodik, BPHTB hanya dipungut pada saat terjadi penyerahan hak atas tanah dan bangunan.
Meski demikian, BPHTB menyimpan keunggulan strateginya karena mencatat nilai transaksi yang relatif mendekati harga pasar. Ironisnya, dalam praktiknya, data BPHTB sering kali tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki akurasi NJOP PBB. Akibatnya terjadi kesenjangan antara nilai pajak tahunan dan nilai ekonomi riil properti.
Kondisi tersebut mendorong munculnya gagasan integrasi PBB dan BPHTB dalam satu kerangka pajak properti yang lebih terpadu. Integrasi ini diyakini mampu meningkatkan keadilan fiskal, karena penilaian properti tidak lagi bergantung pada NJOP yang usang, melainkan diperkuat oleh data transaksi aktual.
Mardiasmo (2019) menegaskan bahwa salah satu kelemahan utama PBB terletak pada ketidakakuratan dasar penilaiannya, sehingga harmonisasi dengan BPHTB berpotensi memperbaiki kualitas penetapan pajak.
Selain aspek keadilan, integrasi juga menjanjikan efisiensi administrasi. Pengelolaan dua pajak dengan objek yang sama tetapi sistem yang terpisah sering menimbulkan duplikasi data, beban administrasi tinggi, dan peluang ketidaksinkronan kebijakan.
Penelitian Suherman (2020) menunjukkan bahwa sinkronisasi data dasar dan metode penilaian dapat meningkatkan efektivitas penerimaan pajak properti sekaligus mengurangi celah manipulasi nilai transaksi.
Meski demikian, integrasi PBB dan BPHTB bukannya tanpa risiko. Banyak pemerintah daerah yang masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi informasi.
Jika integrasi dilakukan tanpa pembaruan data secara menyeluruh, daerah justru berisiko menggabungkan dua sistem yang sama-sama memiliki kelemahan. Hal ini berpotensi menimbulkan kerusakan pajak, menurunkan kepercayaan masyarakat, dan mengganggu stabilitas penerimaan jangka pendek.
Di sisi lain, terdapat alternatif reformulasi besar terhadap PBB tanpa harus menggabungkannya dengan BPHTB. Reformasi ini mencakup pembaruan NJOP berbasis teknologi penilaian massal, penerapan tarif progresif yang lebih peka terhadap kemampuan ekonomi wajib pajak, serta penyederhanaan administrasi.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), yang mendorong modernisasi pajak daerah dan peningkatan kemandirian fiskal.
Reformulasi PBB juga membuka peluang menjadikan pajak properti bukan sekedar alat penerimaan, tetapi instrumen kebijakan publik.
Tarif progresif, misalnya, dapat digunakan untuk menekan spekulasi lahan dan mendorong pemanfaatan lahan yang produktif. Penelitian Adhitya dan Prakoso (2022) menunjukkan bahwa struktur pajak properti yang lebih progresif mampu meningkatkan keadilan horizontal tanpa mengorbankan potensi penerimaan daerah.
Pada akhirnya, masa depan PBB tidak dapat diabaikan dari kesiapan institusi daerah. Baik integrasi dengan BPHTB maupun reformulasi besar memerlukan basis data yang kuat, aparatur yang kompeten, serta sistem digital yang andal. Tanpa itu, perubahan kebijakan justru berisiko menambah kompleksitas baru.
Oleh karena itu, masa depan PBB seharusnya dipandang sebagai proses bertahap, bukan keputusan instan. Pemerintah daerah perlu menyusun peta jalan reformasi pajak properti yang realistis dan berbasis kapasitas lokal.
Dengan pendekatan yang terukur, PBB dapat berkembang menjadi instrumen fiskal yang adil, efisien, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi penopang utama kemandirian keuangan daerah di masa depan.
Referensi:
- Mardiasmo. (2019). Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
- Suherman. (2020). Optimalisasi Pajak Properti Daerah. Jurnal Keuangan Daerah.
- Adhitya, R., & Prakoso, B. (2022). Progresivitas Pajak Properti dan Pendapatan Daerah. Jurnal Kebijakan Pajak Daerah.
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
*Oleh: Pius Payong (Mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan, Semester 3C)
*Editor: Lusia Sedati S.E., M.Ak. (Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan)




