MajalahDUTA.Com, Jurnal/Pendidikan– Inkulturasi Musik Liturgi Dari Budaya Dayak Dalam Liturgi Ekaristi Di Seminari Tinggi San Giovanni XXIII – Malang
PENDAHULUAN
Inkulturasi musik liturgi dalam perayaan liturgi Ekaristi merupakan bentuk dari keterbukaan Gereja terhadap nilai-nilai budaya setempat. Gereja hadir ditengah-tengah umat untuk mewartakan sabda bahagia. Dengan adanya musik inkulturasi dalam liturgi Ekaristi diharapakan bahwa umat semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, karena dengan musik inkulturasi Gereja juga mengajak umat untuk menuju rahmat keselamatan, yaitu Yesus Kristus Sang Penyelamat Sejati yang senantiasa ada dengan umat.
Inkulturasi musik dayak dalam liturgi Ekaristi memang bukan menjadi hal yang baru, karena dalam buku Madah Bhakti juga telah tersedia Inkulturasi musik dayak. Inkulturasi musik dayak ini sudah menjadi hal umum bagi umat untuk menyanyikannya, terlebih pada perayaan liturgi Ekaristi di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII – Malang. Para Frater seminari Tinggi Giovanni XXIII kerapkali membawakan musik inkulturasi dalam perayaan liturgi Ekaristi, termasuk inkulturasi musik dayak itu sendiri. Lantas, bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap musik inkulturasi dibawakan dalam perayaan liturgi Ekaristi?. Hal inilah yang menjadi salah satu bentuk pokok yang ingin dihabas dalam artikel ini.
Pandangan Gereja terhadap Musik Inkulturasi Dalam Liturgi Ekaristi
Inkulturasi sesuai dengan penegasan Konsili Vatikan II (1962-1965) bahwa, gereja Katolik agar membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak secara prinsipil bertolak belakang dengan ajaran agama Katolik.[1] Tujuan dari inkulturasi musik liturgi sendiri yaitu, umat berusaha mengungkapkan pernyataan imannya, serta berusaha menciptakan perayaan liturgi yang selaras dengan kebudayan setempat dengan lewat lagu-lagu inkulturasi yang dinyanyikan.
Salah satu kebudayaan yang sering dipakai dalam liturgi ekaristi, yakni musik-musik Dayak yang sering dipakai untuk mengiringi prosesi ekaristi.[2] Lagu-lagu dayak yang sebelumnya sudah pernah diproduksi, kemudian dikembangkan kembali dengan dicampur ayat perikop kitab suci di dalam liriknya, sehingga terciptalah ikulturasi musik dayak. Akhirnya, semoga upaya Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta untuk menuju ke inkulturisasi musik gereja Indonesia dapat berhasil memadukan semangat kebudayaan asli dengan semangat Injil yang (lebih) benar.[3]
Dalam musik liturgi, inkulturasi berarti usaha menciptakan bentuk-bentuk musik baru yang bermutu tinggi dan luhur, yang mengena pada orang beriman yang mengikuti perayaan liturgi Ekaristi.[4] Dalam hal ini Gereja juga memberikan ruang bagi para seniman musik liturgi untuk terus mengembangkan bakatnya dalam menciptakan inkulturasi musik liturgi sesuai dengan budaya setempat.
Inkulturasi Musik Dayak Di Seminari Tinggi San Giovanni XXIII – Malang
Seminari Tinggi San Giovani xxiii merupakan tempat pembinaan bagi para calon imam diosesan yang berasal dari seluruh keuskupan yang ada di Kalimantan, Keuskupan Malang dan Keuskupan Bali, total semuanya ada 10 Keuskupan. Seminari Tinggi San Giovanni xxiii merupakan bentuk kebinekaan, karena di dalamnya berkumpul orang-orang yang berasal dari berbagai daerah, yaitu Suku Flores, Jawa, Bali, Batak, Thionghoa, dan Dayak. Dengan adanya jumlah para calon imam yang berasal dari berbagai suku ini, Seminari Tinggi San Giovanni xxiii pun tidak luput dari nuansa kebudayaan yang cukup kental di dalamnya. Salah satu nuansa kebudayaan yang ada di Seminari Tinggi San Giovanni xxiii ini adalah inkulturasi musik dayak dalam perayaan liturgi Ekaristi.
Inkulturasi musik liturgi, terkhusus budaya dayak memang sudah menjadi hal yang biasa di Seminari Tinggi Giovanni xxiii, mengingat para Frater yang berada di dalamnya juga rata-rata berasal dari berbagai keuskupan yang ada di Kalimantan. Dengan jumlah tersebut membuat para Frater kemudian membawakan inkulturasi musik liturgi bergaya budaya dayak dalam perayaan liturgi Ekaristi di Seminari Tingggi Giovanni xxiii – Malang. Hal tersebut juga memberikan warna tersendiri bagi para Frater, karena selain membawakan inkulturasi musik dayak, mereka juga dapat memperkenalkan kepada umat tentang budaya dayak di dalamnya.
Pengunaan inkulturasi musik budaya dayak yang kerapkali digunakan di Seminari Tinggi Giovanni xxiii. Musik liturgi telah menjadi warga musik dunia yang demikian kaya.[5] Inkulturasi musik dalam budaya dayak dalam perayaan liturgi Ekaristi pada umumnya dinyanyikan di dalam Gereja Katolik yang ada di Kalimantan. Namun, itu adalah pemikiran yang keliru, sebab inkulturasi musik dalam liturgi bisa dinyanyikan di berbagai daerah, karena ini merupakan musik liturginya Gereja yang terbuka dengan kebudayaan yang ada. Seminari Tinggi San Giovanni xxiii adalah bentuk dari keberagaman suku dan bahasa, dengan membawakan inkulturasi musik dayak dalam perayaan liturgi Ekaristi para Frater juga mengenalkan budayanya kepada umat dan mampu membawa umat menghayati lagu iman tersebut.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa inkulturasi musik liturggi Gereja Katolik sudah ada sejak Konsili Vatikan II. Dimana Gereja menetapkan peraturannya bahwa Gereja harus terbuka terhadap kebudayaan setempat dimana Gereja tersebut berdiri. Gereja hadir dan membawa umat untuk mengenal Kristus lewat kebudayaan setempat dengan inkulturasi musik liturgi. Gereja juga membuka peluang bagi kebudayaan agar bisa masuk di dalam perayaan liturgi Ekaristi, karena Gereja Katolik juga berada ditengah-tengah umat yang ada diberbagai wilayah yang mempunyai corak budaya sendiri.
Inkulturasi musik dayak menjadi salah satu dari berbagai inkulturasi musik liturgi yang berasal dari berbagai wilayah. Inkulturasi musik dayak merupakan bentuk dari Gereja yang hadir selalu ditengah umat beriman. Gereja Katolik terbuka bagi kebudayaan lewat inkulturasi musik liturgi. Begitu juga dengan para Frater di Seminari Tinggi San Giovanni xxiii yang memiliki kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda, sehingga inkulturasi musik dayak dalam perasayaan Ekaristi di dalamnya menjadi salah satu bentuk Gereja Katolik yang terbuka terhadap budaya yang ada.
Melalui inkulturasi musik dayak tersebut pada hakikatnya ingin mempertemukan umat pada Kristus yang diimani. Begitupun di Seminari Tinggi San Giovanni xxiii, para Frater juga membawakan inkulturasi musik liturgi sebagai bentuk iringan perayaan liturgi Ekaristi.
Relevansi
Inkulturasi musik tradisional dalam perayaan liturgi Ekaristi memang menjadi hal yang sangat baik. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja Katolik harus bisa terbuka terhadap budaya setempat dimana Gereja tersebut berdiri. Inkulturasi musik liturgi tidak harus dinyanyikan di daerah tertentu yang sesuai dengan budaya setempat, tetapi pada kenyataannya inkulturasi musik liturgi bisa dinyanyikan diberbagai daerah yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Salah satunya yaitu inkulturasi musik dayak yang bisa dinyanyikan diberbagai daerah manapun, asal mampu membawa umat menghayati imannya lewat nyanyian yang dibawakan, termasuk di Seminari Tinggi San Giovanni xxiii yang ada di Malang, Jawa Timur.
Inkulturasi musik dayak bisa dinyanyikan di daerah mana saja, termasuk inkulturasi musik budaya lainnya dalam perayaan liturgi Ekaristi, selama musik yang dibawakan itu mampu membawa umat dalam penghayatan imannya. Gereja Katolik lebih terbuka kepada budaya setempat, unsur-unsur budaya bisa masuk ke dalam Gereja Katolik, sehingga banyak dari bangunan gereja Katolik mengikuti bangunan budaya daerah setempat. Inkulturasi dalam Gereja Katolik mampu berbaur bersama umat dan memberikan nuansa yang indah, sehingga umat mampu menghayati imannya dalam Kristus.
[1] Emerensiana Jeri, “Inkulturasi Musik Dayak dalam Liturgi Ekaristi di Gereja Maria Ratu Pencinta Damai Air Upas-Ketapang” (https://stp2013blog.wordpress.com/2016/06/14/inkulturasi-musik-dayak dalam-liturgi-ekaristi-di-gereja-maria-ratu-pencinta-damai-air-upas-ketapang/), diakses: 04 Oct 2022: 18.20 WIB.
[2] Ibid., [3] Yoseph Yapi Taum, “RASA RELIGIOSITAS ORANG FLORES: Sebuah Pengantar ke Arah Inkulturisasi Musik Liturgi,” ACADEMIA: 7. [4] Florensius widodo yulianto, “Kajian Etnomatika terhadap inkulturasi musik suku dayak kanayatn serta sosialisasinya di kalangan peserta didik sekolah mengah atas,” (Yogyakarta: USD, 2019): 51. [5] Suryanugraha, “Melagukan Liturgi Menyanyikan Misa,” (yogakarta: Kanisius, 2015): 13.
DAFTAR PUSTAKA
Jeri, Emerensiana. “Inkulturasi Musik Dayak dalam Liturgi Ekaristi di Gereja Maria Ratu Pencinta Damai Air Upas-Ketapan.” (https://stp2013blog.wordpress.com/2016/06/14/inkulturasi-musik-dayak dalam liturgi-ekaristi-di-gereja-maria-ratu-pencinta-damai-air-upas-ketapang/), diakses: 04 Oct 2022: 18.20 WIB.
Taum, Yoseph Yapi. “RASA RELIGIOSITAS ORANG FLORES: Sebuah Pengantar ke Arah Inkulturisasi Musik Liturgi,” ACADEMIA: 1 – 7.
Suryanugraha. Melagukan Liturgi Menyanyikan Misa. yogakarta: Kanisius, 2015.
yulianto, Florensius widodo. Kajian Etnomatika terhadap inkulturasi musik suku dayak kanayatn serta sosialisasinya di kalangan peserta didik sekolah mengah atas. Yogyakarta: USD, 2019.