Tuesday, December 23, 2025
More

    Konsumen Butuh Bukti, Bukan Janji: Saatnya Negara dan Pelaku Usaha Menjamin Keamanan Produk Kecantikan

    Duta, Pontianak | Di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat Indonesia kini hidup dalam ekosistem informasi yang tak pernah tidur.

    Setiap menit, ratusan konten baru muncul di beranda media sosial yakni testimoni glowing, video before–after, klaim “cerah dalam 7 hari”, dan janji-janji instan yang tampak memukau. Namun justru di tengah limpahan informasi itulah konsumen semakin sulit membedakan mana kebenaran dan mana manipulasi.

    Kasus terungkapnya skincare bermerkuri yang dipromosikan oleh Fenny Frans dan Mira Hayati menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana pemasaran digital yang agresif dapat mengelabui ribuan konsumen.

    Produk tersebut, yang dijual tanpa izin BPOM dan terbukti mengandung merkuri, berhasil menipu lewat narasi “hasil cepat”, “kulit glowing”, dan testimoni yang direkayasa. Banyak konsumen terpaksa menanggung risiko kesehatan, dari iritasi hingga potensi kerusakan organ, akibat iming-iming yang dibalut dengan kemasan visual apik.

    Fenomena ini menunjukkan satu hal yaitu konsumen Indonesia membutuhkan bukti nyata, bukan janji manis.

    Konsumen Semakin Cerdas—Tetapi Belum Cukup Terlindungi

    Secara umum, kesadaran masyarakat terhadap keamanan dan legalitas produk memang meningkat. Di banyak platform, pengguna kini memeriksa izin BPOM, mengecek review, bahkan menelusuri komposisi bahan sebelum membeli.

    Ini sejalan dengan pergeseran perilaku konsumen sebagaimana dijelaskan Sudirjo dan rekan-rekan (2024): konsumen modern memilih produk berdasarkan informasi, reputasi, dan pengalaman nyata.

    Namun peningkatan kesadaran itu belum cukup menahan laju produk ilegal yang memanfaatkan celah algoritma media sosial. Banyak konsumen—terutama remaja dan ibu rumah tangga—masih terjebak pada godaan visual dan testimoni yang tampak meyakinkan.

    Ketika sebuah video menunjukkan transformasi kulit yang drastis dalam waktu singkat, sebagian konsumen cenderung mematikan alarm rasionalnya.

    Kasus skincare bermerkuri ini membuktikan bagaimana promosi yang indah dapat menutupi kenyataan yang mengancam kesehatan masyarakat. Dan selama regulasi belum tegak sepenuhnya di ranah digital, konsumen tetap berada dalam posisi rawan.

    Kebohongan Promosi Merusak Ekosistem Bisnis

    Di tengah persaingan pasar yang semakin keras, sebagian pelaku usaha memilih jalan pintas dengan memoles promosi secara berlebihan. Padahal, menurut Ratnasari (2023), kepuasan konsumen adalah penentu utama keberhasilan strategi pemasaran. Kepuasan itu lahir dari nilai nyata, bukan dari klaim bombastis.

    Sementara Kharisma dkk. (2023) menegaskan bahwa kualitas pelayanan sangat menentukan kepuasan. Ini mencakup layanan pre-purchase seperti edukasi produk, kejujuran informasi, dan pendampingan. Ketika pelaku usaha hanya mengejar keuntungan jangka pendek melalui testimoni palsu atau slogan menyesatkan, mereka sesungguhnya sedang merusak kepercayaan pasar terhadap industri kecantikan itu sendiri.

    Di sisi lain, Gunistiyo dan Deddy (2023) menekankan bahwa strategi pemasaran yang baik harus berorientasi masa depan. Artinya, pelaku usaha perlu membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen melalui mutu produk, transparansi, dan konsistensi pelayanan.

    Produk yang aman—bukan sekadar laris—adalah fondasi bisnis berkelanjutan.

    Regulasi Ada, Tapi Penegakannya Belum Merata

    Indonesia sebetulnya memiliki perangkat hukum yang cukup lengkap untuk melindungi konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, aturan BPOM, dan regulasi perdagangan elektronik telah mengatur larangan peredaran produk berbahaya serta kewajiban pelaku usaha mencantumkan bahan, izin edar, dan informasi yang jujur.

