Friday, November 7, 2025
More

    Pandangan dari Aspek Argumentasi dan Narasi dengan Struktur Politik Nasional

    Oleh: Sepriadi Prawana/ Mahasiswa Universitas Terbuka

    MajalahDUTA.Com, Pendidikan- Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualauan dengan jumlah lebih dari 17.000 yang sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

    Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan dengan bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari masyarakat tentang perlunya managemen pemerintahan yang baru.

    Hal tersebut disebabkan bahwa pemerintahan yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan. Tuntutan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.

    Bagian I: Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah di Indonesia?

    Dalam hal ini penulis melakukan pengkajian literasi berkaitan dengan otonomi daerah terkait filosofi terselenggara hingga pengaruh keberhasilan yang dikaji dari kekuatan atau kelebihan dari kebijakan dalam pemenuhan tuntutan pembangunan nasional secara general.

    Latar belakang yang memicu lahirnya kebijakan otonomi daerah di Indonesia selain didorong oleh faktor demografi dan geografis seperti yang tergambar dari konteks soal melainkan dikarenakan adanya desakan atas kebijakan politik sentralisasi sebagai aspirasi di masa orde baru yang turut berkontribusi dari lahirnya kebijakan ini.

    Baca juga: Sebuah Konsep Pendidikan Berkarakter Dominikan

    Argumentasi kuat yang disampaikan yakni tertutupnya ruang untuk turut kontributif dalam pengawasan kebijakan dan monitoring keterlaksanaan ketatanegaraan sehingga riskan dengan penyelewengan internal dalam tubuh institusi.

    Faktor perwujudan good government dan governance juga menjadi pemicu untuk melahirkan sistem yang sistematik dan mendukung arus demokrasi yang berorientasi pada keterlibatan masyarakat dalam urusan yang berhubungan dengan unsur ketetanegaraan.

    Adapun faktor pendukung terselenggaranya kebijakan otonomi daerah yang termuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ini dikarenakan, dikaji dari buku Implementing Decentralization Policies: An Introduction (1988) oleh Dennis A. Rondinelli And G. Shabbir Cheema, diasosiasi didalamnya faktor yang mempengaruhi terlaksananya kebijakan yakni:

    Faktor Environmental Conditions

    Dalam faktor ini terdapat beberapa aspek yang disertakan yakni struktur politik nasional, proses perumusan kebijakan, infrastruktur politik, dan berbagai organisasi kepentingan, serta tersedianya sarana dan prasarana fisik.

    Dalam skala nasional, dapat dikaji bukti konkrit aplikasi komponen-komponen tersebut seperti perumusan kebijakan melalui lahirnya UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah mengganti pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah guna menyempurnakan poin kebijakan terkait otonomi daerah secara teknis dalam skala penyelenggaraan pemerintah daerah, dari segi infrastruktur politik dan sarana dan prasarana fisik manifestasinya dapat diwujudkan dalam sumber daya dalam keterlaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah.

    Faktor Inter-Organization Ships

    Faktor ini mengandung substansi bahwa dalam perealisasian kebijakan dan pencapaian tujuannya diperlukan integrasi antar organisasi pada setiap tingkatan pemerintah. Pada hakikatnya hal teknis terkait integrasi antar instansi dalam skala Pemerintah Daerah telah diatur UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, berikut dengan poin instruksi yang terintegrasi satu sama lain sehingga kinerja Pemerintah Daerah akan hadir dengan performa baik jika proses maintaining and management yang baik pada Dinas di berbagai sektor.

    Faktor Resources For Program Implementation

    Kondisi lingkungan yang kondusif dalam arti dapat memberikan diskresi lebih luas kepada pemerintah daerah dan hubungan antarorganisasi yang efektif diperlukan untuk terlaksananya otonomi daerah. Dalam hal ini substansi terkait reformasi birokrasi pemerintah daerah merupakan langkah lanjutan dalam rangka mengefektifikan kinerja pemerintahan daerah yang dapat berimplikasi pada kemudahan urusan bagi masyarakat terkait administrasi sebagai contoh representatif dari faktor terselenggaranya kebijakan otonomi daerah ini.

    Faktor Characteristic Of Implementing Agencies

    Kemampuan para pelaksana di bidang keterampilan teknis, manajerial, politik, serta kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan setiap keputusan baik dari sub unit organisasi, maupun dukungan dari lembaga politik nasional dan pejabat pemerintah pusat lainnya.

    Pemenuhan kebijakan terkait teknis hingga proses monitoring dan evaluasi keterlangsanaan pemerintah daerah sebagai akibat dari terselenggaranya otonomi daerah menjadi bukti konkrit keberhasilan keterlaksanaan otonomi daerah itu sendiri, untuk selanjutnya dukungan dari lembaga politik nasional dan pejabat pemerintah pusat lainnya dapat ditunjukkan dengan melakukan supervise atas keterlaksanaan setiap komponen teknis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

    Bagian II: Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan otonomi daerah di Indonesia!

    Berdasarkan aspek-aspek dalam ruang lingkup hambatan dalam terselenggaranya dalam pelaksanaan otonomi daerah yang dimuat dalam bahan ajar Universitas Terbuka, penulis akan melakukan interpretasi berikut dengan analisis yang dijabarkan demikian.

    Perbedaan Konsep dan Paradigma

    Adanya Perbedaan Konsep bisa dimulai dengan argumentasi Pasca diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 menjadi fenomena normal terdapat perbedaan interpretasi berkaitan dengan konsep otonomi daerah diawal pemberlakukan, hal ini dipicu karena belum mapannya sistem dan substansi yang termuat dalam Undang-Undang yang kemudian munculnya pengembangan seiring hadirnya diskursus substantif yang dilakukan pihak terkait, Dimuat dalam bahan ajar bahwa terdapat anggapan bahwa otonomi dimaknai sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.

    Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat yang berpotensi munculnya ketidakteraturan sistem tanpa pengawasan dari pusat dalam mencapai tujuan pembangunan dalam skala nasional.

    Perbedaan Paradigma mempengaruhinya kemunculan paradigma politik dan terhambatnya terselenggaranya otonomi birokrasi publik karena intervensi dari rezim yang berkuasa. Rezim yang memiliki karakteristik dalam melimitasi kebebasan birokrat level bawah dalam memproduksi kebijakan dalam skala daerah.

    Baca juga: Berfokus pada pendidikan dapat mempromosikan toleransi dan persaudaraan manusia

    Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Landasan ini diinterpretasi penulis bahwa eksistensi kebijakan otonomi daerah berikut dengan pengaturan teknis penyelenggaraan Pemerintah Daerah hanya sebagai formalitas semata atau tidak dianggap sebagai kebijakan esensial karena sejauh apapun keterlaksanaan akan diintervensi dengan keputusan dalam skala nasional yang akan menghambat kebijakan dari birokrat level dibawahnya.

    Penulis meyakini bahwa paradigm ini masih tumbuh pada masyarakat/ organisasi tertentu, dengan problematika terkait terselenggaranya atau tidaknya demokrasi masih mencuat ditengah masyarakat.

    Kuatnya Paradigma Birokrasi

    Dalam implementasinya, komponen dalam penyeleenggaraan Pemerintah Daerah meliput penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut.

    Diidentifikasi bahwa pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan dalam memproduksi kebijakan khusus dikarenakan legitimasi dari pihak nasional dituntut hadir.

    Dalam hal ini diperlukan adanya keberseimbangan dalam hadirnya keleuasaan yang merupakan esensi fundamental  dari konsep desentralisasi itu sendiri, disamping hadirnya supervisi intensif dari Pemerintah Pusat untuk melakukan intervensi dalam skala berlebihan dengan menentukan secara tegas arah kebijakan dengan tidak mempertimbangkan kebutuhan lokal.

    Bagian III: Lemahnya kontrol wakil rakyat dan masyrakat

    Diperiode awal keterlaksanaan dari kebijakan otonomi daerah itu sendiri muncul fenomena bahwa peranan wakil rakyat dan masyarakt dalm mengontrol eksekutif yang diperspektifkan sebagai implikasi dari lahirnya kebijakan otonomi daerah itu sendiri.

    Birokrasi daerah dianggap melayani kepentingan kepentingan pusat, daripada melayani kepentingan masyarakat lokal juga menjadi argumentasi khusus yang turut menghiasi keterhambatan pelaksanaan otonomi. Integrasi peran dalam sistem matang untuk mengatur keterlaksanaan instansi esensial diperlukan hadir agar setiap lembaga memiliki peran fungsional dalam menciptakan kebijakan yang berkeadilan.

    Kesalahan strategi

    Jika faktor hambatan keterlaksanaan otonomi daerah sebelumnya berorintasi pada Pemerintah Pusat, kesalahan strategi dapat diorientasikan pada Pemerintah Daerah dalam bertindak sewenang-wenang tanpa kompetensi analisis kebutuhan yang matang, sehingga yang muncul adalah ketidakterjangkauannya kebutuhan lokal dengan baik dan berimplikasi pada kerugian Negara.

    Baca juga: Pastor Johanes Robini: Manajemen Universitas Katolik, Jangan Emosional, Bertanyalah dan Komunikasikan

    Hal ini dapat diantisipasi dengan adanya supervisi dengan instrument yang matang dari pemerintah dilevel atasnya dalam memonitoring proses analisis kebutuhan lokal disertai dengan materi evaluasi dan refleksi untuk membuat permintaan pemenuhan kebutuhan daerah sesuai realitas dengan mempertimbangkan kepentingan daerah lainnya yang juga diakomodasi oleh Pemerintah Pusat.

    Bagian IV Dari uraian di atas lakukanlah telah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

    Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memuat substansi berkaitan dengan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam proses perancangan undang-undang dalam pasal 96 dinyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan amsukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan” artinya secara hukum masyarakat diberikan perlindungan dalam memberikan masukan termasuk dalam proses rancangan undang-undang  termasuk dalam konteks yang berkenaan dengan otonomi daerah yakni UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah dari segi konstruksi kebijakan hingga perealisasian.

    Ruang itu dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menciptakan nuansa demokratis untuk memasukkan muatan aspiratif dengan jalur konstitusioanal.

    Bahkan dalam paradigma khusus menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah akan berjalan jika baik jika hubungan antara pemerintah dan masyarakat berintegrasi dalam skala baik.

    Hal ini diperspektifkan akan memunculkan pengelolaan pemerintah yang baik melalui penjaringan aspirasi yang menyeluruh disertai dengan penyertaan pemberlakuan khusus atas variasi aspirasi yang disampaikan sehingga objektifitas kebijakan publik akan mengarah pada titik yang baik hingga optimum.

    Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan begitu juga dengan peraturan daerah dapat diartikan sebagai partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik merupakan salah satu ciri dari penyelenggaraan negara demokratis.

    Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, khususnya dalam pembentukan peraturan daerah sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan kondisi di suatu tempat dan waktu. Dalam negara demokrasi dengan sistem perwakilan, kekuasaan pembentukan undang-undang atau peraturan daerah hanya ada di tangan kelompok orang-orang yang telah dipilih melalui pemilihan umum.

    Dalam hal ini, setiap wakil itu akan bertarung di parlemen demi kepentingan umum dan bila mereka bertindak sebaliknya, maka disnilah letak titik kontrol yang utama dari rakyat kepada wakilnya di parlemen. Alat kontrol lain yang digunakan masyarakat adalah demonstrasi atau bentuk-bentuk pengerahan massa lainnya, atau bisa juga melalui prosedur hukum.

    Dengan demikian, untuk mencapai tujuan peraturan perundang- undangan tersebut syarat pertama yang harus dipenuhi adalah keterlibatan rakyat/partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembentukan Peraturan Daerah atau kebijakan lainnya mulai dari proses pembentukannya, proses pelaksanaannya di lapangan dan terakhir tahap evaluasi

    Dalam menyikapi faktor yang menyebabkan terhambatnya penyelenggaraan otonomi daerah dan pelimpahan wewenang khusus pada pemerintah daerah, masyarakat diberikan ruang untuk kontributif dalam menyampaikan aspirasi berkaitan dengan substansi poin pada regulasi berikut dengan implementasi atas butir reluasi berkaitan dengan teknis penyelenggaraan pemerintah daerah.

    Ruang lingkup yang dapat diintervensi dapat mencakup implementasi analisis kebutuhan lokal yang tidak tepat sasaran serta minimnya atau menutup ruang keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut oleh Pemerintah Daerah hingga monitoring Pemerintah Pusat dalam memberikan ruang bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan tugas analisis kebutuhan daerah dan menentang adanya intervensi berlebihan dalam menutup ruang demokrasi sekaligus untuk menjaga nilai fundamental dari kebijakan otonomi daerah dalam menjangkau kebutuhan masyarakat hingga ketingkat bawah dalam rangka  mengakomodasi seluruh komponen esensial untuk dipenuhi dan dikelola sebagaimana mestinya.

    Akomodosi pada Kebutuhan Lokal

    Dalam hal ini masyarakat seyogianya berdaya untuk memperjuang hak termasuk dalam pengharapan akan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang terorganisir dengan baik dengan melakukan akomodosi pada kebutuhan lokal yang tepat sasaran, dan Pemerintah Daerah dalam rangka menciptakan keterpenuhan itu melakukan tindakan dan berkebijakan dalam menghadirkan pemerintahan yang ramah dengan input masyarakat dan cara penyampaian yang rasional dan konstitusional.

    Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang penting yang mengringi kuatnya keinginan untuk praktek good governance.

    Baca juga: Peresmian dan Pemberkatan Gereja Stasi Tertua: Paroki Santo Fidelis Sungai Ambawang

    Masyarakat diberikan kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan apakah akan memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.

    Bagian V: Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good governance!

    Menurut perspektif penulis berdasarkan studi literasi yang dilakukan berkaitan dengan konsep dari good governance itu sendiri, penulis berkesimpulan bahwa good governance dapat dimaknai sebagai perwujudan tata kelola pemerintah yang baik.

    Banyak indikator ataupun aspek yang perlu disertakan untuk menetapkan apakah pemerintahan tertentu menjalankan tata kelola berskala baik atau sebaliknya. Untuk mewujudkan tata kelola yang baik tidaklah mudah, banyak atensi yang perlu dikerahkan sehingga seluruh komponen esensial berada ditaraf optimal. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian khusus yakni keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan.

    Lebih khusus mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dan sebagai pihak yang sadar akan pentingnya peningkatan intelektualitas untuk meningkatkan taraf hidup pribadi dan bangsa.

    Dengan demikian dedikasi yang ditunjukkan melalui penyampaian aspirasi dari kacamata mahasiswa dan atau representasi masyarakat perlu diberikan atensi khusus termasuk dalam proses konstrusksi kebijakan dilevel pemerintahan.

    Mahasiswa dikenal sebagai golongan yang vocal jika dihadapkan dengan kecenderungan kekeliruan dalam kebijakan tertentu, sikap ini patut diapresiasi karna sistem demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan aktifnya peran mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi yang dapat membuka ruang diskursus untuk memeprtimbangkan kembali atau bahkan menggagalkan hadirnya manifestasi kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat dalam skala luas.

    Istilah Agent of Control

    Dalam hal ini istilah Agent of Control layak disematkan kepada kaum mahasiswa yang tergolong aktif dari era orba hingga saat ini performa tidak padam dalam menunjukkan kontribusi dan kepeduliannya pada kepentingan bangsa. Dalam hal ini mahasiswa berperan dalam memonitoring kebijakan berikut dengan detail yang ada didalamnya sehingga muncul momentum untuk meninjau kembali butir yang dikritisi atau bahkan mekanisme distribusi informasi oleh si pembuat kebijakan atas miskomunikasi yang terjadi dalam kondisi khusus.

    Setidaknya melalui hadirnya momentum dalam menyampaikan input khusus pada pemerintah dapat berpengaruh pada terciptanya diskursus substantive yang lebih mendalam dengan demikian pematangan kebijakan akan tercipta sebagaimana mestinya.

    Baca juga: Part 2: Slogan “Be a brother for all”

    Good governance dapat terwujud melalui terjaringnya variatif aspirasi untuk kemudian argumentasi itu dapat menjadi materi dalam mempertimbangkan kebijakan tersebut untuk dilegitimasi atau sebaliknya, dengan aktifnya ruang demokrasi yang luas dan permisif maka akan memungkinkan hadirnya kebijakan  yang objektif dengan melakukan konsiderasi pada detail-detail hingga dalam taraf spesifik.

    Dalam beragam literasi dimuat beberapa  istilah yang disematkan kepada mahasiswa sebagai pihak yang dianggap kontributif dalam pembentukan good governance itu sendiri.  Beberapa fungsi yang dimaksud yakni sebagai berikut:

    Agent of Change

    Mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan dikarenakan menjadi garda terdepan dalam melakukan pergerakan dengan basis independen dan dedikasi. Bukti konkrit melalui aksi 1998 yang menyebabkan orde baru tumbang.

    Social Control

    Fungsi mahasiswa sebagai kontrol sosial menjadi urgen dalam memonitoring kecenderungan kekeliruan dalam penyelenggaraan kebijakan dan output yang dihasilkan. Melalui aspirasi pada permasalahan sosial di masyarakat maupun bangsa dapat melahirkan good governance yang menjadi harapan bersama.

    Iron Stock

    Sebagai generasi penerus bangsa mahasiswa seyogianya diberikan ruang untuk eksplorasi diri dan menunjukkan diri sebagai insan berguna yang kontributif dalam pembentukan good governance. Melalui argumentasi yang berkualifikasi baik maka setiap komponen esensial dalam tata kelola pemerintah akan aktif sebagaimana mestinya dalam mengarah pada output yang baik pula.

    Dengan demikian peran dan semangat mahasiswa dalam memperjuangkan marwah golongan dan bangsa perlu mendapat tempat dalam tubuh lembaga yang memproduksi kebijakan agar hal-hal yang diharapkan dalam hidup bernegara yang menjunjung tinggi hadirnya demokratisasi sebagai simbol, dari good governance dapat tampak jelas manifestasinya.

    Related Articles

    spot_img
    spot_img

    Latest Articles