Saturday, December 9, 2023
More

    Kebaruan Spiritualitas Imam Keuskupan Agung Pontianak

    Oleh: Frater Dominikus Irpan

    MajalahDUTA.Com, Pontianak – Sebagai Implementasi Atas Gagasan Eklesiogi Konsili Vatikan II.

    Abstrak

    Karya ilmiah ini berfokus pada permasalahan mengenai Kebaruan Spiritualitas Imam Keuskupan Agung Pontianak. Kebaruan spiritualitas tersebut didasarkan pada gagasan Eklesiologi Konsili Vatikan II. Seperti diketahui bahwa sejarah panjang yang telah dilalui oleh Konsili Vatikan II telah memberi angin segar dalam tubuh Gereja. Berbagai problem yang dibahas di dalamnya tentunya membuka sedikit demi sedikit tali pengikat yang beberapa waktu lamanya membelenggu Gereja dari keeksklusivitasnya terhadap dunia. Berkat adanya konsili ini, Gereja dan dunia tidak lagi menutup mata terhadap perkembangan dunia saat itu, kini dan saat yang akan datang. Dalam hal inilah Keuskupan Agung Pontianak mencoba untuk mengimplementasikan atau mengaktualisasikan ajaran dari Magisterium Gereja tersebut ke dalam Tubuh Gereja Keuskupannya. Masalah utama yang dibahas dalam karya ilmiah ini mencakup persoalan mengenai apa itu Spiritualitas Imam Diosesan berdasarkan ajaran Gereja dalam Christus Dominus, kehidupan menggereja Gembala dan umatnya, dan terkahir pada bagian kesimpulan dinyatakanlah bahwa Spiritualitas Gereja Keuskupan Agung Pontianak ternyata telah membumikan semangat Konsili Vatikan II dalam bidang-bidang pastoralnya. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana implementasi gagasan eklesiologi Konsili Vatikan II itu dalam Gereja Keuskupan Agung Pontianak. Metode yang digunakan ialah studi pustaka yaitu dengan mengambil sumber-sumber dari buku-buku dan artikel serta dokumen Gereja.. Dalam penelitian ini, secara khusus, melalui dokumen Lumen Gentium dan Christus Dominus, didapatlah bahwa Konsili Vatikan II merumuskan gambaran Gereja sebagai misteri, sakramen, dan persekutuan rahmat. Kristus ditampilkan sebagai sumber hidup dan pusat Gereja. Seluruh kerasulan Gereja berasal dari Kristus yang hendak melaksanakan kehendak Bapa dan yang hendak menghimpun umat dalam kesatuan dengan diri-Nya.

    Kata Kunci: Spiritualitas, Imam Keuskupan, Konsili Vatikan II, Gereja, dan Kristus.

    Pendahuluan

    Di abad ke – 21 ini, dunia menghadapi berbagai persoalan yang sangat berpengaruh, juga secara khusus terhedap kehidupan Gereja. Berbagai hal itu menyangkut pertama-tama, jumlah umat manusia yang semakin hari semakin bertambah banyak. Kemudian, persoalan mengenai pelayanan kegembalaan para Gembala Gereja yang terdiri Uskup, Imam, dan Diakon. Selain itu, persoalan yang juga menjadi pokok perhatian Gereja saat ini ialah berkaitan dengan kehidupan beragama umat di tengah dunia dewasa ini (Hidup Katolik, April 2021). Gereja harus berbenah diri dalam menghadapi situasi-situasi yang saat ini sedang dihadapinya. Mengenai ini, semua hal yang berhubungan dengan kegiatan pelayanan pastoral selalu terkait pula dengan spiritualitas yang melatarbelakanginya. Sejalan dengan itu, spiritualitas tersebut pun tentunya dibuat berdasarkan atas apa yang dirasakan serta apa yang dialami yang kemudian direfleksikan oleh para penggagas spiritualitas tersebut. Keuskupan Agung Pontianak (KAP), dalam hal ini juga berangkat dari pengalaman akan hal-hal yang juga demikian. Selain itu juga terlebih mengaitkannya dengan apa yang telah lebih dahulu direfleksikan dan kemudian diajarkan oleh Konsili Vatikan II.

    Perkembangan teknologi yang semakin canggih seperti teknologi informasi dan komunikasi, kiranya mempermudah setiap usaha yang dilakukan oleh Gereja sebagai langkah dalam berpastoral. Terlebih di tengah pandemi covid-19 ini (Kompas, 17 November 2021), salah satu alternatif untuk berptoral ialah melalui jaringan internet. Pandemi Covid-19 ini telah mengakibatkan dampak sangat besar bagi dunia, seperti dibatasinya kegiatan baik dalam hal perekonomian, pendidikan, sosial, budaya, dan juga menyangkut kehidupan beragama dalam masyarakat (Dimas Sandy Himawan Sogen, Antonius Denny Firmanto, dan Ninik Wijayati Aluwesia, 2021).

    Situasi tersebut pun semakin disemarakkan dengan kehadiran perangkat elektronik informatika baik komputer, handphone atau gawai ataupun gadget yang diintegrasikan dengan telekomunikasi (Iswarahadi, dalam Yoyok Winarno, 2020:1). Perkembangan teknologi digital semakin hari semakin marak. Setiap hari pasti ada saja teknologi baru yang diciptakan. Dengan kemajuannya yang begitu pesat, berbagai karateristiknya tentu memberi dampak kepada kehidupan Gereja. Gereja sebagai umat Allah tentunya tidak menutup mata atas fenomena ini. Derasnya aliran teknologi dan informasi di era digital ini membuat Gereja harus tanggap akan tanda-tanda zaman dan terlebih media dan sarana serta metode baru dalam berkomunikasi. Menurut Komkat KWI (2015), kita bisa saja membawa di tangan kita alat komunikasi, tersedia berbagai macam konten, baik berupa tulisan, gambar maupun dalam bentuk video. Segala informasi, baik itu berita ataupun sekedar hiburan semata mendatangi langsung di genggaman orang-orang.

    Katekese merupakan bagian dari usaha Gereja untuk mewartakan sabda Allah di tengan situasi konkret  yang melingkupi umat Katolik (Yoyok Winarno, 2020:1). Berpastoral adalah salah satu bagian konkret dari katekese. Sebab, katekese tidak hanya berkutat pada spekulasi pemikiran teologis tentang tradisi Gereja, melainkan bergerak untuk membantu sesama dalam proses bangkit serta berkembangnya penghayatan iman dalam kehidupan nyata sehari-hari (Madya, 2018:3). Secara sadar, saat ini Gereje sedang berpastoral di era digital, kita menghidupi budaya yang serba digital bahkan tanpa sadar hampir di setiap sendi-sendi kehidupan kita. Oleh karena itu, agar kita dapat menghayati hidup beriman sesuai dengan Kabar Gembira di tengah budaya digital, sangat membantu bila kita sadar akan media digital (Komkat KWI, 2015:9). Medan pastroral berhadapan dengan bentuk baru dalam berkomukasi, hal ini memperngaruhi pola berpikir dan cara bertindak seseorang. Katekese diharapkan mampu melihat peluang untuk mewartakan Injil melalui dunia digital, terlebih menambah wawasan dan pengetahuan baru agar mudal dalam pelaksanaan berpastoral. Katekese harus mampu mewujudkan dirinya sebagai upaya terus-menerus dalam membina iman umat dan tidak hanya mengandaikan pertemuan-pertemuan online semata. Oleh sebab itu, katekese tetap membutuhkan perjumpaan langsung (fisik) berpastoral antar muka, meskipun komunikasi secara virtual tetap harus diberi peluang untuk mendapat pelayanan melalui sarana-sarana virtual. Hendaknya komunikasi virtual sekurang-kurangnya tetap dibawa kepada komunikasi langsung (secara tatap muka/perjumpaan langsung) (Yoyok Winarno, 2020:3).