    Masalahnya, penegakan hukum masih tidak sebanding dengan kecepatannya peredaran produk ilegal. Media sosial bergerak dalam hitungan detik, sementara aparat hanya bisa bertindak setelah laporan masuk atau setelah masalah meledak di publik. Dalam konteks ini, platform digital juga wajib bertanggung jawab. Algoritma yang mempromosikan konten berdasarkan engagement tanpa memilah keamanan produk ikut memperbesar masalah.

    Beberapa langkah regulatif yang mendesak dilakukan antara lain:

    1. Memperketat pengawasan produk kecantikan di platform digital, termasuk kerja sama wajib antara BPOM dan platform besar seperti TikTok, Shopee, dan Instagram.

    2. Memperluas edukasi publik, terutama pada segmen masyarakat yang rentan termakan iklan instan.

    3. Meningkatkan hukuman bagi pelaku usaha yang menjual produk berbahaya, bukan hanya penarikan produk, tetapi juga sanksi pidana dan penutupan akses digital.

    4. Memperkuat literasi konsumen sejak sekolah, agar masyarakat terbiasa mengecek fakta dan berpikir kritis sebelum membeli.

    Tanpa penegakan regulasi yang kuat, pasar digital akan tetap menjadi lahan subur bagi pelaku usaha tidak bertanggung jawab.

    Peran Konsumen dalam Kritik Adalah Bentuk Perlindungan Diri

    Di tengah dinamika pasar, konsumen juga memiliki tanggung jawab moral dan praktis. Sikap kritis tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga untuk mendorong pasar menjadi lebih sehat. Langkah kecil seperti mengecek izin BPOM, mencari ulasan independen, atau menghindari produk yang menjanjikan hasil instan dapat mencegah kerugian jangka panjang.

    Konsumen Indonesia perlu memahami bahwa kulit glowing adalah proses, bukan sihir. Produk yang aman bekerja bertahap, tidak dengan perubahan ekstrem dalam hitungan hari. Di sinilah peran literasi digital menjadi penting: agar masyarakat tidak lagi terjebak dalam narasi visual yang indah namun menyesatkan.

    Arah Masa Depan Industri Kecantikan yang Transparan

    Kasus skincare bermerkuri ini harus menjadi titik balik. Industri kecantikan Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar. Banyak brand lokal telah mampu bersaing secara global dengan kualitas baik dan transparansi tinggi. Inilah masa depan yang perlu diperkuat: industri yang menempatkan keamanan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai nilai utama.

    Kepercayaan konsumen tidak bisa dibeli dengan kampanye influencer atau iklan viral. Kepercayaan hanya bisa dibangun dengan bukti—komposisi yang jelas, uji klinis yang sah, izin edar, kualitas pelayanan, dan konsistensi pengalaman pengguna.

    Perusahaan yang bertahan di masa depan adalah perusahaan yang tidak hanya menjual kecantikan, tetapi juga menjual keamanan dan kejujuran.

    Bukti Adalah Bahasa Baru Bisnis

    Akhirnya, opini ini ingin menegaskan bahwa konsumen Indonesia semakin matang. Mereka tidak lagi memerlukan janji, tetapi bukti dan transparansi. Pelaku usaha yang menipu konsumen bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak masa depan industrinya sendiri. Sementara itu, negara perlu memastikan ekosistem digital yang aman, bersih, dan bebas dari produk berbahaya.

    Ketika bukti menjadi norma, industri kecantikan Indonesia akan berkembang dengan lebih sehat, lebih kuat, dan lebih dipercaya. Konsumen pun akan menikmati produk yang tidak hanya mempercantik tampilan, tetapi juga menjaga kesehatan dan martabat mereka sebagai manusia yang berhak dilindungi.

    Daftar Pustaka

    Gunistiyo, dan Deddy. Strategi Pemasaran Keunggulan Bersaing Berbasis Kloning Produk. Malang: PT Literasi Nusantara Abdi Group, 2023.

    Kharisma, D., S. Simatupang, dan H. Hutagalung. “Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada UD. Restu Mulia Pandan.” Jurnal Manajemen dan Akuntansi Medan 5, no. 1 (2023): 32–42.

    Ratnasari, Desi. Strategi Pemasaran dan Kepuasan Konsumen. Malang: CV Literasi Nusantara Abadi, 2023.

    Sudirjo, dkk. Teori Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Sumatera Barat: PT Mafy Media Literasi Indonesia, 2024.

    *Emi, Mahasiswi Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa, Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, Kampus II Pontianak, (Sam). 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles