MajalahDUTA.Com, JPIC- Pemanasan global berdampak langsung pada peningkatan suhu dipermukaan bumi.
Lapisan ozon sudah berkurang-menipis, sehingga matahari terasa begitu panas yang menyengatkan, kemudian datang hujan dan angin yang dahsyat. Perubahan cuaca-iklim yang ekstrem ini menyebabkan bencana banjir bandang, tanah longsor seperti terjadi di Nusa Tenggara Timur (pulau Timor, Lembata, dan Adonara) setahun yang lalu.
Selain itu, seperti di Melawi, Sintang, Sekadau, dan Sanggau (Kalimantan Barat) terjadi banjir karena air di sungai meluap, sehingga mengenangi kota dan perkampungan dalam beberapa hari.
Baca juga: JPIC: Organisasi Peduli Semesta
Itu semua sebagai tanda bahwa alam-lingkungan hidup tidak bersahabat-harmonis lagi dengan manusia. Lingkungan hidup (ekologi) sedang mengalami krisis atau sakit-menderita bahkan manusia juga ikut merasakannya.
Bencana yang demikian bukanlah hukuman dari Allah melainkan ulah dari perbuatan manusia sendiri.
Cerita Nabi Nuh selaras dengan Krisis alam
Kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya di planet bumi kita sekarang sangat terancam. Ancaman dahsyat dari pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrem pada sumber kehidupan, yakni kematian. Hal ini karena egonya manusia yang mencemarkan sarangnya sendiri.
Bencana banjir bandang dan sungai meluap dalam beberapa hari terendam air mengingatkan kita pada cerita air bah Nabi Nuh (Kej 7:1-24). Cerita itu bukan hanya tentang Allah dan nasib manusia melainkan pemusnahan dan penyelamatan seluruh alam ciptaan.
Cerita Nabi Nuh ini sangat menarik dan membantu kita menggumuli krisis ekologi. Pengalaman tersebut dapat membangkitkan kesadaran ekologis, memberi peringatan keras akan kerusakan, dan memberi harapan baru bagi kita.
Kabar Baik Tentang Dunia Ciptaan
Daging memang lemah, tetapi Roh Allah kuat terus bekerja. Kita tidak dapat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mampu memberi solusi teknis atas krisis ekologi. Kita juga tidak terlalu banyak berharap bumi sendiri menyembuhkan dan memulihkan sakit-deritanya sendiri.
Kita perlu menyadari dan mengakui kesalahan karena sifat serakah, arogan dan eksploitasi, sehingga menimbulkan adanya masalah serius krisis ekologi. Tidaklah cukup hanya menyadari dan mengakui, tetapi kita perlu bertobat secara ekologis. Dosa-dosa ekologis mendorong kita untuk berubah dalam cara pandang, sikap dan tindakan sesuai dengan rencana penciptaan.
Baca juga: JPIC (Justice Peace And Integrity Of Creation)
Di sini bukan hanya tugas agama, pendidikan, kebudayaan, melainkan semua bidang kehidupan memberi pencerahan dan dorongan kepada segenap masyarakat untuk menghayati relasi secara baik dan benar terhadap ekologi yang sedang menghadapi krisis dan mengancam kehidupan di planet bumi ini.
Pertobatan Ekologis
Pertobatan ekologis didasarkan pada iman. Iman akan Yesus Kristus memberi kita suatu visi yang lebih utuh tentang makna bumi, manusia dan semua makhluk hidup lainnya.
Iman memotivasi kita untuk melindungi alam ciptaan dan sesama manusia yang paling rentan. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si menyerukan kita perlu menggali motivasi ekologis dalam tradisi iman dan Alkitab.
Dalam Alkitab kita mendapatkan kabar gembira bagaimana Allah menciptakan alam semesta beserta isinya, kedudukan dan peran manusia atas ciptaan itu.
Manusia sebagai Citra Allah diberi tanggung jawab untuk mengolah dan mengusahkan alam bukan mengeksploitasi dan merusaknya.
Kabar gembira ini mestinya diwujudkan juga bila kita berhadapan atau memandang alam raya. Karena alam semesta ini merupakan karya tangan Allah dan jejak Allah, sehingga dengan memandangnya membawa kita sampai pada Sang Pencipta sendiri.
Hikmat Ekologis dalam Penciptaan
Kitab Kejadian 1-3 mengisahkan penciptaan dan manusia diberi tanggung jawab khusus terhadap karya ciptaan lainnya. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Manusia diundang untuk masuk dalam relasi harmonis dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta.
Dalam relasi tersebut, manusia berkewajiban merawat, menjamin keberlangsungan- kesuburan bumi demi kepentingan makhluk lain dan generasi yang akan datang. Manusia diberi tanggung jawab untuk menjaga keserasian, keharmonisan, dan keutuhan bumi ciptaan Allah. Hikmat ekologis dari Allah tersebut janganlah disia-siakan demi kepentingan dan kesenangan manusia serta mengorbankan yang lain.
Bahkan manusia tidak mempunyai hak untuk merusak, mematikan, dan memusnahkannya. Semua ciptaan adalah milik Allah yang dititipkan kepada manusia.
Walaupun manusia itu lemah, salah, dan dosa, Allah masih mengampuni dan tetap sayang peduli kepadanya. Seperti nabi Nuh, Allah berkenan dan melibatkannya untuk menyelamatkan segala jenis makhluk hidup dalam sebuah bahtera terhadap air bah yang menenggelamkan bumi (Kej. 6:8-10,14, 7:24).
Pengalaman ini menunjukkan bahwa Allah menyelamatkan dan memulihkan kembali bumi bagi manusia (Kej 8:1-19). Allah tetap setia kepada bumi ciptaan-Nya dengan memanggil Abraham untuk menjadi berkat bagi segala kaum di bumi (Kej. 12:1-3).
Krisis-krisis ekologi yang kita alami saat ini pun memberi sebuah harapan ada solusi. Krisis ini sebagai ujian bahwa badai pasti berlalu atau habis gelap terbitlah terang. Hikmat akan mendorong manusia selalu berharap pertolongan dan bantuan dari Allah.
Kristuslah Pendamai Segalanya
Yesus mendamaikan segala ciptaan, menegakkan keadilan, dan memulihkan keutuhan ciptaan. Hal ini mendorong kita belajar dari Yesus Kristus cara memandang dan menangkap pesan dari setiap makhluk.
Yesus melihat alam semesta dan manusia sebagai tanda-tanda penyelenggaraan dan kasih Bapa untuk segala makhluk-Nya (Mat. 6:26-30). Mereka semua didandani, dibekali, dan diingat oleh-Nya, sampai yang terkecil pun (Luk. 12:6).
Benih-benih yang ditaburkan dan jatuh di aneka macam tanah, atau pun biji paling kecil yang menjadi perdu sesawi yang besar, berbicara kepada Yesus tentang hal-ihwal Kerajaan Allah (Mat. 13). Yesus dapat menangkap pesannya sebab Ia hidup dalam keserasian-keharmonisan dengan alam ciptaan. Alam, danau, angin pun taat kepadanya (Mrk. 4:39-41).
Perjanjian Baru mengajar kita bahwa Kristus berelasi dengan alam ciptaan. Relasi-Nya dengan dunia ciptaan mencakup seluruh perjalanan-Nya dari awal mula penciptaan sampai akhir zaman.
Baca juga: Persepsi Masyarakat Adat dan Kapitalis terhadap Alam
Asal dan tujuan seluruh ciptaan ada dalam misteri Kristus. Alam ciptaan bukan hanya baju yang akhirnya kita tanggalkan dan tinggalkan, tetapi berziarah bersama manusia menuju Allah. Di akhir zaman, Anak akan menyerahkan segala sesuatu kepada Bapa, supaya “Allah menjadi segala di dalam segalanya” (1Kor 15:28).
Tujuan akhir alam semesta pun ada dalam kepenuhan Allah, dan bukan dalam manfaatnya bagi kita (LS 100). Manusia yang diberkati dengan kecerdasan dan cinta, serta ditarik kepada kepenuhan Kristus, dipanggil untuk mengantar semua makhluk kembali kepada Asal dan Tujuan mereka (LS 83).
Laudato Si
Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik Laudato Si, “Terpujilah Engkau” (24 Mei 2015) tentang perawatan bumi, rumah kita bersama. Diilhami oleh Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Asisi, Paus mengingatkan kita bahwa bumi bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan sebagai seorang ibu yang mengasuh kita.
Paus berseru agar umat Katolik bersama seluruh masyarakat dunia bangun dari sikap acuh, membuka mata bagi kerusakan bumi, mencari serta mengusahakan suatu solusi sebelum terlambat.
Baca juga: Paus: Liturgi harus memandang Tuhan tanpa duniawi
Kerusakan lingkungan hidup sekarang ini merupakan akibat kegiatan manusia dan bukanlah suatu proses alamiah yang memang juga sudah beberapa kali terjadi dalam sejarah panjang kehidupan di bumi.
Dengan cerita Nabi Nuh, teladan Yesus Kristus dalam relasi serasi-harmonis dengan alam, dan ajakan Paus Fransiskus, kita selalu berharap dan optimis bahwa masih ada kemauan dan semangat dalam mencari solusi untuk mengatasi krisis lingkungan hidup ini.