MajalahDUTA.Com, BKSN- (Series I Pendahuluan) – “Carilah Aku, maka kamu akan hidup!” (Am. 5:4). Tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa kemunculan wabah Covid-19 akan amat memengaruhi kehidupan dan kegiatan keagamaan.
Gereja sendiri mengalami hal yang sama. Di masa-masa sulit tersebut, terutama di tahun 2020, perayaan-perayaan sakramen dan sakramental tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Pelayanan sakramen bahkan ditangguhkan demi menghindarkan terjadinya kerumunan yang dapat berakibat pada penyebaran yang lebih masif dari wabah tersebut.
Perayaan besar seperti Paskah dan Natal di tahun tersebut dilakukan dengan protokol yang amat ketat, sehingga hanya beberapa orang saja yang bisa mengikutinya secara langsung.
Dalam situasi seperti itu, Gereja memperkenankan umat untuk mengikuti perayaan Ekaristi dan perayaan lainnya melalui tayangan televisi maupun media daring.
Baca juga: Mendalami Teks dari Nabi Amos dan Nabi Hosea
Kebijakan ini mungkin bukan yang terbaik, tetapi perlu sebagai upaya tanggap darurat di samping upaya lain seperti penyebaran teks-teks ibadat agar keluarga-keluarga dapat berdoa atau beribadat di rumah masing-masing.
Lambat laun, orang mulai terbiasa mengikuti kegiatan ibadat atau perayaan Ekaristi melalui fasilitas streaming dari internet. Ada aspek positif yang bisa muncul dari hal ini, namun praktik demikian bisa memunculkan pemahaman yang salah akan perayaan bersama dari komunitas gerejawi.
Orang bisa-bisa menjadi mapan dengan pola seperti itu dan menjadi enggan untuk mengikuti perayaan Ekaristi secara langsung, padahal persatuan yang intim dengan Tuhan dalam komuni pada perayaan Ekaristi tidak dapat tergantikan oleh perayaan secara daring atau melalui fasilitas streaming.
Hal lain yang bisa jadi muncul adalah tidak lagi merasa terikat pada persekutuan iman dengan sesama anggota jemaat. Orang bisa jadi lebih memilih (dan bisa juga membentuk) komunitas-komunitas sendiri yang menjauhkan mereka dari persatuan dengan jemaat parokinya.
Persatuan dengan jemaat merupakan perwujudan dari persekutuan di dalam Tuhan, yang merangkum semua orang dari segala lapisan dan golongan, termasuk dengan mereka yang mungkin tidak kita inginkan. Persekutuan iman meminta kehadiran dan kebersamaan setiap anggota jemaat.
Yesus Kristus sendiri hadir dalam kebersamaan dengan keluarga Nazaret. Injil Lukas menulis, “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka” (Luk. 2:51).
Ini berarti Yesus juga tinggal bersama semua orang sekampung-Nya dan berjuang bersama dengan mereka. Jemaat perdana juga saling meneguhkan satu sama lain dengan berkumpul dan berdoa bersama (Kis. 2:41-47). Kebersamaan tersebut menjadikan mereka kuat dalam iman kepada Tuhan.
Baca juga: Allah sebagai Harapan Hidup Baru
Hal yang sama telah dibuat Maria bersama para rasul. Setelah Yesus naik ke surga, mereka pun berkumpul bersama dan berdoa (Kis. 1:12-14). Di tengah situasi pandemi, kekuatan iman kita dan persatuan kita dengan Gereja diharapkan tetap kokoh.
Ketika menghadapi tantangan yang amat besar yang mengancam keberadaan mereka, para rasul memilih untuk berkumpul dan berdoa. Sebagaimana mereka, semangat berdoa dan kebersamaan hendaknya menjadi andalan utama kita dalam menghadapi masa yang serba tidak pasti ini.
Semangat seperti ini akan membantu kita untuk menemukan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan pribadi kita masing-masing.
Pada aspek yang lebih dalam, apakah perubahan-perubahan yang terjadi selama pandemi ini membantu orang untuk makin mendekatkan diri kepada Tuhan dan meningkatkan kepeduliannya kepada sesama?
Kehidupan keagamaan yang sejati terletak pada pengenalan yang semakin intens dan mendalam akan Tuhan, yang juga menjadi nyata dalam hidup harian. Kepedulian kepada sesama adalah salah satu praktik paling nyata dari iman dan kehidupan keagamaan yang sejati.
Baca juga: Pandemi dan Hidup Baru & Pandemi dan Harapan Hidup Baru
Pada pertemuan pertama ini, kita diajak untuk melihat kembali praktik kehidupan keagamaan kita selama masa pandemi. Apakah kita cukup setia pada ajaran dan tata cara yang diajarkan Gereja kepada kita?
Apakah kita sungguh-sungguh mencari Tuhan di tengah perubahanperubahan cara dan sarana dalam beribadah kepada-Nya? Ataukah kita hanya menjalankan tata cara beribadah kita, sedangkan hati kita jauh dari-Nya? Apakah sikap hidup kita menampakkan iman kita yang nyata?
Becermin pada teks Am. 5:4-6, kita dituntun untuk mencari Tuhan agar kita tetap hidup, baik kini maupun kelak.