Thursday, April 17, 2025
More

    Inkulturasi Simbol-Simbol Dalam Upacara “Nyangahatn” Masyarakat Dayak Kanayatn Dalam Liturgi Gereja Katolik

    Oleh: Fr. Petrus Junisco / OFM CAP

    MajalahDUTA.com, Pontianak – Frater Petrus Junisco Timorda Dim dari persaudaraan Saudara Dina Kapusin Propinsi Pontianak yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat dan Teologi di Sinasak. Menulis artikel yang berjudul “Inkulturasi Simbol-Simbol Dalam Upacara “Nyangahatn” Masyarakat Dayak Kanayatn Dalam Liturgi Gereja Katolik”.

    Abstrak

    Manusia merupakan insan yang membudaya. Mereka hidup dalam kebudayaan sekaligus mencipta kebudayaan. Kebudayaan muncul karena hasil daya pikir manusia dan dimaterialisasi menjadi unsur-unsur yang merekat dalam kehidupan yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi suatu kebudayaan yang bernilai. Dalam suatu kebudayaan tertentu terdapat banyak simbol-simbol yang mengungkapkan makna terdalam bukan hanya apa yang tampak saja. Simbol merupakan unsur terdalam dari suatu kebudayaan. Dalam Gereja Katolik pun terdapat banyak simbol yang menjadi terang untuk menjelaskan misteri keselamatan Allah dalam semua tindakan liturgis Gereja. Tindakan liturgis itu tampak dalam inkulturasi antara kebudayaan dengan liturgi dalam setiap ibadat maupun ritus tertentu. Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, banyak inkulturasi yang tejadi dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat setempat, salah satunya adalah upacara Nyangahatn.

    Kata kunci: budaya, simbol, liturgi, upacara Nyangahatn, inkulturasi.

    Pendahuluan

    Kebudayaan lahir disebabkan karena adanya subjek pendorong terciptanya kebudayaan tersebut. Manusia merupakan subjek fundamental yang memunculkan kebudayaan berkat hasil daya pikir yang diolah sedemikian rupa sehingga membentuk pola pikir dan tindakan yang disepakati bersama dalam suatu kolektif masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Kebudayaan tidak akan ada jikalau tidak ada manusia. Manusia harus mendapat posisi pertama sebagai pendorong terciptanya kebudayaan selain alam semesta. Manusia mampu merefleksikan makna terdalam dari pengalaman-pengalamannya. Hasil refleksi tersebut diberi nilai, sehingga berlaku untuk semua masyarakat yang mempercayai pengalaman tersebut menjadi suatu kebudayaan.

    Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki kebudayaan yang beraneka ragam pula. Kebudayaan dibangun atas dasar simbol-simbol. Tidak ada kebudayaan yang tidak memiliki simbol. Dengan kata lain, simbol merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. Kebudayaan tersebut hanya dapat tampak karena adanya simbol-simbol yang diciptakan oleh masyarakat. Simbol-simbol itu lahir karena adanya masyarakat yang menamai sesuatu itu sebagai sebuah simbol dan kemudian digunakan oleh masyarakat untuk memaknai apa yang mereka percayai. Setiap masyarakat di Indonesia tentu memiliki simbol-simbol yang berbeda. Ketika sebuah simbol-simbol yang ada di seluruh Nusantara ini disatukan atas dasar keberagaman dan kesatuan, maka akan mengandung arti atau makna yang sangat kuat.

    Simbol mengandung arti bahwa sesuatu yang ada dan dipercayai oleh kelompok masyarakat maupun individu memiliki arti yang lain atau merujuk kepada suatu makna yang bersifat luas atau universal. Artinya, apa yang ada dalam masyarakat tentu memiliki makna tertentu dan itu sudah sangat melekat dalam kehidupan mereka. Simbol-simbol yang ada secara garis besar merupakan benda-benda fisik yang dapat dilihat langsung oleh indera manusia, sehingga segala sesuatu yang dipercayai itu akan dengan sendirinya diberi nilai atau makna kultural oleh masyarakat setempat. Benda-benda yang telah mendapat nilai atau makna kultural tersebut tidak lagi berfungsi sebagai sesuatu yang hanya digunakan untuk arti fungsional saja atau sebagai instrumental dan saran kebutuhan sehari-hari manusia yang menunjang kelangsungan hidupnya, tetapi digunakan untuk tujuan yang bersifat simbolik dengan harapan dan tujuan tertentu.

    Simbol tidak hanya terdapat dalam kebudayaan yang ada dalam masyarakat, tetapi simbol dapat ditemukan dalam Gereja Katolik. Pengungkapan dan pernyataan iman akan misteri keselamatan Allah yang begitu dalam dan tidak dapat dipikirkan oleh pikiran manusia, dinyatakan dalam simbol-simbol yang ada dalam Gereja Katolik. Simbol diyakini sebagai penghubung antara iman yang transendental menjadi iman yang sekaligus imanen. Simbol menjadi penting karena pemutus kerinduan umat dengan Allah. Inkulturasi menjadi sarana dan penghubung kebudayaan dengan ritus Gereja Katolik. Inkulturasi dapat kita lihat dalam masyarakat Dayak Kanayatn yang upacara-upacara adatnya banyak sekali menggunakan simbol. Salah satu upacara adat tersebut adalah upacara Nyangahant yang hampir setiap sub suku dayak melestarikan kebudayaan ini.

    Apa itu Simbol?

    Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumental. Objek yang sama, bahkan kalau dipakai untuk tujuan yang sama pun bisa berbeda sekali artinya dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda.[1] Contohnya, bendera. Bendera secara fungsional hanyalah sepotong kain berwarna. Ketika bendera tersebut diberi makna simbolik, maka bendera itu akan dihormati dengan suatu upacara khusuk, dan bisa membangkitkan rasa kebanggaan, patriotisme, dan persaudaraan. Dalam konteks perang, bendera musuh bisa menimbulkan rasa benci dan amarah yang hebat. Dari penjelasan diatas, sangat tampak bahwa simbol sangat memberi makna yang kuat dan mendalam dalam mengisyaratkan sesuatu. Dengan demikian, tentunya ada ketentuan-ketentuan sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah simbol. Sebuah simbol dapat dipandang sebagai:[2]

    1. Sebuah kata, barang, objek, tindakan, peristiwa, pola, pribadi atau hal konkret.
    2. Suatu yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan, menyelubungi, menyampaikan, menggugah, mengungkapkan, mencorakkan, menunjukkan, berhubungan dengan, menerangi, mengacu kepada, mengambil bagian dalam, menggelar kembali, dan berkaitan dengan.
    3. Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.

    Dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat, tentu muncul juga beberapa istilah yang hampir mirip arti atau makna yang terkandung dalam sebuah simbol. Istilah-istilah itu antara lain, gambaran, penunjuk, logo, lambang, tanda, kode, sandi, sinyal, dan lambang. Dari beberapa istilah ini, agaknya secara sekilas arti yang terkandung hampir sama dan berhubungan dengan arti dan makna simbol. Salah satu contohnya ialah antara tanda dan simbol. Dari kedua kata ini, antara tanda dan simbol tersirat pengertian yang tidak jauh berbeda. Tetapi, perlu ditekankan bahwa tanda adalah sesuatu yang berlaku hanya pada satu makna saja atau bersifat mengandung makna tunggal. Contohnya, rambu-rambu lalu lintas. Lampu berwarna merah berarti berhenti. Sedangkan simbol merupakan segala sesuatu yang mengandung arti tertentu yang dikenal oleh kebudayaan suatu masyarakat pengguna simbol. Artinya simbol itu menunjuk kepada sesuatu yang lain yang bersifat luas dan universal. Contohnya, bangsa Indonesia disatukan dalam hal simbol yaitu melalui bahasa, kewarganegaraan, dan lain-lain.

    Apa Pengertian Liturgi?

    Kata “liturgi” berarti “karya publik”, berasal dari bahasa Yunani leitourgia yang berupa pelayanan dari rakyat dan untuk rakyat atau karya pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa.[3] Dalam tradisi Kristen, kata itu berarti bahwa umat Allah mengambil bagian dalam karya Allah. Melalui liturgi, Kristus sang Imam Agung melanjutkan karya Penebusan-Nya di dalam Gereja (KGK no. 1069).[4] Perayaan liturgi sangat tampak dalam perayaan-perayaan sakramen dan sakramentali. Kata “sakramen” berasal dari bahasa Latin sacramentum untuk menerjemahkan kata Yunani mysterion dalam Kitab Suci yang berarti sumpah (setia) prajurit dalam dunia militer dan uang jaminan.[5] Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda.[6] Sakramen-sakramen yang kita kenal terdiri dari 7 sakramen yaitu 3 sakramen inisiasi (Pembaptisan, Ekaristi dan Krisma) dan 4 sakramen lainnya ialah Pengakuan Dosa, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit dan Imamat

    Sakramentali merupakan tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Disebut mirip karena sakramentali juga menggunakan aneka simbolisasi yang juga digunakan dalam sakramen-sakramen. Sakramentali menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani. Banyak sekali bentuk-bentuk dari perayaan atau ibadat sakramentali seperti, pemberkatan rumah, pemberkatan ladang, pemberian nama, upacara syukur atas panen, dan lain sebagainya. Maksud dari perayaan sakramentali ini adalah bahwa seluruh karya dan kehidupan yang dilakukan oleh manusia dikuduskan oleh Allah. Dan bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satu pun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah.

    Upacara Nyangahatn

    Masyarakat Dayak Kanayatn sangat menghargai dan memberi perhatian terhadap seluruh proses kehidupan di dunia. Kehidupan adat sangat merekat seluruh tindakan yang akan mereka laksanakan. Sering kali orang Dayak disebut sebagai suku yang menjunjung tinggi nilai adat. Semua lini dan tujuan perjalanan hidup mereka harus berpatokan pada peraturan adat yang mereka percayai. Perkawinan, ucapan syukur atas panen, pemberian nama, rumah, pengobatan orang sakit selalu di iringi dengan suatu upacara atau pembacaan doa yaitu upacara Nyangahatn.

    Nyangahatn berasal dari bahasa Dayak Kanayatn, yaitu “nyangah” yang berarti menyanggah dan “hant” yang berarti menyerahkan sesuatu untuk tujuan yang telah dibuat dan disepakati. Upacara nyangahatn merupakan kegiatan ritual dalam masyarakat Dayak Kanayatn yang dilakukan dengan pembacaan doa dan hanya dapat dilakukan oleh Imam Adat atau disebut Panyangahatn. Nyangahatn merupakan tatacara melantunkan atau menyampaikan ungkapan yang khas masyarakat Dayak khususnya masyarakat Dayak Kanayatn yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur, mohon rezeki, perlindungan dan keselamatan kepada Jubata. Upacara ini disertai dengan penyerahan kurban atau persembahan serta beberapa perangkat simbolik tertentu yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Orang-orang yang terlibat dalam upacara adat Nyangahatn adalah kepala desa sebagai orang yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat, Panyagahatn yaitu orang yang membawakan doa atau mantera, dan pihak keluarga yang melaksanakan adat tersebut.

    Perangkat-perangkat yang digunakan atau diperlukan dalam kurban bakti upacara ini adalah tumpi’ sebagai lambang masakan adat dari kaum wanita, poe’ sebagai lambang masakan adat dari kaum laki-laki, bontonkng (beras yang dibungkus dengan daun layakng/layang) sebagai ungkapan janji yang telah disepakati bersama, sirih masak (terdiri dari dengan kapur, daun sirih dan pinang yang siap dikunyah, ditambah dengan gulungan rokok daun nipah) sebagai bentuk adat ramah tamah atau sebagai pembukaan di saat ingin bercerita, apar (seperti altar untuk menempatkan perangkat-perangkat yang digunakan), lonceng atau beliung dari besi, dan Gulita (pelita) sebagai lambang terangnya hidup dalam adat, duit (uang) sebagai lambang mata adat, dan beras sebagai lambang bekal pelengkap hidup atau sebagai persiapan hidup di kemudian hari.[7]

    Inkulturasi Simbol-simbol Upacara Nyagahatn dalam Gereja Katolik

    Istilah inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Istilah ini muncul dari konsep anthropologi yaitu enkulturasi, yang berarti penyesuaian diri seorang pribadi manusia ke dalam suatu budaya tertentu sehingga menjadi bagian dari budaya tertentu. setelah mengalami beberapa penyerapan dan perumusan pengertian, istilah inkulturasi merupakan suatu proses yang terus-menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan suatu kelompok masyarakat setempat.[8]

    Inkulturasi simbol-simbol upacara Nyangahatn dalam Gereja Katolik tampak dalam penggunaan perangkat-perangkat yang digunakan dan susunan upacara yang dilakukan. Meskipun upacara adat ini tidak dilakukan sewaktu perayaan liturgi berlangsung, akan tetapi perlu dilihat sebagai sebuah kesatuan doa yang disampaikan kepada Tuhan sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Kanayatn sendiri. Upacara Nyangahatn ini dilakukan setelah ibadat sakramentali sesuai dengan buku pedoman upacara syukur tertentu. Akan lebih tampak misalnya dalam upacara adat seusai panen padi atau dalam masyarakat Dayak dikenal sebagai “Naik Dango”. Nyangahant dilakukan setelah pemimpin umat dalam Gereja Katolik tersebut melaksanakan ibadat syukur atas panen dan barulah setelah itu dilakukan upacara pembacaan doa khas Dayak Kanayant oleh ketua adat. Mengenai perangkat-perangkat simbolik yang digunakan dalam upacara tersebut, memiliki kemiripan dengan perayaan Ekaristi yang dilakukan dalam Gereja Katolik. Terdapat altar dan beberapa persembahan yang memiliki makna dan satu kesatuan dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Jubata atau Tuhan.

    Kesimpulan

    Kebudayaan merupakan identitas suatu kelompok masyarakat yang harus dilestarikan. Kebudayaan dapat mengantar manusia untuk menemukan keamanan dan komunikasi dengan Sang Pencipta atau Tuhan. Simbol menjadi sarana yang paling efektif untuk dapat menghantar kita kepada Tuhan. Simbol merupakan pengungkapan makna yang terdalam dari suatu benda yang di dalamnya memiliki kekuatan sakral dan religius yang dapat menghantar manusia menjadi manusia yang ber-adat dan berbudaya. Selain berbudaya, manusia juga memiliki agamanya masing-masing. Kesatuan antara budaya dan agama hanya dapat terjalin dengan satu istilah Inkulturasi. Inkulturasi merupakan suatu proses di mana Injil atau hal yang berkaitan dengan agama dipadukan dengan kebudayaan setempat.

    Catatan-catatan

    [1] Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 43.

    [2] F. W. Dillistone, The Power of Symbol (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 20.

    [3] Emanuel Martasudjita, Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 15.

    [4] Konstitusi Apostolik, Katekismus Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 181.

    [5] Emanuel Martasudjita, Liturgi…, hlm. 199.

    [6] Bdk. “Sacrosanctum Concilium (Konstitusi tentang Liturgi Suci)”, No. 9, dalam R. Hardawiryana (terj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (terj), (Jakarta: KWI, 1990), hlm. 32.

    [7] Nico Andasaputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn (Pontianak: Institut Dayakologi, 1997), hlm. 71.

    [8] Emanuel Martasudjita, Liturgi…, hlm. 265-266.

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles