Thursday, October 3, 2024
More

    Tuhan Tidak Melihat Penampilan dan Latar Belakang Keluarga, Tapi Melihat Hati: Misteri Panggilan Religius

    Oleh: Fr. Mikael Ardi /Calon imam diosesan KAP, sekarang sedang Menempuh pendidikan S2 di STFT Widya Sasana, Malang

    MajalahDUTA.Com, Pontianak – Pertanyaan “Apakah bisa seorang pemuda atau pemudi yang berasal dari keluarga “miskin” dan “tidak menarik dari segi penampilan” menjadi seorang pastor, suster, atau bruder?” Kiranya pertanyaan ini bisa menjadi pemantik bagi kita dalam merefleksikan makna dari sebuah panggilan religius yakni menjadi pastor, suster, atau bruder.

    Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu persoalan yang sedang dihadapi oleh para pemuda atau pemudi yang kemudian enggan menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi seorang religius adalah pertama-tama bukan terletak pada persoalan menikah atau tidak menikah, melainkan lebih pada sikap kurang percaya diri dan dari pihak keluarga yang tidak setuju. Bentuk sikap kurang percaya diri itu ditunjukkan dengan perasaan “minder” karena berpenampilan kurang menarik, tidak pandai dan berani berbicara di depan orang banyak, tidak pintar, dsb. Intinya merasa tidak layak menjadi seorang pastor, suster, atau bruder.

    Baca Juga: Pemda dan DPRD Bengkayang Dukung Pembangunan Destinasi Rohani di Jagoi Babang

    Kemudian sikap keluarga yang tidak setuju itu ditunjukkan lewat kesaksian mereka yang sangat pesimis (ragu-ragu) kepada yang bersangkutan bahwa keadaan keluarga yang sederhana (miskin), yang segalanya yang serba terbatas, belum lagi kondisi keluarga di mata masyarakat kurang baik, lalu kalau di pertengahan jalan memilih untuk mundur.

    Intinya mereka merasa tidak yakin bahwa dengan keadaan “miskin” seperti itu anak mereka bisa menjalani hidup sebagai seorang religius yang identik dengan: pintar, menarik untuk dipandang karena parasnya yg keren dsb. Karena situasi ini, tidak heran banyak dari antara mereka yang akhirnya membatalkan niatnya untuk menjadi seorang religius.

    Panggilan Religius

    Dalam tulisan ini, penulis hendak membagikan sebuah pemahaman kepada para pemuda-pemudi yang memiliki semangat atau keinginan menjadi seorang selibat, dan kepada para orang tua yang terkadang keliru dalam memahami hidup religius.

    Keinginan untuk menjadi dan memilih hidup menjadi seorang religius atau selibat, bukan soal: miskin atau kaya, ganteng – cantik,  pintar – bodoh, berani atau pandai berbicara di depan banyak orang atau tidak, tetapi tentang bagaimana Tuhan melihat. Apa artinya ungkapan terakhir ini?

    Berangkat dari sebuah pengalaman penulis ketika mendengar pengakuan dari seorang OMK (Orang Muda Katolik) yang ada di salah satu stasi di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Seusai melakukan ibadat hari Minggu, penulis didatangi oleh seorang pemuda dan kemudian bertanya: “frater, apakah sudah lama menjadi frater? Dulu, ketika memilih hidup menjadi seorang frater, apakah disetujui oleh orang tua?”.

    Baca Juga: Paus Fransiskus Mengajak seluruh umat untuk mendoakan Para Katekis

    Dari pertanyaan yang sangat menggelitik ini, sebelum menjawab penulis tergugah untuk bertanya terlebih dahulu yaitu tentang alasan dari pertanyaan itu. “mengapa kalian bertanya seperti ini?”. Pemuda itu pun akhirnya bercerita bahwa dulu ketika sudah menyelesaikan studi di bangku SMA, ia memiliki keinginan untuk menjadi seorang pastor. Akan tetapi keinginan tersebut lambat laun sirnah begitu saja, lantaran merasa tidak layak (tidak tampan, cerdas, dan pandai berbicara) dan tidak mendapat restu dari kedua orang tuannya karena alasan keluarga sederhana (miskin).

    Penulis mengira bahwa hal-hal seperti inilah yang marak terjadi kepada anak-anak muda kita yang awalnya berkeinginan memilih hidup sebagai seorang selibat, tapi karena diri sendiri atau orang tua yang memberikan pemahaman “keliru” akhirnya keinginan tersebut dibiarkan sirnah begitu saja.

    Pengalaman

    Sebagai petunjuk dalam memahami kekeliruan berpikir itu, mari kita simak apa yang dikatakan oleh Kitab Suci khususnya Kitab Suci Perjanjian Baru dalam Injil Matius 13: 54-57. Perikop Injil ini kirannya bisa menjadi dasar dalam memahami arti panggilan religius.

    “Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: “Dari mana diperoleh-Nya hikmah itu dan kuasa untuk mengadakan mukjizat-mukjizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” (Matius 13: 54-57).

    Dalam perikop Injil tersebut, kita diperlihatkan dengan sebuah peristiwa Yesus yang sedang berkotbah di Sinagoga atau Bait Allah di Nazaret, kampung halamannya. Dari kotbah-Nya, semua orang yang ada di ruangan itu menjadi takjub. Takjub bukan hanya kerena isi kotbah yang dalam dan berisi atau mengena, tetapi juga pada pribadi-Nya yang penuh wibawa.

    Di awal, Yesus di mata orang-orang yang mendengarkan-Nya adalah seorang pewarta firman yang handal dan hebat. Mereka semua terkagum-kagum kepada Yesus. Akan tetapi, kekaguman itu akhirnya sirnah, sebab orang-orang itu kemudian menyadari bahwa Yesus yang mereka kagumi itu ternyata anak Yusuf, tukang kayu. Ibu serta saudara-saudari-Nya adalah orang-orang yang selalu bersama mereka. Karena situasi inilah akhirnya Yesus pun ditolak.

    Atas penolakan itu, Yesus dengan lantang berkata: “Tidak ada nabi yang dihormati di tempat asalnya”. Bahwa hanya karena melihat latar belakang-Nya yang berasal dari keluarga sederhana (miskin) dan keluarga-Nya yang selalu bersama dengan mereka, mereka menjadi sangat kecewa dan tidak lagi menaruh respek kepada Yesus. Inilah sifat yang menjadi ciri khas manusia, dimana orang selalu menilai sesama dan bahkan dirinya hanya dari apa yang ia ketahui.

    Hal ini jugalah yang terjadi kepada nabi Samuel ketika harus memilih untuk mengurapi raja Israel menggantikan Saul (bdk. 1 Samuel 16: 1-7). Ketika Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya bahwa pasti inilah raja yang dikehendaki Tuhan (ay 6). Tetapi Tuhan dengan tegas mengatakan kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakkannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (ay 7).

    Baca Juga: Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus Ungkapkan Kurangnya Tenaga Imam

    Persoalan ini pulalah yang juga banyak terjadi dalam kehidupan umat Kristiani khususnya. Tidak jarang ditemukan orang-orang yang memiliki sifat seperti orang-orang yang ada di Sinagoga yang awalnya terkagum-kagum mendengar kotbah Yesus, tapi lalu kemudian menolaknya lantaran mengetahui latar belakang Keluarga-Nya.

    Dan banyak juga dari antara kita yang memiliki sifat seperti Samuel, yang terkadang membangga-banggakan seseorang yang dianggap cocok untuk menduduki tahta “raja” (dalam konteks kita: cocok menjadi pastor). Tetapi apa yang terjadi, bahwa apa yang menurut pikiran kita bagus dan cocok ternyata tidak selaras dengan apa yang dipikirkan oleh Allah.

    Bacaan Kitab Suci ini mengajari  kita untuk belajar tentang bagaimana menjadi pribadi yang selalu melihat orang lain dengan kacamata positif. Dalam diri seseorang ada Allah di sana, sekalipun orang tersebut menurut pengamatan kita memiliki latar belakang yang buruk.

    Panggilan

    Pada Minggu, 30 Januari 2022, Seminari Tahun Rohani (TOR) Projo di Lawang melakukan prosesi Penjubahan atau penerimaan jubah bagi para frater-frater baru setelah melangsungkan pendidikan di Seminari Menengah, Postulan, atau Tahun Orientasi Panggilan (TOPANG). Dalam prosesi yang dipimpin langsung oleh Mgr. Hendrikus Pidyarto Gunawan Ocarm., Uskup Keuskupan Malang sebagai Selebran utama dan para Konselebran oleh para pastor formator baik dari Seminari Tahun Rohani maupun Seminari Tinggi Interdiosesan St. Govanni XXIII, para frater yang menerimakan jubah berjumlah tiga puluh dua (32) frater.

    Ketiga puluh dua frater ini berasal dari delapan keuskupan yang tersebar di Indonesia, antara lain: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Palangka Raya, Keuskupan Tanjung Selor, Keuskupan Agung Samarinda, dan Keuksupan Malang sebagai tuan rumah.

    Empat frater yang berasal dari Keuskupan Agung Pontianak itu sendiri berasal dari paroki yang berbeda yang ada dalam lingkup Gerejawi Keuskupan Agung Pontianak. Keempat frater tersebut antara lain:  Fr. Damri berasal dari desa Temia Sio, Kec. Teriak, Paroki Santo Pius X Bengkayang; Fr. Suadi berasal Ngabang, Kab. Landak, Paroki Salib Suci; Fr. Revo berasal dari desa Raba, Kec. Mempawah Hulu, Paroki St. Petrus dan Paulus Menjalin; Fr. Deky berasal dari desa Palanyo, Kec. Mempawah Hulu, Paroki St. Yusuf Karangan.

    Baca Juga: Apasih Bedanya Imam Diosesan & Imam Religius?

    Untuk saat ini, jumlah frater Keuskupan Agung Pontianak yang sedang menempuh pendidikan baik di: Postulat Stela Maris (1 orang), Tahun Orientasi Panggilan (TOR) (4 orang), Seminari Tinggi Interdiosesan St. Giovanni XXIII di Malang (Jatim) (23 frater), Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan (Jateng) (1 orang) dan Seminari Tinggi Pastor Bonus dan yang sedang TOP di Pontianak (9 orang) berjumlah 38 frater.

    Dari tiga puluh delapan frater projo Keuskupan Agung Pontianak ini, siapa yang mengira bahwa pemuda-pemuda yang notabene berasal dari kampung ini dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi gembala bagi domba-domba-Nya kelak. Dan apabila mau ditelusuri lebih dalam tentang kehidupan mereka terutama kehidupan keluarga, bahwa dari masing-masing frater ini, hampir rata-rata mereka berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah kebawah (miskin), dan bahkan ada juga yang berlatarbelakang keluarga yang broken home dsb.

    Lalu siapa yang mengira bahwa mereka bisa bersaing dalam study filsafat bersama orang-orang yang berasal dari luar Kalimantan yang hampir rata-rata mengalami akses belajar yang baik, dan mampu menduduki posisi teratas dari teman-teman yang berasal dari kota. Dan siapa mengira, Mgr. Agustinus Agus, uskup Keuskupan Agung Pontianak, yang berasal dari pelosok kampung Lintang Pelaman (yang akses trasnsportasinya saja masih sulit dan ditambah lagi  penerangan yang masih amat terbatas karena belum dialiri listrik dari Pemerintah) bisa menjadi uskup agung.

    Sekali lagi, Tuhan tidak pernah melihat penampilan seseorang seperti apa yang dilihat oleh manusia kebanyakan. Yang Tuhan lihat adalah hati seseorang yang dengan rendah hati, tanpa ada paksaan dari pihak luar, mau dan siap menjadi pelayan dalam menggembalakan domba-domba Allah. Inilah yang namanya misteri panggilan.

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles