MAJALAHDUTA.COM, FEATURED- Pada awalnya abad ke-18, periode yang dikenal sebagai Zaman Pencerahan (Aufklärung) menjadi zaman yang mengesankan dalam perkembangan ilmu pengetahuan manusia dan pengetahuan alam.
Ini adalah masa di mana manusia mulai melihat sejarah dan masa depan mereka dengan cara yang sama sekali berbeda.
Perkembangan kesadaran ini, yang dipicu oleh Zaman Pencerahan, mengubah pandangan manusia terhadap keagamaan dan keyakinan tradisional.
Menurut diskursus humanisme pada masa itu yang diwakili oleh filsuf Jerman Immanuel Kant, salah satu masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat pada Abad Pertengahan adalah kurangnya keberanian untuk berpikir secara independen di luar batasan dogmatisme agama dan otoritas yang melindunginya.
Pada masa itu, aturan-aturan politik yang ditegakkan dengan dalih agama menghasilkan tingkat ketaatan dan pengorbanan yang tinggi.
Mempertanyakan aturan-aturan sakral ini bukan hanya berisiko menyebabkan seseorang diancam kematian di dunia ini, tetapi juga dianggap berisiko membuat seseorang dihukum di akhirat.
Dalam konteks ini, humanisme ateis muncul sebagai reaksi terhadap pengalaman buruk ini.
Orang-orang mulai melihat konsep Tuhan atau kepercayaan kepada-Nya sebagai sesuatu yang membatasi dan menghambat otonomi manusia.
Menurut para ateis, ide tentang “Tuhan” harus dihapus dari kesadaran manusia. Namun, paradoksnya, untuk “membunuh” Tuhan, Tuhan harus ada dalam kesadaran manusia terlebih dahulu.
Ini menciptakan kontradiksi karena ateis, yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, tidak seharusnya berbicara tentang membunuh-Nya. Oleh karena itu, lebih tepatnya, ateis berupaya “menghapus” kesadaran tentang Tuhan.
Selain pendekatan sejarah, ada juga pendekatan epistemologis terhadap humanisme ateis yang ditemukan oleh Immanuel Kant.
Meskipun Kant tidak menolak kepercayaan kepada Tuhan, filsafatnya membuka jalan bagi para humanis setelahnya untuk menghilangkan konsep Tuhan sebagai realitas objektif.
Dalam karyanya yang terkenal, “Kritik terhadap Akal Murni” (Kritik der reinen Vernunft), Kant menganggap Tuhan sebagai ‘ide’ a priori dalam akal kita.
Dengan kata lain, Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di luar pikiran kita, tetapi bagian dari pemahaman kita, sebagai dasar penyusunan atau bahkan program yang tertanam dalam pikiran kita.
Para humanis “pembunuh Tuhan,” yang bisa kita sebut demikian, menghapus ide Tuhan sebagai sesuatu yang ada di luar pemikiran manusia dan membuat-Nya menjadi bagian dari pemikiran itu sendiri.
Dengan cara ini, Tuhan dipahami sebagai hasil konstruksi manusia.
Pada abad ke-19, filsuf Ludwig Feuerbach dengan tegas menyatakan bahwa teologi sebenarnya adalah antropologi.
Dalam keseluruhan, humanisme modern telah mengubah cara manusia melihat keberagamaan dan keyakinan.
Ia telah memindahkan konsep Tuhan dari realitas objektif menjadi sesuatu yang lebih bersifat subjektif dan kemanusiaan.
Ini adalah perkembangan signifikan dalam sejarah pemikiran manusia yang terus memengaruhi pandangan dunia kita hingga saat ini.
Editor: MajalahDUTA.Com
Sumber: Buku Humanisme dan Sesudahnya (F. Budi Hardiman)




