Wednesday, December 24, 2025
More

    Ketika Bahasa Menjadi Jalan Perjumpaan

    Duta, Landak | Refleksi Natal Tentang Pendidikan Di Negeri Multibahasa. Nisa sebenarnya tahu apa yang ingin ia katakan dalam presentasinya kelas Metodologi Penelitian.

    Beberapa menit sebelum presentasi, ia berbicara dengan penuh semangat dalam diskusi kelompok kecilnya. Ide brilian untuk penelitiannya mengalir lancar dalam diskusinya. Kadang ia menggunakan sedikit istilah dalam Bahasa Inggris, kebanyakan dalam Bahasa Indonesia, dan kadang bahasa Ahe yang merupakan bahasa yang sejak kecil ia pakai untuk berpikir dan memahami dunia. Teman-temannya mengangguk tanda menyetujui. Mereka paham.

    Namun ketika ia berdiri di depan kelas, di bawah aturan tak tertulis English only, semuanya berubah. Kata-kata yang tadi terasa dekat mendadak menjauh. Pikirannya penuh, tetapi lisannya kosong. “I think the methodology that I choose is…… hmmmm….”  Kalimat itu menggantung. Ruang kelas menjadi senyap bak sedang menonton film horror. Teman-teman menatap dengan tidak sabar karena ingin sekali mendengar kelanjutan kalimat yang akan dipaprkan oleh Nisa.

    Dalam suasana Natal, kisah kecil seperti ini terngiang kembali dan mengingatkan kita bahwa terang sering hadir melalui kerapuhan. Natal bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang Sang Maha Luar Biasa Allah yang memilih hadir dalam ragam bahasa manusia, dengan segala keterbatasannya.

    Terang tidak datang dengan menghapus kelemahan, tetapi dengan menyertainya untuk menggaungkan makna melalui keragaman bahasa yang menjadi identitas sosial bangsa Indonesia yang multikultur.

    Di banyak kelas bahasa Inggris kita, kesulitan belajar sering kali diperberat oleh batas-batas bahasa yang sebenarnya tidak perlu. Selama bertahun-tahun, pengajaran bahasa Inggris dibangun atas asumsi bahwa belajar akan lebih efektif jika hanya satu bahasa yang digunakan.

    Bahasa Inggris ditempatkan sebagai satu-satunya medium yang sah. Ketika pendekatan ini dikritik, muncullah model bilingual. Namun, kebijakan dan praktik di lapangan masih kerap menyingkirkan bahasa-bahasa lain yang hidup bersama peserta didik. Padahal kalau kita tilik kembali, warga negara Indonesia sudah sejak lahir adalah bangsa multibahasa dengan ragam suku dan budayanya.

    Di Pontianak, Singkawang, Landak, atau wilayah pedalaman Kalimantan Barat, seorang mahasiswa tumbuh dengan Bahasa Daerah (Bahasa Dayak dan Melayu) sebagai bahasa rumah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang bahkan malu untuk digunakan diluar kampus karena takut dianggap terlalu penuh gaya.

    Tentang Penulis: Dr. Antonius Setyawan Sugeng Nur Agung, M.Hum. adalah dosen Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo, Kalimantan Barat. Baginya, pendidikan adalah panggilan untuk memanusiakan manusia yang bisa membantu mahasiwa-i menemukan suara, makna, dan harapan melalui proses belajar yang berbelarasa.

    Perpindahan dan pengalihan antarbahasa ini terjadi secara alami dan mengalir natural seperti ketika memahami cerita, menjelaskan gagasan, atau berbagi pengalaman. Ironisnya, kecakapan ini sering diminta berhenti justru ketika siswa memasuki ruang kelas bahasa Inggris.

    Natal mengajarkan bahwa perjumpaan sejati selalu dimulai dari pengakuan akan manusia apa adanya. Maka pertanyaan ini menjadi penting: Apakah belajar bahasa Inggris harus mengorbankan bahasa lain yang telah lebih dulu membentuk cara seseorang dalam berpikir dan merasa?

    Kajian pendidikan bahasa menawarkan jawaban melalui konsep “Translanguaging”. Para ahli menjelaskan bahwa penutur multibahasa menggunakan seluruh repertoar bahasanya sebagai satu kesatuan untuk berpikir dan belajar.

    Kemampuan untuk “memindah-alihkan ragam bahasa” bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kecakapan kognitif dalam berkomunikasi. Bahasa-bahasa yang digunakan mahasiswa-i seharusnya berfungsi sebagai jembatan untuk membangun pemahaman, bukan sebagai gangguan.

    Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini tampak nyata dalam praktik kelas mengingat berbahasa adalah praktek sosial.

    Bahasa bersama (Indonesia) dan bahasa rumah (Daerah) kerap digunakan untuk memperjelas makna, membangun keberanian, dan menciptakan rasa aman belajar, sebelum siswa kembali mengekspresikan serta menyederhanakan pemahaman lebih komplek ke dalam bahasa asing (Inggris).

    Bahasa Inggris tetaplah penting dan tetap menjadi tujuan apalagi bagi mahasiswa-i jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Namun, jalan menuju ke sana tidak harus sesempit dan sekaku pembelajaran satu bahasa (monolingual).

    Strategi Trasnlanguaging yang memindah-alihkan ragam bahasa ini mencerminkan pedagogi yang berbelarasa untuk memberi ruang bagi proses belajar; bukan hanya sekadar menuntut hasil.

    Mahasiswa-i diajak bertumbuh secara utuh dan penuh dengan menggunakan seluruh kemampuan sosial alaminya yang multikultural. Dalam konteks ini, bahasa menjadi sarana perjumpaan, bukan alat pemisah dan pembatas. Dalam penggunaan campuran ragam bahasa, kita percaya bahwa semua bahasa menyuarakan makna yang layak didengar.

    Menariknya, banyak pendidik baik guru maupun dosen di Indonesia sebenarnya telah mempraktikkan strategi semacam ini, meski sering tanpa legitimasi kebijakan yang legit. Praktik tersebut hidup di ruang-ruang kelas dan sungguh menghidupkan suara dalam kelas tersebut.

    Sayangnya, seringkali strategi ini terbentur oleh peraturan dalam ruang akademik karena mengejar output yang monolingual. Namun, Natal mengingatkan kita bahwa yang kecil dan tersembunyi sering kali justru menyimpan makna besar selayaknya batu penjuru.

    Kekhawatiran bahwa strategi multibahasa akan melemahkan kemampuan bahasa Inggris kerap muncul dan membuat resah karena menimbulkan kontroversi. Namun pengalaman bahkan penelitian terkini menunjukkan sebaliknya.

    Ketika peserta didik diberi ruang untuk membangun makna melalui ragam bahasa yang mereka kuasai, pemahaman menjadi lebih dalam. Ketika mereka kembali ke bahasa Inggris, ungkapan akademiknya justru lebih jernih dan bermakna.

    Bahasa Inggris pun hadir sebagai alat perjumpaan lintas budaya, bukan sebagai simbol jarak dan keterasingan ataupun ketakutan. Strategi memindah-alihkan multibahasa inilah yang memberi ruang teduh bagi perubahan tersebut.

    Kembali ke kelas Nisa.

    Kini dosennya akhirnya memberi cukup ruang. Nisa diizinkan berdiskusi singkat dengan temannya menggunakan Bahasa Indonesia, menyelipkan kembali beberapa kata dalam bahasa Ahe untuk menjelaskan konsep yang rumit agar lebih sederhana dan bermakna untuk diterima.

    Setelah itu, ia diminta menyampaikan kembali intinya dalam bahasa Inggris. Kali ini, semua menjadi berbeda, ia berbicara dengan penuh keyakinan. Kalimatnya memang belum sempurna, tetapi jelas dan bisa dimengerti teman-teman sekelasnya. Dia tidak lagi takut berbicara. Bahasa Inggrisnya kini terasa hidup.

    Dalam keberanian kecil yang Nisa tampilkan itu, kita melihat bahwa bahasa dapat menjadi jalan perjumpaan, bukan tembok yang memisahkan.

    Seperti Natal yang mengingatkan kita bahwa Sang Sabda “Menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1:14). Terang itu tidak memaksa, tetapi menjumpai; tidak menghakimi, tetapi berbelarasa.

    Maka pendidikan yang didalamnya termasuk pendidikan bahasa, kini dipanggil untuk meneladan jalan yang sama yaitu untuk menghargai bahasa-bahasa manusia apa adanya, agar setiap mahasiswa-i dapat bertumbuh, menemukan suara, dan berjalan menuju kepenuhan makna sebagai manusia utuh yang terus bertumbuh.

    Di negeri Indonesia yang sejak lahir menghadirkan keragaman multibahasa secara kultur, inilah jalan pendidikan yang setia pada semangat Natal untuk lebih rendah hati, lebih manusiawi, dan penuh harapan.

    Bahan Rujukan:

    Tulisan ini terinspirasi dari berbagai studi tentang pembelajaran bahasa di konteks multibahasa yang menyoroti pentingnya menggunakan bahasa sebagai alat perjumpaan, bukan penghalang.

    Ide ini didukung oleh pengalaman dan penelitian di kelas-kelas di Indonesia serta pemahaman bahwa bahasa Inggris di Asia berfungsi sebagai sarana komunikasi lintas budaya. Refleksi Natal dalam artikel ini berlandaskan pada pesan Injil Yohanes (1:14), yang mengingatkan bahwa Sang Sabda hadir dalam bahasa manusia, mengajak pendidikan untuk memanusiakan, menyertai, dan menumbuhkan harapan.

    Ucapan Terima Kasih:

    Tulisan ini lahir dari proses belajar yang panjang. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan teladan dari Prof. Ashadi, M.Hum., Ed.D. serta Prof. Dr. Margana, M.Hum., M.A. selama masa studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta.

    *Antonius Setyawan Sugeng Nur Agung- Dosen FKIP San Agustin. 

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles