Duta, Pontianak | Ruang publik ramah anak bukan sekadar soal tersedianya ayunan, trotoar, atau rumput hijau. Jika menggunakan kacamata Marketing Management yang dikembangkan Kotler dan Keller, taman kota seperti Taman Alun Kapuas, Taman Digulis, dan Taman Catur sesungguhnya merupakan “produk layanan publik” yang memerlukan pengelolaan serius, terencana, dan berorientasi pada kebutuhan pengguna—dalam hal ini anak-anak dan keluarga.
Dalam teori pemasaran, keberhasilan suatu layanan sangat ditentukan oleh nilai (customer value) dan kepuasan pengguna (customer satisfaction).
Ketika prinsip ini diterapkan pada ruang publik, maka taman kota bukan lagi dipandang sebagai proyek fisik semata, melainkan pengalaman menyeluruh yang dirasakan oleh masyarakat. Fasilitas lengkap, kebersihan terjaga, keamanan yang memadai, hingga suasana yang nyaman menjadi faktor pembentuk nilai tersebut.
Namun hasil berbagai pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa taman-taman kota di Pontianak masih menghadapi sejumlah persoalan klasik: sampah berserakan, polusi asap rokok, minimnya fasilitas bermain gratis, pagar vegetasi yang tak cukup melindungi, hingga ketiadaan tempat berteduh ketika hujan.
Masalah-masalah ini jelas mengurangi kualitas pengalaman pengguna—dan pada akhirnya menurunkan nilai layanan publik itu sendiri.
Kotler & Keller menyebut konsep Total Product Offering, yaitu bahwa kualitas suatu layanan tidak hanya diukur dari bentuk fisiknya, tetapi dari keseluruhan pengalaman yang diberikan.
Dengan kata lain, label “taman ramah anak” tidak akan berarti apa-apa jika realitasnya di lapangan tidak konsisten dengan citra tersebut.
Prinsip dasar pemasaran lainnya—segmentation, targeting, positioning (STP)—juga sangat relevan.
Jika pemerintah ingin memposisikan taman sebagai ruang publik ramah anak, maka seluruh elemen pengelolaannya harus selaras dengan target itu: fasilitas bermain yang aman, zona bebas asap rokok, manajemen kebersihan yang efektif, ruang teduh, dan pengawasan yang memadai. Ketidaksesuaian antara apa yang dijanjikan dan apa yang dialami masyarakat akan melemahkan citra taman kota Pontianak.
Dalam perspektif social marketing, urusan ini tidak cukup diselesaikan dengan renovasi fisik. Pemerintah perlu “menjual” perilaku positif: tidak merokok di area taman, membuang sampah pada tempatnya, menjaga fasilitas umum, serta saling mengawasi kenyamanan anak.
Kampanye sosial semacam ini sangat penting agar perubahan fisik berjalan seiring perubahan budaya masyarakat.
Pendekatan pemasaran modern juga mendorong pemerintah membangun relationship marketing—hubungan jangka panjang dengan masyarakat pengguna taman.
Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan keluarga rutin, kotak saran publik, atau melibatkan komunitas dalam menjaga taman. Ketika masyarakat merasa memiliki, kepedulian kolektif akan tumbuh dengan sendirinya.
Pada akhirnya, pelajaran dari Kotler & Keller memberikan satu pesan penting: taman kota bukan hanya soal infrastruktur, tetapi soal nilai, pengalaman, kepuasan, dan perilaku sosial yang dibangun bersama.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip pemasaran ini secara konsisten, Pontianak memiliki peluang besar menghadirkan ruang publik yang benar-benar ramah anak—aman, bersih, nyaman, dan relevan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat modern.
Ruang publik yang baik bukan hadiah; ia adalah hasil dari pengelolaan yang visioner dan partisipasi masyarakat. Jika pemerintah dan warga bekerja bersama, taman-taman kota Pontianak bisa menjadi ruang yang bukan hanya indah, tetapi juga mendidik, menumbuhkan, dan membahagiakan anak-anak kita.
Daftar Pustaka
Buku
Kotler, Philip, dan Kevin Lane Keller. Marketing Management. 16th ed. Pearson, 2022.
Artikel/Internet
Google Scholar. “STP Jam Malam Pontianak.” Diakses melalui Google Scholar.
Pearson. “Marketing Management Resources.” Diakses di Pearson.com.
*Petronela Ribi. Mahasiswa di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Kampus II Pontianak, Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa, (Sam).


