Duta, Pontianak | Pajak Penghasilan (PPh) Badan selama ini menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara. Kontribusinya tidak hanya penting bagi kepatuhan fiskal, tetapi juga menentukan ruang gerak pemerintah dalam membiayai pembangunan dan layanan publik.
Dalam konteks globalisasi ekonomi dan persaingan antarnegara, kebijakan tarif PPh Badan dapat dijadikan instrumen untuk menarik investasi. Indonesia sendiri, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen dan menegaskan arah kebijakan pajak yang seimbang antara daya saing dan pengeluaran fiskal.
Pertanyaannya kemudian, apakah tarif PPh Badan yang lebih rendah benar-benar menjadi magnet investasi? Atau justru berisiko menggerus penerimaan negara tanpa dampak signifikan terhadap arus modal masuk?
Secara teori, tarif pajak yang lebih rendah memang meningkatkan arus kas perusahaan dan menurunkan biaya modal setelah pajak. Waluyo (2019) menjelaskan bahwa beban pajak yang lebih ringan dapat mendorong ekspansi usaha dan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk berinvestasi.
Dalam perspektif ini, tarif PPh Badan menjadi penting bagi investor, khususnya dalam keputusan sinyal lokasi investasi lintas negara.
Namun, pengalaman global menunjukkan bahwa pengaruh tarif pajak terhadap investasi tidak berdiri sendiri.
Data OECD dalam Corporate Tax Statistics 2024–2025 menunjukkan bahwa tren penurunan tarif pajak korporasi dunia mulai melambat, seiring dengan disepakatinya rezim pajak minimum global sebesar 15 persen bagi perusahaan multinasional. Kebijakan ini menandai perubahan paradigma: negara tidak lagi semata-mata berlomba menurunkan tarif, melainkan memperkuat basis pajak dan kualitas institusi.
Di kawasan ASEAN, tarif PPh Badan Indonesia berada di tingkat menengah. Singapura, misalnya, tetap menjadi tujuan utama investasi asing dengan tarif yang kompetitif, tetapi keberhasilannya lebih ditentukan oleh kepastian hukum, efisiensi birokrasi, dan infrastruktur kelas dunia.
Hal ini memperkuat temuan Devereux, Griffith, dan Klemm (2002) bahwa perbedaan tarif pajak hanya menjadi salah satu faktor, sementara kualitas lingkungan usaha sering kali lebih menentukan.
Dalam konteks Indonesia, sejumlah laporan Bank Dunia dan UNCTAD terbaru menunjukkan bahwa investor menyoroti lebih banyak stabilitas regulasi, kemudahan berusaha, kualitas tenaga kerja, dan ukuran pasar domestik dibandingkan sekedar tarif pajak.
Dengan kata lain, reformasi tarif PPh Badan yang rendah tanpa struktural hanya memberikan dampak terbatas terhadap peningkatan investasi langsung (FDI).
Risiko dari kebijakan tarif rendah juga tidak kecil. Rosen dan Gayer (2014) mengingatkan bahwa penurunan tarif yang tidak diimbangi dengan luasnya basis pajak berpotensi menggerus kapasitas fiskal negara.
Dalam jangka panjang, strategi ini dapat memicu race to the bottom, di mana negara-negara saling menurunkan tarif tanpa memperoleh tambahan investasi yang sepadan. Bagi Indonesia, risiko ini sangat relevan mengingat PPh Badan masih memberikan porsi signifikan dalam APBN.
Oleh karena itu, reformulasi PPh Badan seharusnya tidak berhenti pada isu tarif. OECD (2023) dalam kajian kebijakan perpajakannya menekankan bahwa negara berkembang akan lebih efektif menarik investasi dengan memperkuat administrasi pajak, menutup celah penghindaran pajak, serta menerapkan kebijakan anti-Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Indonesia telah melangkah ke arah ini melalui penguatan aturan transfer pricing, pajak minimum global, dan insentif fiskal yang lebih terarah.
Insentif seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction untuk riset, vokasi, serta industri hijau dinilai lebih tepat sasaran dibandingkan pemotongan tarif secara menyeluruh. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah menarik investasi berkualitas tanpa mengorbankan penerimaan negara secara luas.
Musgrave dan Musgrave (1989) menegaskan bahwa kebijakan pajak yang efektif harus memperhatikan struktur ekonomi dan tujuan pembangunan, bukan semata-mata persaingan tarif.
Pada akhirnya, daya tarik investasi tidak hanya ditentukan oleh angka tarif PPh Badan, tetapi oleh kebijakan ekosistem secara keseluruhan.
Reformulasi PPh Badan idealnya diarahkan pada keseimbangan: tarif yang kompetitif, dasar pajak yang kuat, administrasi yang efektif, serta iklim usaha yang kondusif.
Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat meningkatkan daya saing investasi sekaligus menjaga kemiskinan fiskal dalam jangka panjang, sebuah penciptaan penting bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
- Waluyo. (2019). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
- Devereux, MP, Griffith, R., & Klemm, A. (2002). Reformasi Pajak Penghasilan Perusahaan dan Persaingan Pajak Internasional. Kebijakan Ekonomi.
- Rosen, HS, & Gayer, T. (2014). Keuangan Publik. McGraw-Hill.
- OECD. (2023–2025). Statistik Pajak Perusahaan dan Studi Kebijakan Pajak.
- Bank Dunia dan UNCTAD. (2024). Laporan Iklim Investasi dan Bisnis Global.
*Oleh: Shiril Kayam Genta (Mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan, Semester 3C)
*Editor: Lusia Sedati S.E., M.Ak. (Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan)




