Tuesday, December 23, 2025
More

    Efisiensi, Etika, dan Kepercayaan

    Duta, Pontianak | Koordinasi dalam organisasi tidak semudah yang kita bayangkan.” Ia tidak bekerja seperti tombol yang sekali ditekan langsung berfungsi.

    Koordinasi lebih menyerupai air yang harus terus mengalir—apa pun situasinya, ia perlu dijaga agar tidak tersumbat. Dari pengalaman pribadi, saya melihat bahwa koordinasi bukan sekadar soal membagi tugas atau menyusun jadwal kerja, melainkan tentang merawat kehidupan bersama di dalam organisasi agar tetap harmonis dan dilandasi rasa saling percaya.

    Dalam pengertian ini, koordinasi adalah napas organisasi; tanpanya, bahkan struktur yang paling rapi pun akan kehilangan daya hidupnya.

    Koordinasi tidak seharusnya dipahami hanya sebagai proses administratif untuk menyelaraskan kegiatan. Ia adalah wahana yang menghubungkan manusia, struktur, tujuan, dan nilai-nilai organisasi.

    Organisasi bukanlah mesin birokrasi yang bergerak secara mekanis, melainkan kumpulan manusia yang hidup dengan harapan, emosi, dan keyakinan. Ketika koordinasi dijalankan semata-mata secara teknis—melalui SOP, hierarki, dan aturan formal tanpa sentuhan manusiawi—hasilnya sering kali tidak efisien dan justru menciptakan jarak antaranggotanya.

    Dalam konteks ini, menarik ketika koordinasi dikaitkan dengan pemikiran Aristoteles tentang manusia sebagai zoon politikon. Manusia hanya dapat mencapai kebaikan melalui kebersamaan. Dengan demikian, koordinasi dapat dipahami sebagai praktik kebajikan dalam kerja bersama.

    Sayangnya, dalam banyak organisasi modern, koordinasi sering direduksi menjadi kewajiban formal, bukan relasi etis yang saling menguatkan. Akibatnya, di balik struktur yang tampak rapi, relasi internal justru tidak sehat: saling menjatuhkan, kurang empati, dan miskin kepercayaan.

    Secara formal, mekanisme koordinasi memang mencakup hierarki, SOP, rapat, peran penghubung, serta dukungan teknologi informasi. Di era digital, teknologi membantu mempercepat arus informasi dan mempermudah kerja lintas unit. Namun, teknologi tetaplah alat.

    Brian Evergreen menegaskan bahwa teknologi seharusnya memanusiakan proses organisasi, bukan menggantikannya. Pandangan ini penting diingat oleh para pemimpin agar sistem digital tidak justru memperlebar jarak sosial di dalam organisasi.

    Di sinilah etika komunikasi menjadi kunci. Pemikiran Jürgen Habermas tentang tindakan komunikatif terasa sangat relevan. Koordinasi yang sehat hanya mungkin terjadi jika komunikasi dijalankan secara jujur, terbuka, dan saling memahami—bukan sekadar formalitas laporan.

    Tanpa kepercayaan, koordinasi mudah berubah menjadi paksaan. Banyak konflik organisasi sesungguhnya bukan disebabkan oleh struktur yang keliru, melainkan oleh cara berbicara dan cara mendengarkan yang tidak lagi setara.

    Koordinasi juga erat kaitannya dengan konsep rentang manajemen. Rentang manajemen merujuk pada jumlah bawahan yang dapat diawasi secara efektif oleh seorang pemimpin. Kualitas koordinasi sangat menentukan apakah rentang tersebut bisa luas atau harus sempit.

    Jika koordinasi berjalan baik, aliran informasi jelas, dan kepercayaan terbangun, seorang manajer dapat memimpin lebih banyak orang tanpa kehilangan kendali. Sebaliknya, koordinasi yang buruk membuat tim kecil sekalipun terasa berat, kacau, dan melelahkan secara emosional.

    Yang paling menyentuh dari cara pandang ini adalah pengingat bahwa organisasi bukan mesin, melainkan ekosistem moral. Koordinasi adalah upaya menciptakan keteraturan bersama, sedangkan rentang manajemen mencerminkan tingkat kepercayaan dan kedewasaan manusia dalam bekerja sama. Pandangan ini menjadi koreksi penting bagi gaya manajemen yang terlalu kaku dan hanya berorientasi pada angka, target, dan efisiensi semu.

    Dari pengalaman pribadi, koordinasi dan rentang manajemen memang seperti dua sisi mata uang. Koordinasi yang humanis dan rasional membuka ruang bagi rentang manajemen yang lebih luas namun tetap sehat, karena ditopang rasa saling percaya dan pemahaman bersama. Rentang manajemen yang matang, pada gilirannya, menunjukkan bahwa anggota organisasi telah cukup dewasa untuk bekerja tanpa pengawasan mikro yang berlebihan.

    Pada akhirnya, organisasi adalah ruang di mana rasionalitas manajerial dan refleksi etis harus berjalan beriringan. Koordinasi tidak cukup hanya efisien, tetapi juga harus bermakna.

    Rentang manajemen (rentang kendali) tidak sekadar berbicara tentang angka, melainkan tentang sejauh mana seorang pemimpin berani mempercayai timnya dan merangkul semua anggota tanpa mengasingkan siapa pun. Jika prinsip-prinsip ini benar-benar dihidupi, ruang organisasi tidak hanya menjadi tempat bekerja, tetapi juga ruang yang “hangat” dan manusiawi.

    Daftar Pustaka 

    Drucker, Peter F. Management: Tasks, Responsibilities, Practices. Rev. ed. New York: HarperBusiness, 2008.

    Evergreen, Brian. Autonomous Transformation: Creating a More Human Future in the Era of AI. Hoboken, NJ: Wiley, 2021.

    Everson, Stephen, ed. Aristotle: The Politics and the Constitution of Athens. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

    Habermas, Jürgen. Moral Consciousness and Communicative Action. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.

    Samuel. “Koordinasi Seperti Jembatan yang Harus Selalu Bernapas agar Organisasi Mengalir.” Pontianak Globe. Diakses 14 Desember 2025. https://www.pontianakglobe.com/pontianak-insights/71816405622/koordinasi-seperti-jembatan-yang-harus-selalu-bernapas-agar-organisasi-mengalir.

    Yukl, Gary. Leadership in Organizations. 8th ed. Boston: Pearson, 2013.

    *Nelly Christiany_Mahasiswa AKUB Pontianak GAK_Pengantar Manajemen, (Sam). 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles