Saturday, December 9, 2023
More

    Refleksi Pelayanan Cianjur: Aku, Reruntuhan dan Puing-Puing Sukacita

    Oleh: Frater Fransesco Alexander Ranubaya- Calon Imam Projo Ketapang

    MajalahDUTA.Com, Suara DUTA- Beberapa bulan lalu, konfrater saya iseng menawarkan tempat untuk asistensi. Saya agak terheran-heran karena liburan untuk asistensi, khususnya pada hari natal masih lama sekali. Di mulailah percakapan kami saat itu dan ia bertanya kepada saya mengenai lokasi yang akan saya kunjungi untuk asistensi nanti. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya masih belum menemukan tempat untuk asistensi.

    Akhirnya, ditawarkanlah lokasi yang sesungguhnya tidak asing terdengar oleh saya. Tempat itu adalah Cianjur, lokasi yang acapkali saya ketahui melalui televisi. Lokasi yang dikelilingi oleh kaum-kaum ekstrimis di Jawa Barat. Saya berpikir sejenak, dalam benak saya jika Tuhan berkehendak, saya pasti tidak akan berjumpa dengan orang-orang demikian. Tetapi jika memang itu yang harus terjadi, saya serahkan saja seluruhnya dalam kekuasaan Tuhan. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menyetujui lokasi Cianjur untuk menjadi tempat melaksanakan pelayanan selama liburan.

    Pada 21 November 2022, ketika saya sedang surffing Instagram, saya melihat berita bahwa Kota Cianjur, tempat asistensi saya tersebut dilanda bencana Gempa dengan kekuautan 5,6 Skala Ritcher. Agak sedikit kaget, saya mencari informasi tentang Kota Cianjur yang saat itu dilanda oleh Gempa Bumi. Jumlah Korban gempa yang ada saat itu masih 56 orang meninggal. Namun dalam perkembangannya, saya terkejut bahwa korban yang meninggal semakin banyak setelah dilakukan evakuasi yakni sebanyak 600 orang.

    Gempa Bumi ini sungguh membawa dampak yang cukup dasyat. Hal ini menggerakkan hati saya untuk melihat secara langsung apa yang sedang terjadi di Bumi Cianjur itu. Teman saya, yang menawarkan tempat tadi bertanya kembali, apakah saya lanjut atau tidak melaksanakan asistensi di Cianjur. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya telah menetapkan hati untuk melaksanakan asistensi di Cianjur. Demikian, surat resmi dari Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang dibuat untuk tujuan kepada Pastor Paroki Cianjur Pater Bonefasius Budiman OFM yang diketahui oleh Rektor Seminari.

    Jauh hari saya telah memesan tiket Kereta Api dengan tujuan Pasar Senen. Demikian juga, beberapa Frater lainnya dengan tujuan asistensi ke wilayah “Barat” Jawa. Kami memesan tiket Kereta Api menuju Stasiun Pasar Senen dengan asumsi berpisah ke tujuan masing-masing setelah tiba di stasiun. Jauh hari pula, saya pribadi mempersiapkan keberangkatan dengan meminta bahan-bahan ibadat Natal dan Tutup Tahun dari Romo Endi. Bahan-bahan ibadat tersebut sangat membantu saya dalam mempersiapkan hal-hal yang bersifat urgent ketika berada di lokasi asistensi.

    Berjam-jam dalam Kereta Api

    Pada 23 Desember 2022, saya mulai berangkat menuju lokasi asistensi. Paroki yang akan menjadi wadah pelayanan saya kali ini berada di Gereja St. Petrus Cianjur. Paroki ini terletak di Dekanat Selatan Keuskupan Bogor. Rute yang akan saya lalu menuju lokasi tersebut melalui Kereta Api. Pagi-pagi kami berangkat menuju stasium Kota Baru Malang menggunakan Maxim. Kami beberapa rombongan dengan menggunakan armada Maxim yang berbeda meluncur ke stasiun. Tiba di lokasi, rombongan saya langsung melakukan cetak tiket dan masuk ke dalam ruang tunggu. Tetapi beberapa Frater tertinggal di luar dan harus ditunggu. Tetapi syukurlah, kami semua sudah berada di dalam gerbong tepat waktu.

    Di dalam Kereta Api, kami menikmati perjalanan dengan gembira. Sambil melepas kebosanan, kami membaca buku, wefie-an dan bercerita. Kami memesan makanan, kopi, dan berbagai hal yang bisa dilahap bersama untuk menghindari kejenuhan. Canda tawa mewarnai di sepanjang perjalanan belasan jam ini.

    Waktu demi waktu, jam demi jam berjalan semakin lambat. Kami mulai merasakan lapar sehingga kami memutuskan untuk turun dan melihat apa saja yang dapat kami peroleh. Ternyata, di setiap perhentian kami tidak menemukan kesempatan untuk membeli makanan di stasiun. Alasannya, karena kereta setiap menurunkan penumpang di stasiun akan kembali berjalan setelah waktu sepuluh menit. Pendek cerita, orientasi yang kami alami bukan lagi rasa lapar melainkan rasa haus. Dahaga sudah berada di tenggorokan, tapi kami tidak menemukan petugas yang lalu lalang untuk menawarkan air putih. Akhirnya, saya berinisiatif untuk menuju ke gerbong lima di mana para petugas berada.

    Di sana kami menemukan air mineral, dan saya memborong beberapa untuk diberikan kepada teman-teman. Tentu saja ini sangat melegakan dahaga.

    Saya merefleksikan peristiwa ini sebagai semacam disposisi batin “jalan terus tanpa persiapan matang”. Sebenarnya, segala hal melimpah di dalamnya. Tetapi karena kami memiliki pemikiran sendiri, akhirnya kami berputar dan terkungkung di dalam pemikiran itu. Akibat terlalu mengandalkan diri sendiri, kami berjalan terus dan itu juga tanpa persiapan matang. Seharusnya kami sejak awal mempersiapkan minuman yang cukup supaya tidak mengalami kehausan selama belasan jam di dalam kereta.

    Pengalaman ini sering kali saya rasakan ketika saya merasa bahwa saya mampu melakukan segala sesuatu dengan kemampuan sendiri. Dan hasil yang sama terjadi, segala rencana yang sudah dirancang dengan baik pada akhinya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.

    Memesan Travel “Aneh”

    Saat turun dari Kereta di Stasiun Senen, kami satu per satu mulai menghubungi travel ke tujuan masing-masing. Saya sendiri bersama dua lainnya, Fr. Alfrid dan Fr. Domis, mengkonfirmasi travel yang akan kami gunakan. Fr. Domis sebenarnya menuju arah Keuskupan Bogor dan bisa melalui KRL, tetapi loket kereta baru buka pada pagi hari. Akhirnya, kami berembuk bersama untuk memesan travel. Saya mencoba menghubungi Travel yang sore sebelumnya sudah dikonfirmasi untuk menjemput kami, tetapi tidak dapat dihubungi saat itu.

    Atas inisiatif Fr. Alfrid, kami memesan Travel lain. Travel yang akan kami tumpangi ini begitu murah, jauh lebih murah dari harga travel yang kami pesan sebelumnya. Tanpa rasa curiga, kami setuju untuk naik travel tersebut. Termasuk Fr. Domis, kami melakukan negosiasi dengan supir Travel untuk tujuan Bogor dengan biaya seratus ribu rupiah dan merekapun setuju.

    Naiklah kami bertiga ke dalam tersebut Mobil L300 tersebut. Masih hal yang wajar ketika supir Travel mengangkut satu per satu penumpang dan barang-barangnya. Tetapi yang menjadi tidak wajar adalah ketika sang pengemudi masih nekat mencari penumpang, padahal muatan mobilnya sudah tidak mampu lagi. Pemandangan yang miris, di mana pengemudi menurunkan sandaran serendah-rendahnya supaya rekan supir satunya bisa duduk di atasnya. Jadi dalam satu kursi pengemudi ada dua orang di atasnya. Di sampingnya ada dua ibu-ibu yang saling berdempetan. Satunya duduk di tengah-tengah “pedal gigi” mobil, yang satunya duduk di kursi kiri. Maka di depan ada empat orang, saya bertiga di tengah dengan para Frater, dan tiga orang di belakang bertumpuk dengan barang-barang. Sementara itu, terdapat barang-barang lainnya di atas mobil tersebut. Sambil menge-chat, Fr. Alfrid menulis,”Sepertinya kita salah naik travel”. Saya tertawa sejenak, dan tersenyum. Meskipun demikian, saya mengatakan kepada mereka untuk melanjutkan perjalanan ini. Karena kelelahan, kami semua bisa tidur nyenyak di dalam angkutan tersebut. Akhirnya satu per satu diturunkan, Fr. Domis di Paroki Keuskupan Bogor, Fr. Alfrid di Paroki Cipanas dan saya di Paroki Cianjur.

    Peristiwa ini sangat berkesan bagi saya pribadi, karena menggambarkan secara langsung realita kehidupan masyarakat kecil di Bogor. Diperkirakan anak-anak remaja sudah harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Kejadian tersebut memang terlihat miris, tapi saya merefleksikannya sebagai jalan kehidupan yang harus dijalani oleh para pejuang nafkah tersebut. Berada di posisi mereka memanglah tidak mudah. Sekalipun terhimpit dalam lika-liku kehidupan mereka tetap berjuang demi orang-orang yang dikasihinya.

    Hal tersebut tentu saja memotivasi diri saya untuk terus berjuang dalam jalan panggilan. Apalagi jika kita memiliki orang-orang atau sesuatu yang begitu berharga untuk diperjuangkan terutama Tuhan yang mengajarkan kebenaran hidup, orang tua, sahabat-sahabat dan orang-orang yang selalu mendukung kita dalam suka dan duka.

    Disambut Dengan Hangat Sebagai Saudara

    Ketika tiba di Gereja Paroki St. Petrus Cianjur, saya disambut oleh bapak-bapak paruh baya. Saya lupa menanyakan nama dari bapak tersebut, ia berkata pada saya,”Frater ya? Mari saya antarkan kepada Pastor,” kata beliau. Di sana saya berjumpa untuk pertama kalinya Pater Gabriel, OFM. Beliau sangat ramah dan memiliki karisma ke-Bapa-an.

    Sekali jumpa saya merasa begitu segan karena setiap tutur kata penuh dengan makna yang mendalam. Begitu juga Pater Bonefasius Budiman, OFM yang sedang isoman saat saya pertama datang. Beliau adalah Pastor Paroki St. Petrus Cianjur. Romo Bone, begitu umat memanggilnya, adalah Pastor Paroki yang sangat jenaka.

    Hampir di setiap perjumpaan, selalu ada hal lucu yang diceritakannya. Beliau juga sedang melaksanakan pendidikan di Bandung. Sejak bencana gempa bumi di Cianjur, kedua Pastor ini sangat amat sibuk mengurusi aneka macam donasi dan turun ke lapangan untuk meninjau langsung. Beliau berdua adalah perpaduan yang sangat harmoni terlihat bagaimana umat begitu mencintai kedua pastor di Paroki St. Petrus Cianjur tersebut. Ada juga Bruder Albert, OFM yang tinggal di Pastoran.

    Beliau sosok yang tidak pendiam, Romo Gabi mengatakan bahwa beliau menghidupi semangat kontemplasi. Sehari-hari beliau membuat aneka macam rosario, kalung salib dan benda-benda rohani di ruangan kamarnya. Bahkan, saya memperoleh satu buah salib Tau yang sangat bagus. Tentu saja, saya akan selalu memakainya karena mengingatkan saya kembali pada ajaran St. Fransiskus Assisi ketika saya masih bersama-sama dengan para saudara-saudari OFS Pontianak.

    Saya sangat bahagia bisa hidup di tengah-tengah orang-orang baik dan penuh kharisma di Paroki St. Petrus Cianjur. Sosok mereka tentu saja sangat memotivasi diri saya untuk selalu gembira dalam bekerja di ladang Tuhan. Pater Bone, Pater Gaby dan Bruder Albert merupakan sosok pelayan Tuhan dengan masing-masing keistimewaan. Dari beliau-beliau ini, begitu banyak hal yang saya timba dari pelayanan mereka.

    Salah satunya adalah memiliki hati untuk umat. Terkadang, umat merindukan sosok gembala yang memiliki hati. Pengalaman saya sewaktu OMK, jika ada gembala yang mau ikut serta dalam kegiatan kepemudaan, ramah, hangat dan tidak antipati pada kaum muda, imam itu pasti akan disenangi oleh OMK. Di Paroki St. Petrus Cianjur ini, saya menemukan kasih dari umat dari anak-anak, remaja, Kaum Muda, hingga manula yang begitu memperhatikan imamnya. Ini saya refleksikan sebagai wujud nyata kasih yang Tuhan Yesus wariskan kepada manusia (bdk. 1 Kor. 13:4).

    Kita sebagai tubuh dari Gereja, hendaknya saling tolong menolong dalam menanggung berbagai kesukaran hidup. Dari cara umat menyambut tamu, saya bisa merasakan bahwa imam berhasil membangun umat yang solider, peka, empati dan inisiatif tinggi untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Gereja.

    Asistensi, Serasa Berada di Rumah Sendiri

    Tujuan utama saya diutus ke Paroki St. Petrus Cianjur adalah untuk terus belajar menghidupi jalan panggilan selama mengisi liburan Natal.

    Asistensi menjadi sarana untuk tetap dalam situasi belajar. Saya meyakini, dengan mengisi liburan melalui belajar, saya tetap menjalankan mandat dari seminari sebagai utusan, bukan seseorang yang dengan kebebasannya melakukan hal dengan sesuka hatinya.

    Ada opsi untuk liburan, akan tetapi saya lebih memilih untuk menjalani asistensi atau membantu berbagai tugas-tugas yang diberikan gembala kepada saya. Tugas-tugas asistensi ini secara rohani mendorong saya secara pribadi untuk taat pada gembala.

    Sebagaimana saya taat dan hormat kepada rektor dan para formator, di tempat tugas saya ini juga diproyeksikan secara nyata wujud ketaatan sebagai pelayanan seperti rumah sendiri, seminari tercinta.

    Tugas-tugas yang diberikan oleh Pastor Paroki antara lain Maklumat di malam natal, tugas-tugas bersama paduan suara, menyanyikan lagu Te Deum, kotbah untuk misa anak-anak, ikut serta mendampingi PMKRI dalam melakukan assesment bantuan, dan menjadi MC dalam acara Tahun Baru Bersama Imam, Biarawan-Biarawati dan Frater Se-Dekanat Selatan Keuskupan Bogor. Semua pengalaman-pengalaman tersebut benar-benar membakar semangat saya dalam menghayati dan menghidupi spiritualitas imam diosesan.

    Dari segala hal yang baik itu, saya menimba banyak sekali rahmat yang Tuhan berikan terutama rasa syukur atas perjumpaan singkat yang memiliki jutaan makna di dalam hati saya. Saya mengenal banyak orang, teman-teman baru, dan umat yang memiliki kepedulian dan rasa cinta yang besar kepada Gereja.

    Saya merenungkan ini dalam suatu malam di mana ketika saya mengendapkan segala emosi di dalam dada, saya memperoleh pencerahan. Di Seminari, saya ditempa untuk menjadi pribadi yang siap sedia dan memiliki perasaan yang peka. Pembinaan di Seminari, merupakan modal awal untuk mampu melangkah ke luar atau ke tempat yang lebih dalam (Duc in altum). Setiap bentuk pengalaman yang saya alami, saya endapkan dalam examen setiap malam. Saya menimbang-nimbang apakah yang saya lakukan sungguh berkenan di hadapan Allah atau hanya demi kepuasan pribadi semata.

    Tentu saja, rahmat kerendahan hati membuat saya untuk merasa untuk selalu kosong setiap bangun pagi sehingga saya juga siap untuk menerima pengalaman-pengalaman serta pengetahuan-pengetahuan baru di lapangan.

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles