MajalahDUTA.Com, Pontianak- Belajar dari perkembangan iman dari zaman rasul Paulus hingga perekembangan iman sampai ke seluruh dunia adalah sebuah titik bukti bahwa kuasa Allah menyertai perkembangan iman umatnya.
Penyebaran iman sampai pada tanah Borneo yang dimana kala itu misi khusus Hinda-Belanda diserahkan kepada Jesuit. Melihat geografi Indonesia yang beragam dan luas, akhirnya misi khusus Borneo diserahkan kepada Kapusin negeri Belanda.
Pasca diserahkannya tugas misi di Kalimantan (Borneo) kepada ordo Kapusin Provinsi negeri Belanda oleh Tahta Suci, kegiatan evangelisasi di Kalimantan tidak dapat dipisahkan dengan semangat Santo Fransiskus dari Assisi yang mengutamakan kerendahan hati, kemiskinan dan cinta kasih.
Baca juga: Menilik Jejak Sejarah Kongregasi Bruder MTB
Evangelisasi menyeluruh merupakan kekhasan karya misionaris Kapusin melalui teladan hidup, karya dan kata.
Maka, Gereja Katedral Santo Yosef Pontianak yang didirikan oleh misionaris Kapusin membawa umat untuk hidup seturut Injil dan menyalurkan kesejahteraan kepada masyarakat sebagai bentuk cinta kasih Kristus bagi umat manusia tanpa membeda-bedakan.
Status Gereja Katedral Pontianak
Gereja Katedral Santo Yosef Pontianak yang pada mulanya berstatus stasi kemudian berganti menjadi gereja induk misi di Kalimantan Barat dikarenakan letaknya yang strategis.
Setelah Prefek Pastor Pacificus secara resmi tinggal di Pontianak, Paroki Katedral Santo Yosef berperan sentral untuk karya misi yang mencakup seluruh Kalimantan.
Sebagai gereja paroki, kegiatan pembinaan umat dan pelayanan sakramental menjadi karya utama. Selain melaksanakan karya pastoral, gereja juga terlibat dalam karya amal dan sosial seperti mendirikan sekolah, asrama, dan rumah sakit.
Ingatan awal karya misionaris di Kalimantan
Baca Juga: Buah, Keutamaan dan Semangat dalam menyelami Spritualitas Bruder Maria Tak Bernoda (MTB)
Awal abad ke-16, kapal-kapal asing dari belahan Barat mulai intensif berlayar ke dalam perairan pulau Kalimantan. Bersamaan dengan para pendatang asing, datang pula para misionaris Katolik Portugis (ordo Theatijn) untuk evangelisasi.
Pater Antonius Ventimiglia berangkat dari pelabuhan Goa pada tanggal 5 Mei 1687.
2 Februari 1688 kapal yang ditumpangi Pater Ventimiglia berlabuh di perairan Banjarmasin. Dari sinilah dimulai misi Katolik berkarya di pulau Kalimantan.
Setelah sempat meninggalkan Kalimantan, Pater Ventimiglia kembali lagi pada tanggal 8 Januari tahun 1689 untuk memulai karya evangelisasinya.
Karya Misi di Kalimantan Barat
Pada tahun 1862, Pater van der Grinten berkeliling mengunjungi orang-orang suku Dayak di daerah pedalaman untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan untuk upaya misi masuk ke Kalimantan Barat.
Namun dikarenakan tenaga imam yang sangat sedikit, serta kondisi situasi politik di Kalimantan Barat yang diwarnai oleh perselisihan antara kongsi (komunitas demokratis di kalangan masyarakat Tionghoa), pemerintah Belanda, dan penguasa lokal (kesultanan), maka karya misi menjadi agak terhambat pada masa itu.
Baca Juga: Mulai Misi Parokial di Sambas dengan Sentuhan Kemanusiaan
Pada tanggal 7 Mei sampai dengan 12 Juli 1874, Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ, misionaris dari Batavia (Jakarta) mengunjungi Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Pemangkat, Singkawang & Montrado lalu mengangkat seorang katekis Tionghoa (sinsang) yang ditugaskan untuk mengajar agama Katolik pada masyarakat setempat.
Pada tahun 1855, Singkawang ditetapkan sebagai Stasi dengan cakupan wilayah ke Kalimantan Barat termasuk Belitung.
Pater W.J Staal, SJ yang ditetapkan sebagai pastor pertama Singkawang (kemudian ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Jakarta) mulai melayani umat dengan jumlah awal ± 200 orang Katolik Tionghoa yang berasal dari pulau Bangka.
Perjalanan yang sulit
Pater Staal menetapkan kampung Sebalau yang masuk wilayah stasi Singkawang sebagai basis utama pelayanan misi dan kemudian berlanjut menjangkau daerah pedalaman Sambas, Bengkayang dan daerah-daerah sekitarnya. Kawasan-kawasan lainnya seperti daerah sepanjang sungai Kapuas sampai Semitau, pemukiman masyarakat suku Dayak Rambai, Sebruwang dan Kantuk juga mendapatkan kunjungan dalam rangka pelayanan misi.
Namun dikarenakan perjalanan yang sulit (jarak tempuh yang jauh dan harus dilalui dengan transportasi air), kondisi-kondisi lainnya yang memperparah keadaan serta tenaga imam yang terbatas, penginjilan bagi suku-suku Dayak di pedalaman ditunda sampai dengan tahun 1888-1889.
Baca Juga: Secuplik Surat Tentang Kisah Misi di Borneo- Keuskupan Agung Pontianak
Pada tanggal 29 Juli 1890, Pater H. Looymans, pastor yang berkarya di Padang, tiba di Kalimantan Barat untuk melakukan misi yang ditugaskan padanya di pedalaman Kalimantan Barat. Pusat kegiatan misinya kemudian difokuskan di daerah Sejiram.
Buah karya penggelembalaan Pater H. Looymans adalah tujuh orang murid pertama dipermandikan dalam bulan Desember 1892 dan juga mempermandikan 40 orang di wilayah Nanga Badau.
Pada pertengahan 1892 Pater H. Looymans berupaya mengirim beberapa pemuda suku Dayak ke pulau Jawa untuk dididik menjadi guru dan katekis sebagai usaha mengatasi krisi tenaga.
Pada tahun 1884, para imam yang ada di Singkawang dan Sejiram ditarik dan dikirim ke Flores, mengingat karya misi di Kalimantan Barat dinilai tidak berjalan dengan baik.
Pada tanggal 18 Februari 1905, Prefektur Apostolik Borneo didirikan dan mencakup seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Prefektur ini dipercayakan kepada Ordo Kapusin dan para biarawan dari Ordo Kapusin Belanda bertugas untuk segera mengisi kekosongan karya misi di Kalimantan Barat.
Baca juga: Museum Kapusin, Pusaka Dayak & Tionghua di Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang
Pada tanggal 10 April 1905. Pastor Pacificus Bos, OFMCap ditunjuk sebgai Prefek Apostolik Borneo.
Pada tanggal 26 Mei 1905, Pastor Pacificus BOS, OFMCap sebagai Prefek Apostolik Borneo diterima oleh Bapa Suci Paus Pius X dalam audiensi di Roma dan ia mendapat berkat khusus dari Bapa Suci.
Pada tanggal 28 April 1905, ditetapkanlah para misionaris yang akan diutus untuk melakukan misi di Kalimantan Barat, antara lain: Pastor Pacificus Bos, OFMCap, Pastor Eugenius van Disseldrop, OFMCap, Pastor Beatus Baijens, OFMCap, Pastor Camillus Buil, OFMCap, Bruder Wilhelmus Verhulst, OFMCap dan Bruder Theodoricus van Lanen, OFMCap.
Pada 17 Oktober 1905, pukul 08:00, didahului dengan misa yang dipersembahkan oleh Pastor Pacificus Bos, ratusan masyarakat Tilburg & Walikota melepas para misionaris Kapusin Belanda menuju Kalimantan.
Pada tanggal 30 November 1905, sekitar pukul 15:00, mereka tiba di muara sungai Singkawang. Keesokan harinya diadakan misa kudus yang dipersembahkan oleh para misionaris yang baru tiba di Singkawang.
Selama melakukan pewartaan Kabar Baik di Singkawang, para misionaris ini ditemani oleh seorang katekis bernama Tshang A Kang yang telah 10 tahun melayani umat Katolik.
Dua tahun setelah kehadiran mereka di Singkawang, stasi-stasi baru mulai didirikan antara lain di Pemangkat dan Pelanjau, juga gereja-gereja kecil mulai dibangun di berbagai tempat. Secara berkala para misionaris mendatangi gereja-gereja tersebut untuk mempersembahkan misa dan mengajar.
Kronologis singkat misi di Pontianak
Di akhir tahun 1906, Pastor Beatus ditugaskan ke kota Pontianak untuk melihat kemungkinan melakukan karya misi dan kemudian diputuskan bahwa setiap tahun akan dikirim seorang imam untuk melayani umat di Pontianak.
Pada bulan Maret 1908, Pontianak ditetapkan oleh Pastor Pacificus sebagai bagian dari karya misi mereka karena letaknya yang sangat strategis sebagai tempat transit pergi dan pulang para misionaris Kapusin yang akan ke daerah pedalaman maupun sebaliknya.
Pada bulan Juni-Juli 1908, dalam kunjungannya ke Pontianak bersama dengan Bruder Wilhelmus Verhulst (melalui bantuan umat), Pastor Pacificus akhirnya dapat menyewa sebuah rumah di daerah pasar di tepi sungai Kapuas.
Baca Juga: Ulang Tahun Imamat Pastor Edmund C. Nantes, OP Dirayakan dengan Misa Syukur dan Santap Bersama
Rumah tersebut terdiri dari lantai bawah yang diisi dengan ruang doa, dan ruang pertemuan dengan umat sekaligus dijadikan tempat katekumen. Di bagian atas, tersedia pula sebuah kamar tidur yang dikhususkan bagi imam yang sedang bertugas di kota. Untuk melengkapi rumah itu, dibuat lagi sebuah ruang dapur dan kamar mandi.
Karena keterbatasan ruangan & belum adanya sebuah gereja, untuk sementara ruang besar Landraad (Kehakiman) dipinjam untuk melangsungkan perayaan Ekaristi yang setiap minggu dipenuhi oleh umat Katolik bangsa Eropa dan orang Tionghoa.
Pastor Remigius ditetapkan untuk melayani karya pastoral di wilayah ini.
Setelah berhasil menyewa rumah, Pastor Pacificus bermaksud untuk membangun gereja, tempat tinggal dan sekolah untuk para yatim piatu. Hal ini segera disampaikan kepada Asisten Residen van Pontianak yang langsung menyetujui gagasan tersebut.
Pada 4 Juli 1908, Pastor Pacificus mengirimkan berita kepada Provinsial Belanda tentang maksud pembelian tanah sekaligus mengundang Tshang A Kang dari Singkawang untuk datang dan membantu menawar harga tanah.
Baca juga: Paus Fransiskus mendorong jurnalis untuk selalu mencari kebenaran
Lanjut pada 14 Juli 1908, 3 (tiga) bidang tanah yang akan digunakan untuk gereja, pastoran dan tempat tinggal anak-anak yatim piatu berhasil dibeli dengan harga fl 2.230, juga sebidang tanah seharga fl 500 yang diperuntukkan bagi susteran (fl adalah mata uang Belanda yang digunakan pada saat itu).
Tepat pada 19 Juli 1908, Pastor Pacificus membeli 1 (satu) bidang tanah lagi yang dialokasikan untuk pekuburan.
Melalui bantuan Van Noort, arsitek militer pada pemerintahan Belanda, bangunan gereja stasi Pontianak didesain dengan ukuran 20 x 11 meter dan diestimasi memerlukan biaya pembangunan sebesar fl 8.000-fl 9.000.
Pada 21 Januari 1909, Pastor Pacificus resmi pindah dan menetap di Pontianak bersama Pastor Remigius dan Bruder Wilhelmus.
Baca juga: Paus meminta para Dominikan untuk menjadi yang terdepan dalam pewartaan kabar suka cita
Akhirnya pembangunan gereja Katolik pertama di Pontianak berhasil dirampungkan pada Desember 1909 yang ditandai dengan pemberkatan gedung gereja oleh Pastor Pacificus.
Setelah bangunan gereja telah rampung, bangunan tempat tinggal para suster dan pastor pun turut dirancang. Di akhir bulan Desember 1910, Pastor Pacificus, Pastor Remigius bersama para bruder pindah dari rumah kontrakan dan menetap di gedung samping pastoran.
Pada awal tahun 1911, pembangunan sekolah dimulai dan dibantu oleh para bruder Kapusin hingga pada 23 Februari 1913. Sekolah tersebut rampung dan diresmikan serta diberkati. Keesokan harinya, sebanyak 35 siswa mendaftar dan diterima.
Atas antusiasme yang cukup baik terhadap sekolah yang pertama, maka diputuskan untuk dibangun lagi sebuah sekolah yang dikhususkan bagi perempuan. Pada tanggal 3 Agustus 1913 gedung sekolah kedua tersebut rampung dan berhasil menerima 27 orang siswi. (Sumber: Dokumen Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Pontianak-Buku Sejarah Katedral Pontianak- diolah kembali: Samuel- Majalah DUTA).