Saturday, December 9, 2023
More

    Persepsi Masyarakat Adat dan Kapitalis terhadap Alam

    Wawancara tim JPIC-Bruder MTB

    MajalahDUTA.Com, Pontianak– Bumi menyediakan hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk orang-orang yang serakah (Mahatma Gandhi).

    Manusia terus bertambah, tetapi bumi (tanah, air, dan udara) tidak. Kebutuhan manusia kian meningkat sementara sumber daya alam semakin berkurang. Ada benarnya kata Mahatma Gandhi.

    Bila manusia tidak mengendalikan kebutuhannya, sumber daya alam di bumi ini tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

    Baca juga: JPIC: Organisasi Peduli Semesta

    Inilah bedanya, persepsi masyarakat adat dan kapitalis terhadap kebutuhan dan sumber daya alam yang tersedia di bumi.

    Masyarakat adat memandang alam sebagai bagian penting yang menyatu dengan hidupnya, sehingga perlu dijaga dan dirawat, diperlakukan secara hormat dan bernilai spiritual (rohani). Sementara kapitalis melihat alam sebagai sumber kekayaan, sehingga dieksploitasi untuk mendapat keuntungan yang banyak.

    Perbedaan persepsi tersebut mengakibatkan krisis lingkungan hidup yang mendera kita sekarang ini.

    Paradigma, sikap dan perilaku

    Fenomena pandemi Covid-19 mulai menurun – berkurang, tetapi kita perlu serius berpikir atas krisis lingkungan hidup bahkan multidimensi krisis. Paradigma, sikap dan perilaku manusia masih kurang menghormati, menghargai, peduli pada alam semesta beserta isinya dan memperlakukannya secara tidak bertanggung jawab.

    Ulah manusia tersebut menimbulkan masalah seperti banjir dan erosi akibat deforestation (penggundulan hutan), krisis energi, polusi atas tanah, air, dan udara yang mendatangkan penyakit. Di samping itu, masalah global warming (pemanasan global) berdampak pada anomali iklim dan panas bumi yang ekstrim.

    Perilaku manusia yang berlebihan mengeksploitasi alam dan landskap pembangunan tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis merupakan ancaman pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.

    Persoalan krisis lingkungan hidup dan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa perilaku manusia telah kehilangan kepedulian akan lingkungan hidup, menurunnya relasi harmonis antara manusia dan lingkungan hidup, manusia gelap melihat kesakralan-spritual (rohani) dari alam, sehingga perlu dicari solusi agar dapat menyembuhkan dan memulihkan ibu bumi demi keberlangsungan hidup kini dan mendatang.

    Relasi manusia dengan hutan

    Kalimantan sebagai pulau terbesar dan memiliki hutan tropis menjadi penjaga ekosistem bumi dan paru-paru di kawasan Indonesia, Asia, bahkan dunia. Pohon-pohon yang melimpah di hutan dan emas di sungai kini terancam di ambang kepunahan akibat eksploitasi pemegang konsesi hutan dan penambang.

    Hal ini berdampak pada deforestasi dan menurunnya jumlah spesies hutan dan sungai, serta kualitas air yang buruk. Potret perilaku masyarakat industri hutan dan tambang ini bertolak belakang dengan perilaku ekologis masyarakat adat (Dayak) yang tinggal dan hidup selama berabad-abad di sekitar hutan dan sungai.

    Baca juga: JPIC (Justice Peace And Integrity Of Creation)

    Masyarakat lokal memiliki cara tersendiri dalam memelihara dan menjaga hutan, tanah, sungai, binatang, dan sumber daya alam lainnya. Masyarakat mempunyai nilai kearifan lokal yang membangun perilaku dalam menjaga dan merawat lingkungan hidup. Leluhur telah mewariskan nilai-nilai rohani dan etika hidup bagaimana memperlakukan alam semesta dan berelasi dengannya.

    Relasi manusia dengan hutan, tanah, sungai pada masyarakat adat merupakan suatu jalinan yang menyatu dan utuh.

    “Kami selalu ingat Adat dan Budaya”

    Dalam berelasi dengan alam, menurut Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Singkawang, Drs. Stepanus Panus mengatakan bahwa setiap orang Dayak pada dasarnya taat dan patuh kepada adat.

    Setiap kali melangkah dan melakukan, kami selalu ingat akan adat dan budaya. Sejak zaman dahulu leluhur kami sudah terbiasa hidup dengan alam.

    Oleh karena itu, kami menyadari bahwa alam itu sungguh sangat penting, sehingga perlu dijaga dan dirawat ekosistem yang ada di dalamnya. Untuk menjaga relasi ini, DAD menjadi garda terdepan.

    Relasi manusia dengan alam bukan hanya berfungsi sosial melainkan menyatu, sehingga dikatakan alam itu sakral.

    Dalam hal ini ada kebiasaan orang Dayak ketika hendak melakukan sesuatu dengan alam dimulai dengan ritual adat. Artinya kami berelasi-berkontak dengan pemilik alam, yang disebut “Jubata” (Tuhan) untuk mendapat petunjuk dan direstui atau tidak. Misalnya ketika membuka ladang, kami pergi membawa batu asa ke suatu tempat.

    Selang dua atau tiga hari, kami akan mendengar tanda-tanda kicauan burung, apakah boleh atau tidak? Kalau boleh-diizinkan, kami mulai membuka lahan itu karena ada keyakinan tidak ada yang akan merusak ekosistemnya.

    Baca juga: Menilik Jejak Sejarah Kongregasi Bruder MTB

    Jika tidak direstui, kami akan membatalkannya. Berkaitan dengan tempat sakral itu tergantung di daerah masing-masing. Ketua DAD menegaskan jika itu tempat sakral biasanya dibuat ritual berupa tolak bala, di Singkawang itu namanya “besam besam.”

    Kami membuat ritual bersama-sama di kampung itu, setelah ritual dibuat masyarakat tidak boleh keluar lagi dari kampung selama sehari-semalam, sehingga dengan begitu kampung tersebut dianggap bersih dari macam-macam gangguan atau untuk mengusir roh jahat.

    Berlanjut, Baca Bagian 2…

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles