Duta, Pontianak | Setiap kali kita membuka berita, rasanya selalu ada kisah baru tentang seorang anak atau remaja yang menjadi korban bullying. Fenomena ini bukan hal asing—bahkan terlalu akrab—di telinga masyarakat Indonesia.
Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, perundungan menjadi bayang-bayang gelap yang terus menghantui dunia pendidikan kita. Yang menyedihkan, praktik ini tidak kunjung surut meski berbagai kampanye dan program pencegahan telah bergulir bertahun-tahun.
Belum lama ini, publik kembali diguncang oleh kasus di Universitas Udayana, Bali. Seorang mahasiswa kehilangan nyawanya akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya sendiri.
Kejadian tragis ini seperti alarm keras yang memaksa kita bercermin: bahwa bullying bukan lagi persoalan “canda berlebihan” atau “kenakalan remaja”. Ia adalah bentuk kekerasan nyata—dan mematikan. Kemungkinan bahwa seorang mahasiswa, yang sudah dianggap matang secara kognitif dan emosional, masih bisa menjadi korban perundungan fatal, menunjukkan bahwa masalah ini tidak mengenal batas usia, jenjang pendidikan, atau status sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari pelajar, bullying dapat hadir dalam berbagai rupa. Bentuk yang paling mudah dikenali adalah kekerasan fisik—tamparan, tendangan, pukulan, atau bahkan perusakan barang-barang pribadi.
Namun, kita semua tahu bahwa tidak semua luka tampak secara kasat mata. Bullying verbal melalui hinaan, ejekan, atau panggilan nama yang merendahkan justru jauh lebih sering terjadi.
Ada pula bullying relasional—pengucilan, pengabaian, atau upaya merusak reputasi seseorang secara diam-diam—yang sering kali tidak disadari guru maupun orang tua. Dan di era digital seperti sekarang, cyberbullying menjadi monster baru: pesan penuh kebencian, ancaman, atau unggahan yang mempermalukan seseorang dapat menyebar tanpa batas ruang dan waktu.
Keempat bentuk perundungan ini tidak berdiri sendiri. Mereka saling bertautan, saling memperkuat, dan pada akhirnya menciptakan pola kekerasan sistematis yang sulit dihentikan. Ia bukan sekadar ledakan emosi sesaat, tetapi relasi kuasa maksudnya seseorang merasa lebih kuat dan memanfaatkan posisi tersebut untuk mengintimidasi yang dianggap lebih lemah.
Jika kita bertanya apa yang menyebabkan bullying terus terjadi, jawabannya tidak sederhana. Faktor-faktornya saling tumpang tindih dan berakar pada pengalaman sosial yang berbeda.
Laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pelaku atau korban, meski bentuk perundungan yang muncul bisa berbeda. Perundungan juga kerap meningkat pada usia remaja awal, ketika identitas sosial mulai dibentuk dan persaingan status menjadi semakin tajam.
Perbedaan etnis, status sosial ekonomi, hingga penampilan fisik sering menjadi pemicu. Anak dengan obesitas, perawakan tertentu, atau ciri fisik yang berbeda lebih sering menjadi sasaran.
Mereka yang memiliki harga diri rendah pun lebih rentan diintimidasi. Popularitas sosial juga memberi ruang bagi praktik perundungan—yang populer bisa menindas untuk mempertahankan posisi, sementara yang tidak populer dianggap “aman” untuk dijadikan target dan yang jarang dibicarakan, anak dengan hambatan fisik atau mental jauh lebih rentan menjadi korban karena dianggap “berbeda”.
Kita harus menerima kenyataan bahwa bullying tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dalam lingkungan sosial yang buruk, pengawasan yang lemah, dan budaya yang membiarkan kekerasan sebagai bagian dari dinamika pergaulan.
Dampaknya? Jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Banyak korban bullying memendam kesedihan berkepanjangan dan merasa tak berdaya menghadapi situasi.
Perasaan rendah diri bisa berubah menjadi depresi, kecemasan, atau bahkan trauma serius. Sering kali, korban juga kehilangan kemampuan untuk mempercayai orang lain, yang akhirnya menghambat kemampuan mereka bersosialisasi.
Beberapa menjadi sangat takut berada di lingkungan sekolah, hingga menolak untuk berangkat. Dalam kasus tertentu, tekanan psikologis ini bisa mendorong korban mengambil langkah ekstrem untuk mengakhiri hidupnya.
Itu sebabnya bullying harus dipandang sebagai kejahatan serius. Secara hukum, tindakan yang menyebabkan cedera, kekerasan, atau terlebih lagi kematian, dapat dijerat dengan pasal pidana.
Namun, selama regulasi tidak memiliki gigi, dan selama praktik bullying dianggap “hal biasa”, kita hanya akan terus menyaksikan korban-korban baru muncul setiap tahun.
Banyak pakar menekankan pentingnya regulasi yang lebih tegas dan sistematis. Mekanisme pelaporan harus dibuat aman bagi korban.
Sanksi bagi pelaku harus jelas dan proporsional. Sekolah perlu memiliki aturan yang bukan hanya tertulis, tetapi ditegakkan tanpa pandang bulu, yang sama pentingnya adalah intervensi psikologis—baik untuk korban maupun pelaku—karena keduanya sama-sama membutuhkan pendampingan.
Deteksi dini pun menjadi kunci instrumen untuk mengidentifikasi risiko bullying harus diterapkan agar sekolah dapat mengintervensi sebelum kekerasan terjadi.
Pada akhirnya, kita harus bertanya dengan jujur bahwa benarkah sekolah kita sudah menjadi tempat paling aman bagi anak-anak? Atau justru, tanpa kita sadari, sekolah menjadi arena ketakutan di mana kekerasan dibiarkan tumbuh diam-diam?
Bullying tidak boleh dianggap sebagai bagian “normal” dari kehidupan sekolah. Ia adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara kita mendidik, membina, dan mengasuh anak-anak kita.
Ini bukan hanya tugas guru, bukan hanya tanggung jawab orang tua, dan bukan hanya persoalan pemerintah. Ini adalah pekerjaan kolektif kita sebagai masyarakat.
Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi muda, maka menciptakan lingkungan pendidikan yang aman adalah langkah pertama yang tidak bisa ditawar.
Tanpa itu, masa depan mereka akan terus dibayangi trauma, ketakutan, dan kehilangan kepercayaan terhadap dunia yang seharusnya menjadi ruang tumbuh yang penuh harapan.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Retno Twistiandayani, Natalia Christin Tiara Revita. Faktor Personal, Keluarga, Sekolah, dan Dampak Perilaku Bullying pada Remaja. Monograf. 2024.
http://elibs.unigres.ac.id/3204/1/Buku%20monograf%20bullying%20.pdf.
Putri, Shanty Hermalia, dan Zulkarnain. “Kejahatan Perundungan Menyebabkan Kematian Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam.” 2025.
file:///C:/Users/Bintang/Downloads/16781685+Shanty+Hermalia+Putri1,+Zulkarnain2%20(2)%20(3).pdf.
Sumber Daring
Kompas.com. “Menteri HAM Temui Rektor Universitas Udayana Bahas Kasus Timothy.” 24 Oktober 2025.
https://denpasar.kompas.com/read/2025/10/24/151323878/menteri-ham-temui-rektor-universitas-udayana-bahas-kasus-timothy.
*Marselina Anjelina – Mahasiswi Akademi Keuangan dan Perbankan Grha Arta Khatulistiwa, San Agustin (Sam).


