Duta, Pontianak | Koordinasi dalam organisasi tidak lagi dapat dipahami sebagai struktur yang kaku dan mekanistis. Dalam konteks organisasi modern—terutama di era digital—koordinasi justru perlu dimaknai sebagai sebuah “jembatan yang bernapas” fleksibel, adaptif, dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang cepat.
Pandangan ini relevan dengan tuntutan zaman, ketika organisasi dituntut bergerak lincah tanpa kehilangan arah.
Kekuatan utama dari gagasan ini terletak pada analogi jembatan yang “bernapas”. Seperti jembatan, koordinasi berfungsi menghubungkan berbagai bagian organisasi, memungkinkan aliran informasi, serta mencegah fragmentasi kerja.
Namun, dengan tambahan makna “bernapas”, koordinasi tidak dipahami sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses yang hidup dan berkelanjutan. Hal ini menjadi kritik penting terhadap praktik organisasi—baik perusahaan maupun lembaga pemerintah—yang kerap terjebak dalam birokrasi kaku dan prosedural.
Koordinasi yang adaptif menegaskan bahwa organisasi bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan ruang interaksi manusia yang dinamis. Dalam kerangka ini, koordinasi tidak berhenti pada pembagian tugas formal, tetapi terus menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan, teknologi, dan tantangan eksternal. Pandangan ini sejalan dengan tuntutan manajemen modern yang menekankan kecepatan respons dan kemampuan belajar secara berkelanjutan.
Namun demikian, gagasan koordinasi yang “bernapas” juga memiliki kelemahan jika tidak dijabarkan secara operasional.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah bagaimana koordinasi yang fleksibel itu diterapkan dalam praktik? Apakah melalui rotasi tugas, pola komunikasi terbuka, kepemimpinan partisipatif, atau pemanfaatan teknologi kolaboratif seperti platform digital dan aplikasi manajemen proyek?
Tanpa penjelasan konkret, konsep ini berisiko berhenti sebagai refleksi filosofis tanpa daya guna praktis.
Lebih jauh, fleksibilitas dalam koordinasi juga mengandung risiko apabila tidak diimbangi dengan akuntabilitas yang jelas. Fleksibilitas tanpa kontrol dapat berujung pada kekacauan, tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya tanggung jawab.
Fenomena ini kerap terlihat dalam proyek-proyek besar, terutama di sektor publik, ketika semangat inovasi dan percepatan tidak diikuti oleh sistem pengawasan dan evaluasi yang memadai. Dalam situasi demikian, koordinasi yang “bernapas” justru berpotensi melemahkan kinerja organisasi.
Oleh karena itu, koordinasi adaptif seharusnya tidak meniadakan struktur, melainkan menata ulang hubungan antara fleksibilitas dan pengendalian. Struktur tetap diperlukan sebagai kerangka dasar, sementara fleksibilitas berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian. Di sinilah peran manajemen organisasi menjadi sangat krusial.
Manajemen organisasi pada dasarnya merupakan proses yang kompleks dan dinamis, yang menuntut pemahaman mendalam terhadap berbagai faktor internal dan eksternal.
Melalui pendekatan manajemen yang efektif, organisasi dapat mengoptimalkan sumber daya, merespons perubahan lingkungan, serta mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menuntut kepemimpinan yang kuat, komunikasi yang efektif, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan.
Peranan manajemen dalam mencapai efektivitas kerja manusia tidak dapat disangkal. Manajemen yang baik memungkinkan organisasi mengalokasikan sumber daya secara efisien sekaligus memaksimalkan potensi anggotanya.
Lebih dari sekadar mengatur tugas dan mengawasi proses, manajemen juga berfungsi memotivasi dan menginspirasi individu agar berkontribusi secara optimal. Dalam konteks ini, koordinasi yang “bernapas” hanya akan berhasil jika ditopang oleh kepemimpinan yang mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan bertindak dan tanggung jawab.
Dengan demikian, koordinasi adaptif bukanlah antitesis dari disiplin organisasi, melainkan evolusinya. Tantangan utama organisasi modern bukan memilih antara fleksibilitas atau kontrol, tetapi merancang sistem manajemen yang mampu mengintegrasikan keduanya secara seimbang. Hanya dengan cara inilah organisasi dapat bertahan dan berkembang di tengah dinamika perubahan yang semakin cepat.
Daftar Pustaka:
Agus. Permasalahan Praktek Good Governance dan Solusi Kebijakan dalam Rekrutmen serta Pengembangan Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Lombok Tengah. Naskah tidak dipublikasikan, 2012.
Agusyanto, R. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Ali, E. M. Kepemimpinan Integratif dalam Konteks Good Governance. Yogyakarta: Multicerdas Publishing, 2013.
Badeni. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta, 2013.
Badrudin. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta, 2013.
Bryson, John M. Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Chatab, Nevizond. Mengawal Pilihan Organisasi: Organization Theory, Design, and Structured Networks. Bandung: Alfabeta, 2009.
Daft, Richard L. Management. Edisi ke-12. Boston: Cengage Learning, 2018.
Mintzberg, Henry. Managing. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2009.
Robbins, Stephen P., dan Mary Coulter. Management. Edisi ke-13. Harlow: Pearson Education, 2016.
Samuel. Koordinasi Seperti Jembatan yang Harus Selalu Bernapas agar Organisasi Mengalir, Pontianak, PontianakGlobe.Com, 2025. Diakses pada: 14 Desember 2025. (Sumber Kuliah).
*Charoline Tita Kaimabo_Mahasiswa AKUB Pontianak GAK_Pengantar Manajemen – (Sam).


