Duta, Pontianak | Kasus viral pada 21 November 2025 tentang 13 warga Jawa Barat yang terlantar di Pontianak akibat janji kerja palsu sebenarnya bukan sekadar kisah sedih. Kejadian ini memperlihatkan bahwa pasar kerja Indonesia masih menyimpan banyak celah, terutama bagi mereka yang terdesak ekonomi dan membutuhkan pekerjaan dengan segera.
Ketika informasi tidak seimbang dan regulasi tidak ditegakkan secara konsisten, kerugian tidak hanya menimpa para pekerja, tetapi juga keluarga mereka, pemerintah daerah, serta aktivitas ekonomi sehari-hari.
Masalah bermula ketika sekelompok warga dari Jawa Barat dijanjikan pekerjaan di luar provinsi. Awalnya mereka diarahkan menuju Kalimantan Utara, namun tiba-tiba dipindahkan ke Kalimantan Barat. Ada yang sempat bekerja hingga tiga minggu, tetapi upah mereka tidak jelas.
Dalam dua bulan bekerja, mereka hanya menerima sedikit uang. Ketika kondisi semakin sulit dan video keluhan mereka viral di media sosial, barulah Polresta Pontianak turun tangan dan memfasilitasi pemulangan mereka.
Kejadian seperti ini bukanlah hal baru. Namun kasus di Pontianak menjadi viral karena jumlah korbannya banyak dan pendekatannya melibatkan aparat secara langsung. Ini menunjukkan bahwa persoalan ketenagakerjaan tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di kota-kota berkembang seperti Pontianak yang menjadi tujuan mobilitas kerja dari berbagai daerah.
Ketika Lapangan Kerja Formal Tidak Mampu Menyerap
Salah satu alasan kasus seperti ini mudah terjadi adalah karena lapangan kerja formal masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pencari kerja.
Ketika kesempatan kerja formal terbatas, muncullah ruang bagi perekrut nonresmi menawarkan pekerjaan cepat. Mereka menjual harapan, bukan kepastian. Para pencari kerja yang sedang terdesak akhirnya menerima tawaran apapun, termasuk dari agen yang tidak jelas legalitas dan rekam jejaknya.
Dalam Indonesia Employment Outlook 2025 menegaskan bahwa angka pengangguran, terutama pada usia muda, masih cukup tinggi. Laporan itu menyoroti pentingnya kebijakan skilling, upskilling, dan reskilling karena pasar kerja formal belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja baru.
Di tengah kondisi tersebut, pasar perekrutan tidak resmi tumbuh subur. Janji-janji pekerjaan yang sulit diverifikasi membuat pekerja rentan tertipu, terutama ketika tidak ada kontrak kerja atau mekanisme pengawasan.
Ketimpangan Informasi dan Hilangnya Kontrak Kerja
Masalah berikutnya adalah ketimpangan informasi. Para pekerja biasanya tidak mengetahui apakah agen perekrut itu resmi, bagaimana sistem kerja berlangsung, serta bagaimana skema pembayaran yang akan diterapkan. Semua itu tidak tertulis—karena memang tidak ada kontrak sama sekali.
Fenomena ini digambarkan dalam buku Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia, yang menjelaskan bagaimana hubungan kerja tidak jelas (misalnya status “mitra” dalam gig economy) membuat pekerja kehilangan perlindungan hukum. Ketika hubungan kerja tidak didasari kontrak, pekerja tidak memiliki kekuatan untuk menuntut haknya.
Dalam kasus Pontianak, kerentanan para korban menjadi berlipat karena mereka bekerja lintas provinsi. Mereka tidak memiliki akses pengaduan, tidak mengerti siapa penanggung jawab pembayaran, dan tidak memiliki dokumen apa pun yang bisa digunakan untuk menuntut hak.
Di ruang kosong inilah perekrut nakal mudah memanfaatkan situasi.
Kerugian Ekonomi yang Meluas
Kasus seperti ini membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar upah yang tidak dibayarkan. Kerugiannya merembet ke berbagai level:
1. Rumah tangga
Biaya transportasi habis tanpa hasil, pendapatan yang dijanjikan tidak masuk, dan keluarga di kampung kehilangan kiriman uang yang mereka harapkan.
2. Pemerintah daerah
Setiap kali kasus seperti ini terjadi, pemerintah harus menanggung biaya penampungan, pemulangan, hingga pendampingan hukum.
3. Ekonomi lokal
Pekerja yang seharusnya produktif justru menjadi beban. Konsumsi daerah menurun, warung, pedagang, hingga sopir travel ikut terdampak.
4. Hilangnya potensi tenaga kerja
Pekerja yang seharusnya bisa diserap sektor formal gagal mengisi posisi yang membutuhkan tenaga kerja.
Indonesia Employment Outlook juga menegaskan pentingnya perlindungan kerja dan mobilitas tenaga kerja yang aman untuk menjaga stabilitas ekonomi. Mobilitas yang tidak aman justru menciptakan kerugian besar, baik bagi individu maupun daerah.
Dampaknya pada Aktivitas Ekonomi Sehari-hari
Ketika kasus perekrutan palsu terjadi berulang-ulang, masyarakat semakin tidak percaya pada tawaran kerja—bahkan yang resmi.
Hal ini menimbulkan biaya transaksi tambahan, seperti waktu dan tenaga untuk mengecek legalitas agen, memverifikasi informasi, atau mencari sumber data yang akurat. Jika biaya transaksi meningkat, maka pasar tenaga kerja menjadi lambat, akses terhadap pekerjaan menyempit, dan mobilitas ekonomi terhambat.
Selain itu, sektor-sektor informal seperti warung makan, toko kelontong, hingga usaha transportasi lokal merasakan dampaknya. Semakin banyak orang yang pulang tanpa upah, semakin sedikit uang yang berputar di tingkat akar rumput.
Belajar dari Tiga Rujukan
Terdapat beberapa solusi kunci dari tiga rujukan utama:
1. IGPA Press
Perjelas status hubungan kerja, termasuk bagi pekerja informal.
Wajibkan kontrak standar meskipun pekerjaan bersifat harian atau sementara.
2. Indonesia Employment Outlook 2025
Perluas program skilling dan akses informasi lowongan kerja yang terpusat.
Perkuat sistem penempatan tenaga kerja antarprovinsi agar tidak mudah disalahgunakan.
3. Buku Suku PMI (BP2MI)
Wajibkan edukasi dasar di terminal, desa, dan kecamatan tentang tiga syarat sebelum berangkat: kontrak, legalitas, dan nomor kontak pengaduan.
Buat sistem QR check untuk memastikan agen perekrut resmi.
Pasar Kerja Kita Masih Rapuh
Kisah 13 warga Jawa Barat yang terlantar di Pontianak bukan hanya tragedi. Ia adalah sinyal keras bahwa pasar kerja Indonesia masih rapuh.
Berbagai rujukan dari IGPA Press, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BP2MI menunjukkan pola yang sama: semakin kabur kontrak, semakin timpang informasi, dan semakin terbatas kesempatan kerja formal, maka meningkatlah kerentanan pekerja.
Perbaikan sistem informasi kerja, penegakan hukum terhadap perekrut ilegal, serta literasi dasar mengenai kontrak menjadi langkah sederhana namun sangat penting. Dengan itu, janji kerja tidak lagi menjadi jebakan, melainkan benar-benar menjadi peluang ekonomi yang adil.
Daftar Pustaka
Buku
Hernawan, Ari, Arif Novianto, dan Anindya D. Wulansari, eds. Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia: Analisis terhadap Kondisi Pekerja Berstatus Mitra. IGPA Press, 2024.
Muhyiddin, Muhyiddin. Indonesia Employment Outlook 2025. Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan RI, 2024.
Kementerian Ketenagakerjaan, BP2MI, dan BPJS Ketenagakerjaan. Buku & Panduan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI/PMI). 2023–2024.
Berita
Hidayat, Fajar. “Janji Kerja Bodong 13 Warga Jabar Diselamatkan Polresta Pontianak.” Berita Borneo, 21 November 2025.
https://beritaborneo.com/main/janji-kerja-bodong-13-warga-jabar-diselamatkan-polresta-pontianak/ – :~:text=Janji%20Kerja%20Bodong%2013%20Warga%20Jabar%20Diselamatkan%20Polresta%20Pontianak%20%2D%20Berita%20Borneo
*Lira Virna Mahasiswa Akademik Keuangan dan Perbankan Kampus II Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo (Sam).


