MajalahDUTA.Com, Jagoi Babang – Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus menindaklanjuti progres pembangunan Patung Yesus Raksasa khas Kalimantan dan bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat di Jagoi Babang pada Senin malam 7 Februari 2022.
Dalam pertemuan itu dihadiri oleh anggota DPRD Dapil 2 Kabupaten Bengkayang, Debit. Ketua dewan adat kecamatan Jagoi Babang, Kasminto. Kepala Benua Jagoi, Lipon. Tokoh Adat Desa Jagoi, Ahau Kadoh. Kepala Adat Desa Jagoi, Nogian. Dihadiri pula oleh Kepala Desa Jagoi, Dedeng dan Camat Jagoi Babang, Saidin.
Menurut data bahwa Jagoi Babang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Indonesia. Wilayah ini terletak di perbatasan Kalbar-Serawak (batas sebelah timur, kurang lebih 1 jam ke Kota Serawak).
Sebelah utara Kecamatan ini berbatasan dengan Lundu, Sarawak Malaysia,sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Seluas dan kecamatan Siding, sebelah timur berbatasan dengan Serikin, Sarawak Malaysia.
Umumnya masyarakat Jagoi Babang adalah mayoritas beragama Katolik.
Sebagai Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agutinus Agus memiliki cita-cita besar bahwa kedepan Kalimantan juga memiliki simbol keagamaan yakni mimpi Uskup Agustinus adalah mendirikan Patung Yesus Raksasa di daerah perbatasan.
Hal itu disampaikannya dalam audiensi Uskup Agustinus bersama tokoh masyarakat pada Senin malam 7 Februari 2022 di Paroki Santo Mikael Jagoi Babang.
Menindaklanjuti cita-cita besar Uskup Agustinus bersama Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis, pada tanggal 7 Februari 2022 Uskup Agustinus mengajak arsitek profesional yang merancang bangunan khas Suku Dayak Bidayuh, Yori Antar didampingi Kyinan Tegar film-maker muda dan Seniman Patung yakni Teguh Ostrentik.
Yesus Sebagai Panglima Burung
Dalam konsep patung yang dipaparkan oleh Teguh Ostrentik yaitu bertema tentang Yesus sebagai Panglima Burung.
Teguh lebih menekankan pada simbol budaya setempat dengan elemen konsep desain mengandung unsur simbol kasih dan simbol kedamaian.
Teguh kemudian menjelaskan secara spesifik pula bahwa simbol tersebut dituangkan dengan lembut pada raut wajah dari bentuk hidung, mata dan mulut.
Selanjutnya elemen konsep dasar desain juga dituangkan dengan gestur tubuh dan pakaian tanpa menghilangkan simbol Budaya Dayak.
Ikon dalam Budaya Dayak sendiri terdiri dari seni tari, burung enggang, alat musik dan baju adat.
Dalam kesempatan itu juga Teguh menjelaskan kepada sejumlah tokoh masyarakat yang hadir itu terkait sketsa model patung Yesus yang bertema Yesus sebagai Panglima Burung.
Gereja gaya Baluk Dayak Bidayuh
Selain pemaparan oleh Teguh, sebelumnya Yori Antar juga memaparkan kontruksi bangunan gereja dengan gaya Baluk khas Dayak Bidayuh.
Baluk merupakan rumah adat suku Dayak Bidayuh bentuknya boleh dikatakan berbeda dari rumah adat suku-suku Dayak lainnya khususnya yang berada di Kalimantan Barat, umumya suku-suku Dayak yang berada di Pulau Kalimantan.
Baca Juga: Bagaimana Kita Ciptakan Gula di Jagoi Babang” Bincang Uskup Agustinus pada Bupati Bengkayang
Rumah Adat Baluk ini terletak di Kecamatan Siding desa Hlibuei dusun Sebujit, jarak dari ibukota Bengkayang ± 134 KM, dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dengan waktu tempuh sekitar ± 2-3 jam dari Kota Bengkayang.
Rumah Adat ini digunakan oleh masyakat Suku Dayak Bidayuh dalam acara ritual tahunan (nibak’ng) yang dilaksanakan setiap tanggal 15 Juni, setelah usai musim menuai padi dan untuk menghadapi musim penggarapan ladang tahun berikutnya.
Rumah Baluk yang sudah ada ini berbentuk bundar, berdiameter kurang lebih 10 meter dengan ketinggian kurang lebih 12 meter dan disanggah sekitar 20 tiang kayu dan beberapa kayu penopang lainnya serta sebatang tiang digunakan sebagai tangga yang menyerupai titian.
Ketinggian ini menggambarkan kedudukan atau tempat Kamang Triyuh yang harus dihormati.
Nyobeng adalah kegiatan Ritual Suku Dayak Bidayuh di daerah Sebujit desa Hlibeui Kecamatan Siding telah dilakukan secara turun temurun merupakan upacara adat Hliniau yaitu upacara adat permohonan berkat, sejahtera, kedamaian, ketentraman dan lain-lain namun upacara adat budaya ini hanya diperuntukan bagi kaum pria sedangkan bagi kaum wanita adat budaya tersebut dinamakan Nambok. Kedua jenis adat budaya ini merupakan upacara adat baluk dan adat padi.
Atas dasar itulah Yori Antar yang sudah melalang buana membangun rumah adat dengan prinsip “botom-up” artinya dari masyarakat yang lisan kemudian diterjemahkan menjadi tulisan. Bukan dari tekstual kemudian menjadi lisan, yang Yori sebut dengan istilah “Top-down”.
Gereja dan bangunan yang mendukung berdirinya patung Yesus Sebagai Panglima Burung ini akan di desain menyesuaikan dengan tata cara adat setempat, dalam hal ini adalah Suku Dayak Bidayuh.
Simbol Pembebasan dari Kebodohan
Uskup Agung Pontianak juga menegaskan kepada sejumlah tokoh masyarakat yang hadir saat itu dengan menyampaikan makna dari simbolik tersebut.
“Sebagai ucapan terima kasih orang Dayak yang mayoritas beragama Kristiani kepada Yesus, maka inilah kesempatan kita untuk menjadikan Jagoi Babang yang persis di Perbatasan dengan mendirikan simbol ini,” kata Uskup Agustinus.
Baca Juga: Pemberkatan dan Pengukuhan Dewan Pastoral Paroki Kristus Raja Sambas
Uskup Agustinus juga menjelaskan bahwa tanpa adanya missionaris agama yang datang, kemungkinan orang Dayak sampai saat ini masih tertinggal.
Hadirnya missionaris Katolik tempo lalu yang pertama-tama dibangun adalah pendidikan, kesehatan dan mengajarkan orang Dayak tentang kecerdasan keuangan.
Oleh sebab itu, sebagai tanda terima kasih orang Dayak kepada Yesus salah satunya dengan mendirikan simbol keagamaan dimana posisi strategis Jagoi Babang yang notabene umat Katolik.
Uskup Agustinus melanjutkan bahwa berdirinya Patung Yesus Sebagai Panglima Burung ini juga sekaligus memberikan simbol pembebasan dari ketertinggalan dan bebas dari pembodohan.
Dalam diskusi bersama tokoh masyarakat, Uskup Agustinus menggarisbawahi tentang budaya lokal, jangan dihilangkan. Namun tetap harus terlestarikan agar menjadi bekal di masa depan.
“Patung Yesus adalah tanda terima kasih Orang Dayak pada Yesus yang membebaskan orang Dayak dari kebodohan dan ketertinggalan baik segi pendidikan maupun ekonomi melalui jalan yang dirintis oleh misionaris,” kata Uskup Agustinus.