Thursday, December 25, 2025
More

    Relevansi Pajak Pertambahan Nilai di Tengah Revolusi Belanja Digital

    Duta, Pontianak | Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak lama menjadi tulang punggung penerimaan negara di Indonesia. Sebagai pajak konsumsi, PPN dirancang untuk memajaki nilai tambah atas barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam negeri, dengan beban akhir ditanggung oleh konsumen.

    Namun, lanskap ekonomi global telah berubah secara fundamental. Digitalisasi ekonomi dan pergeseran pola belanja masyarakat dari ruang fisik ke ruang digital memaksa negara untuk meninjau kembali efektivitas dan relevansi instrumen perpajakan yang selama ini digunakan, termasuk PPN.

    Ekonomi digital memerlukan batas-batas geografis dan menantang asumsi dasar sistem PPN tradisional yang bertumpu pada keberadaan fisik pelaku usaha. Transaksi kini dapat terjadi lintas negara, tanpa kantor, tanpa gudang, bahkan tanpa pertemuan fisik antara penjual dan pembeli.

    Dalam konteks ini, pertanyaan krusial muncul: apakah PPN masih relevan sebagai konsumsi pajak di era digital? Jawabannya bukan sekedar “ya”, melainkan “ya, dengan kebijakan adaptasi yang tepat”.

    Perubahan pola konsumsi digital setidaknya terjadi dalam dua bentuk utama. Pertama, konsumsi barang kena pajak (BKP) berwujud melalui platform e-commerce. Meskipun transaksi dilakukan secara online, barang tetap dikonsumsi secara fisik di dalam negeri.

    Oleh karena itu, secara prinsip, PPN atas barang tersebut tetap relevan dan sah dipungut. Tantangan utamanya bukan pada konsep pajaknya, melainkan pada administrasi dan pemenuhannya, terutama untuk transaksi lintas batas bernilai kecil serta penjual skala mikro yang beroperasi melalui marketplace. Platform penunjukan sebagai pemungut PPN menjadi solusi penting untuk menjaga efektivitas pemungutan pajak.

    Kedua, dan yang paling signifikan, adalah konsumsi jasa digital dan barang kena pajak tidak berwujud (BKPTB) seperti layanan streaming, komputasi awan, perangkat lunak, dan iklan digital.

    Layanan ini sering disediakan oleh perusahaan global tanpa kehadiran fisik di Indonesia. Jika tidak dikenai PPN, negara bukan hanya kehilangan potensi penerimaan, tetapi juga menghadapi distorsi persaingan yang serius. Penyedia jasa digital domestik wajib memungut PPN 11 persen, sementara penyedia asing bisa menawarkan harga lebih murah hanya karena celah regulasi. Situasi ini jelas bertentangan dengan prinsip netralitas pajak.

    Tantangan utama PPN di ranah digital dipecahkan pada tiga isu: penentuan lokasi konsumsi, dan kesetaraan usaha. Konsep tradisional yang mensyaratkan kehadiran fisik terbukti tidak memadai dalam ekonomi digital.

    Oleh karena itu, pendekatan economic nexus berdasarkan nilai transaksi atau jumlah pengguna menjadi keniscayaan. Selain itu, penentuan lokasi konsumsi jasa digital memerlukan indikator teknis seperti alamat IP, data pembayaran, dan informasi pelanggan, yang menuntut kerja sama dan kepatuhan tinggi dari penyedia layanan global.

    Menjawab tantangan tersebut, Indonesia mengambil langkah progresif melalui penerapan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE).

    Kebijakan ini memperoleh landasan hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta pengaturan teknis dalam PMK Nomor 60/PMK.03/2022. Melalui kebijakan ini, pemerintah menunjuk pelaku usaha PMSE, baik luar negeri maupun platform penyelenggara sebagai pemungut PPN atas konsumsi jasa dan barang digital di Indonesia.

    PPN PMSE menandai perubahan penting dari mekanisme lama yang mengandalkan penilaian mandiri konsumen ke mekanisme pemungutan suara langsung oleh penyedia layanan.

    Pendekatan ini jauh lebih efektif, terutama untuk konsumen akhir, dan sejalan dengan praktik internasional yang direkomendasikan OECD. Dengan memungut PPN di tempat konsumsi, PPN PMSE menegakkan prinsip destinasi, menciptakan level playing field antara pelaku usaha domestik dan asing, serta memperluas basis pajak negara.

    Meski demikian, tantangan ke depan tidak ringan. Munculnya ekonomi kreator, transaksi mikro, dan model bisnis peer-to-peer menuntut pengaturan PPN yang lebih adaptif dan spesifik.

    Selain itu, perbedaan kebijakan PPN digital antarnegara berpotensi menambah kompleksitas persyaratan bagi pelaku usaha global. Oleh karena itu, koordinasi internasional melalui kerangka OECD dan G20 menjadi kunci kerinduan sistem PPN di era digital.

    Pada akhirnya, relevansi PPN sebagai pajak konsumsi tetap kokoh, selama negara mampu beradaptasi dengan dinamika ekonomi digital. PPN PMSE menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang responsif dan berbasis prinsip keadilan, pajak tidak hanya mampu mengikuti perubahan zaman, tetapi juga tetap menjadi instrumen strategi dalam menjaga penerimaan negara dan keadilan ekonomi.

    Referensi:

    • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (beserta perubahannya).
    • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
    • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN PMSE.
    • OECD. (2017). Pedoman PPN/GST Internasional .
    • OECD. (2015). Proyek BEPS, Aksi 1: Mengatasi Tantangan Pajak Ekonomi Digital.

    *Oleh: Florensius Junior (Mahasiswa Akademi Keuangan dan Perbankan, Semester 3C)
    *
    Editor: Lusia Sedati S.E., M.Ak. (Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan)

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles