spot_img
Thursday, June 1, 2023
More

    Menelaah Pikiran Dr. P.A van der Weij Tentang Dunia Kayangan Plato

    Disandur dari Buku Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia - Oleh TIM Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Pontianak- Majalah DUTA

    MajalaDUTA.Com, Featured- Filsafat Yunani memang tidak mulai dengan Plato, namun yang jelas ialah bahwa pada Plato manusia diberi perhatian sepenuhnya. Filsafat Yunani yang kita kenal sudah mulai pada abad ke-6 SM dengan mereka yang disebut filsuf-filsuf alam dari Ionia, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.

    Akan tetapi, pada mereka manusia belum menjadi titik pusat perhatian: yang terutama disoroti oleh mereka adalah kosmos (dunia). Sebelum filsafat timbul, orang Yunani masih mengerti gejala-gejala kosmis dengan cara magis dan mitis. Mereka masih memandang gejala-gejala itu dalam rangka kepercayaan Yunani. Menurut pandangan dunia itu, di mana saja dalam alam terlihat ulah para dewa, pengaruh suratan nasib, dan daya-daya siluman.

    Tiada rasionalitas dan keterikatan menurut hukum. Akan tetapi, orang-orang Ionia itu mendobrak pandangan dunia yang penuh khayalan itu. Dalam hal ini mereka terpimpin oleh intuisi filosofis bahwa semua kejadian kosmis harus dapat dijelaskan berdasarkan satu prinsip dasar (arkhe).

    Baca juga: Catatan Fransiskan: Sejarah Katolik di Keuskupan Agung Pontianak

    Thales mengira dapat menjelaskan hampir segala kejadian dan perubahan berdasarkan prinsip ”air” atau unsur lembab. Anaximenes lebih menyukai prinsip ”udara”, sedangkan Anaximandros menganggap kedua prinsip tersebut terlalu konkret untuk dijadikan asal usul segala sesuatu.

    Ia memilih sebagai prinsip asali ”yang tak terbatas” (to apeiron) dan dengan itu sudah merintis jalan bagi materi pertama (hyle prote) yang dikemukakan Aristoteles di kemudian hari.

    Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia                                                                          

    Filsuf-filsuf pertama ini sangat ekstravert.’ Ciri-ciri lain ialah bahwa mereka mengobyektivasi dan penuh perhatian untuk kosmos. Mereka juga masih realis-realis yang naif dan belum bersikap kritis terhadap pengenalan manusia.

    Juga para Pythagorean pertama-tama berfilsafat tentang kosmos dan berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif dapat diasalkan dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Pada mereka, manusia memang mendapat perhatian lebih besar, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup.

    Perbedaan besar antara Mazhab Elea dan Herakleitos dalam memandang Ada (Being), telah mengakibatkan mekarnya sikap kritis dan bahkan skeptis terhadap pengenalan manusiawi. Sebab, para pengikut Mazhab Elea menegaskan bahwa hanya “pemikiran” — rasio — yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata.

    Apa saja yang dapat kita pikirkan tanpa kontradiksi, sekurangkurangnya harus dianggap mungkin, sedangkan yang kontradiktif harus dianggap tak mungkin, absurd, dan tidak punya arti. Mereka lalu beranggapan bahwa suatu kejamakan yang meliputi ada, menjadi, perubahan, dan gerak tidaklah mungkin, tidak dapat dipikirkan, absurd, dan akibatnya tanpa arti apa pun.

    Sekalipun indra kita cenderung menerima adanya kejamakan (pluralitas), proses menjadi, perubahan, dan gerak, namun hal itu tidak boleh menjadi halangan untuk menolak semuanya itu dengan rasio kita. Seperti kita lihat, di sini problem kritis sudah mulai tampil ke depan karena pengenalan indrawi tidak dipercayai.

    Herakleitos dengan gigih mempertahankan adanya kejamakan, proses menjadi, gerak, serta perubahan dan ia menolak Ada yang teguh serta tak terubahkan dari Mazhab Elea.

    Pengenalan indrawi, baginya, menjadi titik tolak yang terpercaya meskipun ja sangat menjunjung tinggi rasio (/ogos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada. Sebagaimana kita ketahui, di kemudian hari Hegel merasa dirinya dekat dengan pemikiran Herakleitos itu.

    Bila kita melewati saja peneliti-peneliti alam dari aliran pluralisme dan atomisme, yaitu Anaxagoras, Empedokles, dan Demokritos (karena dengan cara yang tidak begitu filosofis, mereka berusaha mencari jalan tengah di antara Mazhab Elea dan Herakleitos), maka kita sampai pada para Sofis.

    Pada mereka, kesulitan-kesulitan epistemologis tampil ke muka dengan terang-terangan: Bagaimana mungkin dan bagaimana dapat diterangkan pandangan-pandangan para filsuf terdahulu yang saling bertentangan itu tentang Ada dan kosmos?

    Tidak mungkin, sebabnya adalah Ada dan kosmos itu sendiri, karena Ada dan kosmos itu tetap seperti adanya. Kesulitannya tidak terletak di situ, melainkan pada manusia dan pengenalannya! Dengan demikian, timbullah problem kritis. Para Sofis mencurigai pemikiran pendahulu-pendahulu mereka.

    Mereka beranggapan bahwa pendahulu-pendahulu itu berpikir secara obyektivistis: Ada menentukan pengenalan kita!

    Akan tetapi, kalau begitu, bagaimana mungkin terdapat perbedaan yang begitu besar dalam pandangan-pandangan tentang Ada? Sofis yang bernama Protagoras seolah-olah menjadi seorang Kopernikus? di antara filsuffilsuf Yunani: Bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada.

    Baca juga: Peresmian Gedung Baru UWDP: Tonggak Penting Sejarah Perguruan Tinggi Widya Dharma

    Jadi, bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. “Manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya,” kata Protagoras. Rekannya, yang bernama Gorgias, melangkah lebih jauh lagi dan tanpa raguragu terjun ke dalam nihilisme dengan pendapatnya: Tidak ada sesuatu pun, dan juga seandainya sesuatu itu ada, kita toh tidak dapat mengenalnya dan bahkan seandainya kita dapat mengenalnya, kita tidak dapat menyampaikan pengetahuan itu kepada orang lain.

    Para Sofis berjasa juga dalam mengembangkan tata bahasa dan retorika, tetapi — sayangnya — dalam hal itu mereka sering bertindak secara ”sofistis” (dalam arti kurang baik). Mereka ingin mendidik orang muda Athena dari kalangan kaya raya dalam bidang politik, namun hal itu kerap kali berakhir dengan perselisihan tak berguna tentang kata-kata dan dengan penyesatan.

    Dunia Kayangan Plato                                                                                                 

    Dalam karyanya Sophistes, Plato menggambarkan gerakan filosofis ini. Para Sofis — katanya — bagaikan pemburu-pemburu rakus jarahan yang mengejar kaum muda dan golongan kaya. Mereka adalah pedagang dan calo dengan pengetahuan sebagai barang dagangannya. Mereka adalah akrobat dalam seni pidato dan diskusi.

    Akan tetapi, Plato mengakui juga adanya faktor positif pada kelompok Sofis itu, yaitu mereka membersihkan pemikiran dari pandangan-pandangan yang bisa menjadi hambatan bagi pengetahuan jiwa. Dengan lain perkataan, mereka menjalankan juga suatu fungsi kritis yang sehat di bidang pemikiran.

    Namun demikian, dengan argumentasi-argumentasi palsu mereka, para Sofis juga meruntuhkan norma-norma moral yang berlaku dan karena kecenderungan nihilistis mereka, banyak orang muda diantar ke semacam skeptisisme etis. Memang benar, manusia menjadi titik pusat, tetapi mereka tidak sungguhSungguh memperdalam kemanusiaan sejati.

    Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia                                                                         

    Tidak ada orang yang menyadari hal itu lebih baik daripada Sokrates. Ia menilai kegiatan-kegiatan sofistis itu mempunyai konsekuensi yang menyedihkan untuk moral kaum muda Yunani, Karena itu, ia mencetuskan suatu pembaruan di bidang moral. Melalui jalan diskusi-diskusi dan teknik kebidanan (maieutik& tekhne), ia mencari idea-idea umum yang terdapat dalam jiwa. ”Kenalilah dirimu sendiri” (gnbthi seauton), demikian semboyannya. Ia ingin memberantas idea-idea khayalan sofistis pada orang lain dan membangkitkan idea-idea yang baik dan sehat yang tersembunyi dalam batin mereka.

    Kegiatan Sokrates hanya sekedar percobaan. Karyanya lebih menyerupai Suatu usaha pertama untuk mengubah mentalitas daripada suatu sistem filosofis besar yang serba lengkap. Hal yang terakhir ini diupayakan oleh murid tercintanya yang bernama Plato.

    Tatap muka dengan Plato (427-347 SM) berarti perjumpaan dengan suatu pandangan filosofis tentang dunia dan manusia yang luar biasa. Visinya sangat Spiritualistis.

    Suasana pemikiran dan visi Plato itu belum hilang. Berabad-abad lamanya ia mempengaruhi pemikiran orang Barat, baik yang kafir maupun yang beragama. Augustinus dan kemudian Augustinisme telah mengawetkan inspirasi dan suasana pemikiran Plato sampai pada zaman modern. Berabad-abad lamanya, hampir sampai kini, dualisme Platonistis telah membekas dalam askesis dan mistik Kristiani dengan segala segi baik dan buruknya.

    Dalam bab tentang Plato ini, bisa saja kita terutama menyoroti ideologi politik Plato atau gambaran tentang negara ideal yang diberikannya dalam karyanya Politeia. Akan tetapi, hal ini tidak akan kita lakukan.

    Namun demikian, kiranya baik juga bila kita memandang sebentar cita-cita politik Plato karena ternyata hal itu memberi inspirasi sepanjang masa. Terutama setelah Sokrates — orang yang amat adil itu — dihukum mati dan dibunuh, Plato merasa jijik terhadap setiap sistem politik dan pemerintahan yang tidak adil. Lalu, ia mulai bermenung tentang negara ideal di mana hukum serta keadilan berkuasa sepenuhnya. Akan tetapi, apakah keadilan itu? Apakah keadilan dapat disamakan dengan kuasa orang yang paling kuat atau kegunaan para penguasa? Tidak.

    Keadilan adalah harmoni atau keselarasan. Keadilan berarti memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Negara yang benar dan adil baru akan terwujud bila semua bagiannya (golongan-golongan) secara harmonis bekerja sama sesuai dengan kesanggupan serta fungsi mereka masing-masing demi kesejahteraan bersama.

    Dunia Kayangan Plato                                                                                                 

    Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas tiga fungsi. Dalam jiwa kita terdapat suatu bagian keinginan (epithymia), suatu bagian energik (thymos), dan suatu bagian rasional (logos) sebagai puncak serta pelingkup. Jika keinginan serta energi — di bawah pimpinan rasio — dapat berkembang dengan semestinya, maka akan timbul manusia yang harmonis dan adil.

    Menurut analogi dengan bagian-bagian jiwa ini, Plato menganggap negara juga sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas tiga bagian atau golongan yang masingmasing sepadan dengan suatu bagian jiwa.

    Baca juga: Nunsius Mgr. Piero Pioppo Akan Kembali Berkati Gedung Keuskupan dan Kapel Kampus Katolik USA Ngabang 2023

    Pertama-tama terdapat golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang (epithymia), lalu ada golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit (thymos), dan akhirnya ada golongan pejabat (logos) yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan. Sebetulnya, Plato tidak berbicara tentang golongan produktif.

    Keinginanlah, terutama yang menandai golongan ini dan Plato sudah puas bila mereka hanya mempraktekkan keutamaan pengendalian diri dan menanggung kesejahteraan para prajurit dan pemimpin. Maklumlah, ia bukan rakyat biasa, ia seorang aristokrat! Plato memusatkan segala perhatiannya pada golongan kedua sebab dari golongan inilah para pemimpin harus direkrut. Golongan ini harus hidup dengan cara komunistis, tanpa uang atau milik pribadi lainnya, tanpa istri dan anakanak.

    Mereka harus mengarahkan segala perhatian kepada pertahanan negara dan mereka akan terganggu seandainya mempunyai barang milik dan keluarga sendiri. Siang malam mereka tinggal dalam tangsi dan mereka mendapat pendidikan yang ketat. Mereka harus menganggap keutamaan keberanian sebagai Cita-cita tertinggi.

    Bagi Plato, yang menjadi masalah pokok bagaimana dapat diperoleh anakanak yang berbakat dari kasta militer itu. Dalam pemecahannya, ia tidak menghiraukan perasaan orang dan bahkan tidak segan-segan memakai dusta yang ”bermanfaat”. Ia ingin menggunakan taktik eugenetis yang radikal sehingga para teoretisi nasional-sosialisme sebetulnya dapat berguru padanya.?

    Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia

    Golongan prajurit diumpamakannya dengan anjing penjaga dan anjing pemburu di mana dipakai bibit unggul untuk menjamin mutu jenisnya. Pada kesempatan pesta. pesta tertentu, diundanglah ”pengantin-pengantin untuk semalam” ke tangsi dan melalui undian yang diatur sebelumnya, dijaga supaya pengantin laki-laki dan perempuan dari ras yang rendah tidak akan bersetubuh dengan mereka yang berkualitas tinggi! Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan semalam itu tenty tidak pernah melihat orang tua mereka. Anak-anak itu dididik dan dibesarkan dalam panti asuhan negara.

    Mereka merupakan bibit-bibit terpilih untuk mencapai perjenjangan negara yang baik. Setiap anak diuji bakat dan kemampuannya dalam suatu sistem kodukasi. Yang energi serta keberaniannya kurang dan tidak mem. punyai inteligensi cukup untuk menjadi pemimpin, tetapi cocok untuk sektor produksi, mendapat tempat dalam golongan produktif. Yang lebih gesit dan lebih berani dapat diterima dalam golongan prajurit.

    Yang lebih cerdas di antara mereka mendapat lagi pendidikan filosofis yang khusus di bidang ajaran idea selama lima tahun, dari umur tiga puluh sampai dengan tiga puluh lima tahun. Sesudah itu, selama lima belas tahun mereka harus melakukan latihan lapangan dengan mengemban pelbagai tugas pemerintahan dan baru pada usia lima puluh tahun mereka diizinkan tampil sebagai pemimpin.

    Lalu, Plato menulis kalimat yang termasyhur ini: “Kesengsaraan negara-negara dan bahkan kesengsaraan seluruh umat manusia tidak akan berakhir … hingga para filsuf menjadi penguasa di dunia ini atau mereka yang sekarang menjabat sebagai raja atau pemerintah akan mempelajari filsafat dengan sungguh-sungguh dan dengan demikian kuasa politik dan filsafat terdapat dalam tangan yang sama” (Buku V, bab 18). Dari para pemimpin, terutama diharapkan kebijaksanaan serta keadilan dan mereka memenuhi persyaratan itu karena memiliki bakat rasional.

    Jadi, jika setiap orang diserahi tugas sesuai dengan kemampuannya dan mereka menunaikan tugas itu dengan tekun dan penuh tanggung jawab, maka akan terbentuk suatu negara yang ”adil” di mana setiap orang memberikan bagiannya dan juga menerima bagiannya di bawah pimpinan penguasa-penguasa yang arif bijaksana.

    Ideologi politik Plato ini – dalam arti tertentu — merupakan konkretisasi dari ajarannya tentang idea. Karena itu, patutlah kita di sini secara khusus menyoroti ajaran itu.

    Catatan Kaki:

    1 Ekstraversi: sikap psikologis di mana perhatian seseorang terarah pada dunia di luar dan orang lain. Lawannya adalah introversi: sikap psikologis di mana perhatian sescorang dipusatkan pada pikiran dan perasaannya sendiri. Kata sifatnya adalah “”ekstravert” dan ” introvert”.

    2 “Seorang Kopernikus” karena ia mengakibatkan suatu perubahan radikal dalam pandangan Yunani, sebagaimana Kopernikus yang historis mengakibatkan suatu perubahan radikal dalam pandangan tentang hubungan antara bumi dan matahari.

    3 Eugenetika (kata sifat: eugenetis) adalah studi tentang serta usaha untuk memperbaiki ciri-ciri ras dari generasi-generasi yang akan datang. Ilmuwan Inggris terkemuka, Francis Galton (1822-1911), adalah peletak dasar eugenetika modern. Dalam nasional-sosialisme Hitler, eugenetika digunakan — dengan cara ekstrem — untuk meningkatkan ras Jerman melawan ras-ras yang dianggap rendah, seperti bangsa Yahudi.

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles