Duta, Pontianak | Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan salah satu instrumen fiskal yang strategis bagi pemerintah daerah.
Sebagai pajak yang melekat langsung pada tanah dan bangunan, PBB-P2 memiliki dasar pajak yang luas dan relatif stabil. Hampir setiap daerah memiliki potensi PBB-P2, sehingga pajak ini diharapkan menjadi penopang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus simbol kemandirian fiskal daerah.
Harapan tersebut semakin menguat sejak kewenangan pemungutan PBB-P2 dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten atau kota. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah diberi ruang untuk mengelola pajak secara mandiri, mulai dari penetapan tarif, pengelolaan data objek pajak, hingga pemungutan dan pengawasan.
Secara teoritis, desentralisasi fiskal semacam ini memungkinkan daerah mengoptimalkan potensi lokal dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak. Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: sejauh mana PBB-P2 benar-benar efektif meningkatkan PAD pasca-pengalihan kewenangan tersebut?
Dalam kerangka keuangan daerah, pajak daerah merupakan komponen utama PAD selain retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
PAD berfungsi sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah agar tidak sepenuhnya bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. PBB-P2, sebagai pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki atau dimanfaatkan masyarakat, mempunyai sifat yang potensial karena objek pajaknya bersifat tidak bergerak dan mudah diidentifikasi.
Pengalihan PBB-P2 ke daerah memberikan dampak positif di sejumlah wilayah. Beberapa pemerintah daerah mampu meningkatkan penerimaan PBB-P2 melalui pembaruan data objek pajak, penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) agar lebih mendekati nilai pasar, serta peningkatan kualitas pelayanan, termasuk kemudahan pembayaran pajak.
Keuntungan lainnya, hasil pemungutan PBB-P2 dapat langsung digunakan untuk membiayai kebutuhan lokal, seperti perbaikan jalan lingkungan, pembangunan fasilitas pendidikan, dan peningkatan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, masyarakat dapat merasakan langsung manfaat pajak yang mereka bayarkan.
Namun demikian, efektivitas PBB-P2 tidak merata di seluruh daerah. Tidak sedikit pemerintah daerah yang masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, lemahnya sistem administrasi perpajakan, serta minimnya basis data yang akurat. Akibatnya, potensi PBB-P2 belum tergarap optimal. Di beberapa daerah, penerimaan PBB-P2 bahkan stagnan, meskipun kewenangan pemungutan suara sudah sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah.
Tantangan lain yang tak kalah pentingnya adalah munculnya variasi kebijakan antardaerah sebagai konsekuensi desentralisasi. Perbedaan tarif PBB-P2, besaran NJOP, hingga mekanisme pembayaran merupakan bentuk penyesuaian terhadap kondisi lokal. Dari sudut pandang pemerintah daerah, variasi ini sah dan diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Namun, bagi wajib pajak, terutama mereka yang memiliki objek pajak di lebih dari satu daerah, perbedaan kebijakan tersebut sering menimbulkan kebingungan.
Minimnya sosialisasi semakin memperbesar persoalan. Wajib pajak sering kali tidak memahami alasan kenaikan NJOP atau perubahan tarif PBB-P2 yang ditetapkan pemerintah daerah.
Ketika kebijakan tidak dikomunikasikan dengan baik, maka pajak berpotensi menurun. Pada titik inilah efektivitas PBB-P2 sebagai sumber PAD menjadi dipertanyakan, karena pajak yang ideal seharusnya tidak hanya tinggi potensinya, tetapi juga mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Untuk meningkatkan efektivitas PBB-P2, pemerintah daerah perlu melakukan sejumlah langkah strategi. Pertama, penguatan kapasitas sumber daya manusia di bidang perpajakan daerah menjadi suatu keharusan.
Aparatur pajak daerah yang profesional dan memahami karakteristik wilayahnya akan mampu menggali potensi pajak secara optimal. Kedua, pembaruan dan validasi data objek serta subjek pajak harus dilakukan secara berkelanjutan.
Ketiga, pengembangan sistem pembayaran pajak yang sederhana, transparan, dan berbasis digital dapat meningkatkan pemenuhan wajib pajak. Keempat, sosialisasi yang konsisten dan komunikatif perlu dilakukan agar masyarakat memahami kewajiban sekaligus manfaat membayar PBB-P2.
Pada akhirnya, kewenangan pemungutan PBB-P2 ke daerah merupakan langkah yang tepat dalam kerangka desentralisasi fiskal. Kebijakan ini terbukti mampu meningkatkan PAD di sejumlah daerah, namun belum sepenuhnya efektif secara merata.
Perbedaan kapasitas dan kebijakan antardaerah menjadi tantangan yang harus diatasi melalui penguatan institusi, penyederhanaan kebijakan, dan peningkatan pelayanan publik. Jika dikelola dengan baik, PBB-P2 tidak hanya menjadi sumber PAD Andal, tetapi juga instrumen keadilan fiskal yang mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah.
- Mardiasmo. (2018). Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan Pajak Daerah dan Penguatan PAD.
*Oleh: Dovi Liando (Mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan, Semester 3C)
*Editor: Lusia Sedati S.E., M.Ak. (Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan)




