Duta, Pontianak | Rajutan kerap dipandang sebagai aktivitas sederhana, bahkan dianggap ketinggalan zaman. Ia sering dilekatkan pada kerja tangan domestik yang jauh dari dunia modern dan industri kreatif.
Namun, jika dilihat melalui perspektif cultural capital atau modal budaya, rajutan justru dapat dipahami sebagai praktik sosial yang sarat makna. Rajutan bukan sekadar menghasilkan benda pakai, melainkan juga mencerminkan selera, identitas, serta cara individu memosisikan dirinya dalam struktur sosial.
Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa modal budaya mencakup pengetahuan, keterampilan, dan selera yang diperoleh melalui proses sosial yang panjang (Bourdieu 1984). Selera, dalam pandangan ini, tidak lahir secara alamiah, melainkan dibentuk oleh pengalaman hidup, lingkungan sosial, serta kebiasaan sehari-hari.

Dalam konteks ini, rajutan dapat dipahami sebagai bentuk modal budaya yang melekat pada individu. Keterampilan merajut bukan hanya menunjukkan kemampuan teknis, tetapi juga mencerminkan ketekunan, kepekaan estetika, dan preferensi tertentu yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Pemahaman ini membantu kita melihat bahwa ketertarikan terhadap rajutan sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya. Tidak semua orang memiliki selera yang sama terhadap produk rajutan.
Ada kelompok yang menghargai proses, keunikan, dan nilai tradisi di balik rajutan, sementara kelompok lain lebih memilih produk massal karena alasan kepraktisan, efisiensi, dan harga.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa rajutan tidak dapat diposisikan sebagai produk yang bersifat universal, melainkan sebagai praktik budaya yang penerimaannya bergantung pada selera dan habitus sosial individu.
Sassatelli (2012) menegaskan bahwa konsumsi tidak hanya berkaitan dengan penggunaan barang, tetapi juga dengan makna yang dilekatkan pada barang tersebut. Produk rajutan—terutama yang dibuat secara handmade—sering dipahami sebagai simbol keaslian, kepedulian terhadap lingkungan, dan sikap kritis terhadap budaya konsumsi massal.
Oleh karena itu, rajutan kerap dipilih sebagai bagian dari gaya hidup tertentu yang dianggap lebih sadar, beretika, dan bernilai. Namun, makna semacam ini hanya dapat dipahami dan dihargai oleh individu yang memiliki latar budaya serta selera yang sejalan.
Sejalan dengan itu, Ng dan Lee (2015) menekankan bahwa budaya memiliki peran penting dalam membentuk perilaku konsumen. Dalam konteks rajutan, konsumen tidak semata-mata membeli produk akhir, tetapi juga menghargai cerita di baliknya—mulai dari proses pembuatan, nilai tradisi yang dibawa, hingga identitas pembuatnya.
Rajutan sering dipersepsikan sebagai produk yang memiliki nilai emosional dan personal, sehingga penerimaannya sangat bergantung pada bagaimana individu memberi makna terhadap proses dan nilai budaya yang menyertainya.
Dengan demikian, rajutan memperlihatkan secara jelas bagaimana selera berperan dalam pembentukan identitas sosial. Pilihan terhadap produk rajutan tidak hanya mencerminkan preferensi personal, tetapi juga menjadi cara individu menampilkan dirinya di ruang sosial.
Melalui rajutan, individu menegaskan posisi simboliknya—apakah ia ingin dilihat sebagai bagian dari budaya konsumsi cepat atau sebagai subjek yang menghargai proses, tradisi, dan nilai keberlanjutan.
Pada akhirnya, rajutan tidak dapat dipahami hanya sebagai aktivitas kerajinan tangan. Rajutan merupakan bentuk modal budaya yang beroperasi dalam ranah sosial dan simbolik.
Ia berperan dalam membentuk cara individu menilai, memilih, dan memberi makna pada suatu produk. Dalam konteks ini, rajutan menjadi medium penting untuk memahami relasi antara selera, identitas, dan posisi sosial dalam masyarakat kontemporer.
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Ng, Sharon, dan Angela Y. Lee. 2015. Handbook of Culture and Consumer Behavior. Oxford: Oxford University Press.
Sassatelli, Roberta. 2012. Consumer Culture: History, Theory and Politics. London: SAGE Publications.
Kurniawan, Yendi dan Samuel 2025. “Modal Budaya, Marketing, dan Kamera.” Majalah Duta.
*Klaudia Lestari_Mahasiswi AKUB Pontianak GAK_Pengantar Manajemen.(Sam).




