Duta, San Agustin | Hari ini, Senin, 24 Februari 2025, menandai perjalanan 2,42 tahun sekelompok mahasiswa San Agustin tinggal di tanah Kanayant.
Mereka berasal dari Noyan, suku Dayak Bisomu, dan datang ke wilayah ini untuk menempuh pendidikan tinggi.
Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan proses adaptasi yang penuh tantangan. Dari perbedaan bahasa, kebiasaan, hingga norma sosial, mereka mengalami berbagai bentuk culture shock selama tinggal di wilayah Dayak Kanayant.
Adaptasi di tanah perantauan tidak selalu mudah. Sebagai pendatang, mahasiswa ini harus menghadapi perubahan besar dalam lingkungan, budaya, dan kebiasaan sosial yang sangat berbeda dari kampung halaman mereka.
Artikel ini akan mengulas pengalaman mereka, dari tantangan awal hingga bagaimana mereka mengatasi culture shock tersebut dan menjadikan pengalaman ini sebagai bagian dari pembelajaran hidup.
Pengalaman Mahasiswa Dayak Bisomu
Ketika pertama kali tiba di wilayah Kanayant, para mahasiswa dari Noyan merasakan berbagai perbedaan yang membuat mereka harus beradaptasi dengan cepat.
Berikut beberapa pengalaman yang mereka bagikan.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
“Beberapa penjaga warung atau pemilik toko di sini lebih sering berbicara dalam bahasa daerah mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Ini membuat saya sering kebingungan ketika ingin membeli sesuatu atau sekadar berbincang. Awalnya saya merasa canggung dan bingung, tapi lama-kelamaan saya mulai memahami beberapa kosakata dasar agar lebih mudah berkomunikasi.”
Bahasa adalah salah satu tantangan utama yang dialami Herly.
Meski sama-sama berasal dari rumpun Dayak, dialek dan kosakata Kanayant berbeda dengan bahasa yang digunakan di Noyan.
Kesulitan ini membuatnya merasa kurang percaya diri dalam berkomunikasi, tetapi dengan berjalannya waktu, ia mulai memahami beberapa frasa dasar yang membantunya beradaptasi.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika
“Dialek bahasa Dayak Kanayant cukup berbeda dan terdengar lebih tegas dibanding bahasa yang saya gunakan di kampung halaman. Awalnya, saya sering merasa tersinggung karena nada bicaranya terdengar kasar. Tapi setelah memahami pola komunikasi mereka, saya sadar bahwa itu hanya perbedaan gaya berbicara.”
Selain bahasa, cara komunikasi juga menjadi tantangan tersendiri. Logat Kanayant lebih tegas dan bagi yang belum terbiasa, bisa terasa lebih keras atau kasar.
Kerin sempat merasa tidak nyaman di awal, tetapi setelah berinteraksi lebih banyak, ia menyadari bahwa itu hanyalah perbedaan dalam gaya komunikasi dan bukan tanda ketidaksopanan.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi
“Awalnya, Kanayant terasa sangat eksotis bagi saya. Alamnya hijau, udaranya segar, dan orang-orangnya ramah. Tapi semakin lama saya tinggal, semakin saya menyadari betapa banyaknya perbedaan budaya yang harus saya adaptasi.”
Logat dan bahasa Kanayant sangat berbeda dari yang biasa digunakan di Noyan.
Banyak istilah yang tidak familiar, dan sering kali Ita merasa bingung saat berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Ia berusaha belajar sedikit demi sedikit agar dapat memahami percakapan sehari-hari.
Dayak Kanayant memiliki banyak adat dan kebiasaan yang unik. Salah satunya adalah cara mereka menyambut tamu serta aturan-aturan dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lebih tua. Di awal, Ita sering takut melakukan kesalahan dalam berperilaku, tetapi dengan banyak mengamati dan bertanya, ia mulai memahami norma-norma sosial yang berlaku.
Di kota, Ita terbiasa menghabiskan waktu luang dengan nongkrong di kafe atau menonton film di bioskop. Namun, di Kanayant, hiburan lebih sederhana.
Biasanya, masyarakat menghabiskan waktu dengan berkumpul di warung kopi atau mengikuti acara adat. Awalnya, hal ini terasa membosankan, tetapi setelah beberapa waktu, ia mulai menikmati interaksi sosial yang lebih erat dengan masyarakat setempat.
Culture Shock
Culture shock yang dialami para mahasiswa ini tidak hanya sebatas kesulitan berkomunikasi, tetapi juga memengaruhi emosi dan pola pikir mereka dalam menjalani kehidupan di perantauan.
Banyak dari mereka yang sering merasa rindu dengan keluarga, teman, serta makanan khas yang biasa mereka makan di rumah. Suasana di Kanayant yang berbeda semakin memperkuat rasa rindu tersebut, terutama di momen-momen tertentu seperti perayaan adat atau hari besar keagamaan.
Di awal, banyak dari mereka yang merasa seperti orang asing di lingkungan baru. Mereka tidak memiliki banyak teman dan belum memahami pola kehidupan masyarakat setempat. Namun, seiring waktu, mereka mulai membuka diri dan ikut serta dalam kegiatan komunitas, sehingga perlahan-lahan perasaan terasing itu berkurang.
Menghadapi begitu banyak perbedaan dalam waktu singkat membuat beberapa dari mereka mengalami stres. Tidak jarang mereka merasa bingung harus bagaimana bersikap agar bisa diterima di lingkungan baru. Beberapa dari mereka bahkan sempat merasa ingin menyerah dan pulang ke kampung halaman.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, pengalaman ini justru menjadi pembelajaran berharga. Mereka belajar untuk lebih sabar, memahami perbedaan, dan menemukan cara untuk menyesuaikan diri. Mereka juga menjadi lebih mandiri dalam menghadapi berbagai situasi yang tidak familiar.
Bagaimana Mereka Mengatasi Culture Shock?
Setelah 2,42 tahun tinggal di Kanayant, para mahasiswa ini mulai menemukan cara untuk menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan lingkungan baru.
- Belajar Bahasa dan Budaya Lokal Mereka mulai mempelajari beberapa frasa dasar dalam bahasa Dayak Kanayant agar lebih mudah berkomunikasi dengan masyarakat setempat.
- Membangun Hubungan dengan Penduduk Lokal Dengan mengikuti acara adat, kegiatan sosial, serta menjalin pertemanan dengan warga setempat, mereka semakin memahami cara hidup di Kanayant dan merasa lebih diterima.
- Mengubah Pola Pikir Mereka mulai melihat perbedaan budaya bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Dengan berpikir lebih terbuka, mereka bisa menikmati pengalaman ini dengan lebih baik.
- Mengembangkan Kemandirian Menghadapi tantangan hidup di tempat baru membuat mereka lebih mandiri, baik dalam mengurus diri sendiri maupun dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.
Culture shock merupakan pengalaman yang umum terjadi bagi siapa pun yang tinggal di lingkungan baru dengan budaya yang berbeda.
Bagi mahasiswa Dayak Bisomu yang telah tinggal di Kanayant selama 2,42 tahun, pengalaman ini penuh tantangan tetapi juga memberikan banyak pelajaran berharga.
Melalui perjalanan ini, mereka belajar tentang kesabaran, toleransi, dan pentingnya keterbukaan terhadap budaya lain.
Mereka juga menyadari bahwa meskipun ada banyak perbedaan, selalu ada cara untuk menemukan kesamaan dan menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar.
Pada akhirnya, culture shock bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan peluang untuk tumbuh dan memahami dunia dengan lebih luas. Dengan keberanian dan tekad, mereka berhasil beradaptasi dan menjadikan pengalaman ini sebagai bagian penting dalam perjalanan hidup mereka. (Helbi Tutui, PMAT).