    Era digital sebagai zaman di mana maraknya penggunaan berbagai sarana teknologi digital membawa pada penyatuan ruang dan waktu yang menghancurkan tembok pembatas dunia dan mengubah budaya dan perilaku manusia (Komkat KWI, 2016:327). Gereja dituntut untuk mampu menanggapi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia agar kehadirannya di tengan dunia tetap relevan dan signifikan. Sebagai bagian dari hidup Gereja, bidang pelayanan Gereja, yakni pastoral senantiasa membenah diri agar dapat membantu Gereja menemukan terobosan baru agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya menjadi sakramen kehadiran Allah di tengah-tengah dunia (Madya, 2018). Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kita saat ini sedang berada di dalam bayang-bayang bahaya akibat pandemi Covid-19. Ketika kita menyaksikan di media digital, di televisi atau saat kita membaca berita di media sosial, kita berhadapan dengan sebuah situasi yang mencengangkan. Bahkan kita menjadi cemas terus-menerus (Ferdianus Jelahu, MTB, 2020). Prihatin akan keadaan ini, Mgr. Agustinus Agus selaku gembala umat di wilayah Gerejawi Keuskupan Agung Pontianak, menyatakan bahwa kita harus menerima keadaan ini dengan sabar dan sadar. Selain itu, ia juga mengajak umat untuk menjaga protokol kesehatan seturut anjuran pemerintah, yaitu menjalankan 3 M, “menjaga jarak, mencuci tangan dan menggunakan masker” (Mgr. Agustinus Agus dalam Samuel, 2021). Umat diajak untuk berjuang dengan sabar serta tetap setia pada iman akan Tuhan Yesus serta setia menjalankan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam menyikapi pandemi Covid-19 ini.

                Pada masa pandemi covid-19 ini, apa spiritualitas imam keuskupan yang dijalankan oleh KAP? Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa kehidupan umat beriman tidak akan seimbang apabila hanya berkutat pada tindakan penyelamatan jiwa-jiwa semata; melainkan membantu umat beriman dalam membenah kehidupan dan membantu mencukupi kebutuhan bersama dalam hal ini juga menyelamatkan raganya. (Christus Dominus, art 3). Oleh sebab itu, spiritualitas imam keuskupan yang dibangun dan diterapkan secara khusus di tengah situasi zaman yang tidak menentu ini adalah, hadir, membantu sesama, menjadi tanda kehadiran Allah bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya. Sebab Gereja adalah sakramen di tengah-tengah dunia (Lumen Gentium,art. 1), maka imam, (uskup dan para imam serta diakon) pun hadir bagi umatnya, menyelesaikan permasalahannya sebagai tanda dan sarana kehadiran Allah.

    Bab I

    Gagasan Tema Eklesiologi KV II dan Situasi Eksternal yang Disoroti

    Konsili Vatikan II (KV II) menyinggung permasalahan mengenai internal Gereja dalam dua dokumen yakni dokumen Lumen Gentium dan Christus Dominus. Lumen Gentium lebih menyoroti perihal mengenai Umat Allah yang terdiri dari Klerus (Uskup, Imam, Diakon), Biarawan/ti, dan Awam. Dalam hal ini, KV II menekankan peranan dan tugas serta tanggung jawab setiap pribadi umat sebagai anak-anak Allah. Kemudian dalam dokumen Christus Dominus, menjelaskan secara spesifik pelayanan Pastoral para Uskup yang berdasarkan atas teladan dari Kristus Yesus sendiri, Sang Putra Tunggal Allah (Christus Dominus, art. 1).

    a. Lumen Gentium

    Konsili Vatikan II merumuskan Gereja dalam gambaran sebagai misteri, sakramen, dan persekutuan rahmat. Kristus ditampilkan sebagai sumber hidup dan pusat Gereja. Seluruh kerasulan Gereja berasal dari Kristus yang hendak melaksanakan kehendak Bapa dan yang hendak menghimpun umat dalam kesatuan. Konsili Vatikan II menyatakannya sebagai berikut: “Kristus, satu-satunya Pengantara, di dunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan. Ia tiada hentinya memelihara Gereja. Melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang” (LG 8). Dalam hal ini, ada pergeseran gagasan dari paham Gereja yang sangat institusionalistis organisatoris kepada Gereja yang dinamis dan organis dari Umat Allah yang berziarah dalam perjalanan ke tanah terjanji bersama dengan segenap umat manusia.

    Konsili Vatikan II merumuskan bahwa relasi antara Kristus dan Gereja Katolik Roma ialah di mana Gereja Kristus “hadir dalam” Gereja Katolik Roma. Pernyataan tersebut tidak menghilangkan keyakinan bahwa Gereja memiliki peranan instrumental dalam keselamatan setiap orang yang diselamatkan. Pengungkapan ini dipilih dengan sengaja untuk mengakui realitas eklesial komunitas Kristiani yang lain (Dulles, dalam Antonius Deni Firmanto 2021).

    Gereja memandang diri terutama sebagai tanda dan sarana persatuan dan kesatuan, baik dengan Allah maupun dengan seluruh umat manusia (LG 1). Hal ini nantinya mendorong semangat ekumenis dengan gereja-gereja lain, bahkan dialog dan kerjasama dengan agama-agama lain, juga dengan kaum ateis. Pusat Gereja adalah Kristus di tengah-tengah umat yang tampak dalam kehadiran Uskup sebagai gembalanya.

    “Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat Iman kita akui sebagai gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Sesudah kebangkitanNya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan, dan ia bersama para rasul lainnya dipercayakan untuk memperluas dan membimbing Gereja dengan otoritas, dan Gereja itu didirikan untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran”. Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai sebuah perhimpunan hidup dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Santo Petrus dan oleh para Uskup yang berada dalam satu persekutuan dengan dia, walaupun, di luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsur-unsur yang kudus dan kebenaran, yang sesungguhnya merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik” (LG 8).

    Pada bab kedua berjudul “Umat Allah”, Gereja dipahami sebagai Umat Allah, dan itu membuat cakrawala pemahaman akan hakekat Gereja lebih luas dari batas yang kelihatan (Gereja Katolik Roma), sebab banyak juga unsur- unsur Gereja dilihat dan diakui berada di luar batas-batas itu (Bdk. LG 8). Konsili mengajarkan bahwa kehendak Allah untuk menyelamatkan bukan sekadar individu (atau satu demi satu) tetapi juga dalam suatu kesatuan jemaat.

    Dalam hal ini, Allah telah memilih bangsa Israel sebagai umatNya, mengadakan perjanjian dengan bangsa ini, sebagai persiapan dan gambaran akan suatu perjanjian dalam Kristus yang akan membentuk suatu Umat Allah yang baru, yang satu, bukan dalam daging, tetapi dalam Roh, yang disebut sebagai Gereja Kristus (Bdk. LG 9). Kutipan LG 8 di atas menunjukkan bahwa Gereja adalah himpunan yang kelihatan dari murid-murid Kristus yang dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya melalui baptis: “karena dalam Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh” (1 Kor 12:13). Dan melalui Ekaristi, orang Kristiani secara nyata ikut serta dalam Tubuh Kristus: “karena roti adalah satu, maka kita yang banyak ini merupakan satu tubuh; sebab kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:17). Lalu, kutipan LG 8 menunjukkan dasar kebersatuan himpunan murid-murid Kristus itu. Gereja merupakan persekutuan iman-harapan-kasih.

    Lebih dalam lagi, Konsili Vatikan II menyatakan: “di dalam Kristus, Gereja merupakan Sakramen, yaitu tanda dan sarana kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia” (LG 1). Kutipan dari LG 1 ini memperdalam gagasan persekutuan di atas. Gagasan persekutuan (=communio) memuat dimensi vertikal: persekutuan dengan Allah dan dimensi horizontal: persekutuan antar manusia. Gagasan persekutuan ini melahirkan tiga realitas Gereja: Gereja peziarah: mereka yang masih berjuang di dunia; Gereja menderita: mereka yang sudah meninggal dan masih mengalami penyucian; dan Gereja jaya: mereka yang sudah masuk dalam hidup ilahi.

    Communio Gereja menyebabkan solidaritas rohani di antara anggota- anggota Gereja peziarah-menderita-jaya sehingga “mereka sehati dan sejiwa” sebagai Tubuh Kristus. Solidaritas rohani ini menyatakan bahwa: anggota- anggota Gereja peziarah masih mempunyai ikatan dengan anggota Gereja menderita, yakni mereka yang telah meninggal dan yang ikut masuk ke dalam Gereja jaya sesudah penyucian penuh (Bdk. LG 49).

    Anggota-anggota Gereja peziarah masih mempunyai ikatan dengan anggota Gereja jaya dalam bentuk devosi kepada para kudus dan kepada santa Maria secara istimewa (Bdk LG 50, 66). Maria adalah prototipe (=purwarupa) pengharapan eskatologis (=zaman akhir) Gereja berkat karya keselamatan Yesus Kristus, Puteranya. Devosi kepada para kudus memuat isi iman: kiranya partisipasi mereka dalam hidup ilahi dapat juga dirasakan oleh mereka yang masih berjuang di dunia ini sehingga mereka yang masih berjuang ini tetap tabah, teguh, dan setia kepada imannya. Semua orang dipanggil sebagai milik Gereja. Namun, tidak semua orang sepenuhnya tergabung dalam Gereja: “Gereja mengerti bahwa ia terhubung dalam berbagai cara dengan semua orang yang dibaptiskan, semua yang diterima di dalam nama Kristus, namun demikian tidak menyatakan iman Katolik dalam keseluruhannya atau tidak berada dalam satu kesatuan atau persekutuan di bawah penerus Santo Petrus” (LG 15).

    Dalam “Susunan Hirarkis Gereja” secara jelas dan padat menguraikan peranan para uskup dan Paus di Roma. Ditekankan juga kesetaraan semua anggota umat Allah; namun, berbeda di dalam martabatnya. Dalam hal ini, Gereja semakin dipahami sebagai umat Allah secara keseluruhan kendati tetap mempertahankan fungsi hierarki sebagai tanda nyata kehadiran Kristus.

    Selain itu, Konsili Vatikan II juga menyoroti keberadaan kaum awam yang didahulukan sebelum bahasan mengenai para religius. Dalam konteks ini, ajakan untuk hidup kudus menjadi panggilan bagi setiap orang Kristiani. Hal ini signifikan karena mengindikasikan bahwa kekudusan bukanlah hanya dapat dicapai oleh segelintir atau sekelompok orang saja. Kekudusan yang diwujudkan dalam hidup harian adalah tujuan akhir dari peziarahan setiap orang beriman.

    Pada bagian terkahir dari dokumen Konsili Vatikan II tentan Gereja ini juga membahas secara spesifik mengenai Maria. Maria adalah subjek yang menjadi sumber perdebatan. Pada awalnya subjek ini akan dipisahkan dari dokumen konsili, mempertahankan sifat ekumenis dari dokumen Gereja – dalam pengertian “non- ofensif” bagi kaum Protestan, yang tidak menyetujui penghormatan kepada Maria. Namun, para Bapa Konsili tetap bersikukuh, dengan dukungan Paus, bahwa tempat Maria adalah di dalam Gereja, dan perlakuan terhadap Maria harus dimunculkan dalam Konsitusi Gerejawi.

    Dari dokumen KV II mengenai Lumen Gentium ini, penekanan yang mendasar ialah bahwa “para bapa konsili mengubah visi tentang Gereja. Dari sebuah benteng yang melawan kesesatan-kesesatan zaman, Gereja dipahami oleh Konsili sebagai umat Allah dalam penziarahan di dunia yang dipanggil memancarkan cahaya Ilahi kepada para bangsa (Lumen Gentium) (Frans Magnis Suseno, 2017). Konsili ini juga menegaskan bahwa Gereja bukan pertama-tama Paus, para uskup, dan aparat lain Gereja, melainkan seluruh umat mereka yang dibaptis. Dan setiap mereka yang menjadi anggota, jemaat serta bagian utuh dari Gereja dipanggil untuk menjalankan Tritugas Yesus, yakni menjadi imam, nabi dan raja, sedangkan itu, tugas khusus diterima oleh setiap imam, melalui tahbisan dan mengabdikan dirinya pada pelayanan umat serta penyelamatan jiwa-jiwa.

    b. Christus Dominus

    Konsili Vatikan II juga menggagas serta membahas mengenai peranan para Gembala Gereja Lokal, yakni Uskup. Uskup digambar sebagai pengganti para Rasul, murid Yesus yang diutus-Nya hingga ke ujung bumi untuk memberitakan kabar baik (Bdk. Yoh 20:21).

    “Kristus Tuhan, Putra Allah yang hidup, telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa (Mat 1:21), dan supaya sema orang dikuduskan. Seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para Rasul-Nya (Yoh 20:21). Ia menyucikan mereka dengan menyerahkan Roh Kudus kepada mereka supaya mereka pun memuliakan Bapa di atas bumi dan menyelamatkan orang-orang “demi pembangunan Tubuh Kristus” (Ef 4:12) yakni Gereja” (Christus Dominus 1).

    Konsili ini menegaskan bahwa apa yang diperbuat oleh para uskup kiranya juga ialah seturut dengan apa yang dilakukan oleh Sang Guru, yaitu Yesus. Dia, yang adalah Tuhan, Allah dan Putra Allah, bertindak layaknya seorang hamba, melayani semua orang yang datang kepada-Nya, membutuhkan kesembuhan, kelegaan, dan penghiburan dari-Nya. Demikianlah kiranya para uskup, dalam jajarannya, bekerja sama dengan setiap imam, rekannya dalam melayani umat Allah (Benyamin Yosef Bria, 2004).

    Dalam artikel 3 Christus Dominus, Konsili Vatikan II menjelaskan bahwa Para Uskup menjalankan tugas yang diperoleh juga berkat rahmat Tahbisannya (Bdk. Lumen Gentium, art. 21), dan “melaksanakannya sambil ikut memperhatikan semua Gereja, dalam perksekutuan dan di bawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi sehubungan dengan kuasa mengajar dan kepeimpinan kegembalaan, sementara mereka semua bersatu dalam suatu dewan atau badan menghadapi Gereja Allah yang semesta”. Para uskup, selaku pengganti para Rasul yang sah dan anggotan dewan para uskup, hendaknya mereka juga memperhatikan Gereja semesta, karena ketetapan Allah dan kewajiban tugas rasuli mereka masing-masing. Konsili juga menegaskan bahwa:

    “Terutama, hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kawasan-kawasan dunia ini, yang belum menerima pewartaan sabda Allah, atau di mana, terutama karena sedikitnya jumlah imam, umat beriman Kristiani terancam bahaya menjau dari perintah-perintah Kristiani, bahkan kehilangan iman” (Christus Dominus, art. 6).

    Selain tugas dan tanggung jawab para Uskup, Konsili ini juga dengan sangat jelas menjabarkan peran dan tanggung jawab para imam diosesan/ imam keuskupan. Para imam, baik “imam keuskupan maupun imam biarawan, bersama Uskup menerima dan melaksanakan tugas Imamat Kristus yang satu, dan karena itu diangkat menjadi rekan-rekan sekerja yang aktif bagi tingkatan para uskup. Namun, dalam pelayanan/reksa jiwa-jiwa, peran utama ada pada para imam diosesan” (Christus Dominus, art. 28).

    Melalui dokumen ini, “Konsili tidak mengadakan ajaran baru ataupun dogma baru, melainkan agar “Gereja membuka jendela ke dunia luar” dan melakukan suatu aggiornamento, suatu penyesuaian dengan tuntutan zaman” (Frans Magnis Suseno, 2017).

    Berdasarkan kedua dokumen di atas, maka pembagian tugas dan peranan umat Allah dapat dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.

    1. Uskup, Imam dan Diakon

    Sebagai gembala dan pengganti para Rasul, dalam diri seorang Uskup berkat tahbisannya, ia dibantu oleh para imam, “Hadirlah di tengah Umat Beriman Tuhan Yesus Kristus, Imam Agung tertinggi” (Lumen Gentium, art. 21). Jadi, seorang uskup menghadirkan Kristus bagi umat Katolik, mewartakan sabda-Nya kepada semua bangsa, dan tiada hentinya memberikan Sakramen-sakramen iman kepada umat beriman. Sebab melalui mereka (lih. 1 Kor 4:15), Yesus menyaturagakan anggota-anggota baru ke dalam tubuh-Nya berkat kelahiran kembali melalui sakramen permandian. Kemudian para imam dan diakon juga dilibatkan dalam karya penggembalaan ini. Mereka semua, berkat kebijaksanaan dan kearifan oleh Roh, membimbing kawanan umat Allah menuju ke kebahagiaan kekal.

    “Para Gembala yang dipilih untuk menggembalakan kawanan Tuhan itu pelayan-pelayan Kristus dan pembagi rahasia-rahasia Allah (1 Kor 4:1) kepada mereka dipercayakan kesaksian akan Injil tentang rahmat Allah (Rm 15:15; Kis 20:24) serta pelayanan Roh dan Kebenaran dalam kemuliaan (2 Kor 3:8-9).

    1. Biarawan/ti

    Mereka merupakan kelompok atau komunitas yang terdiri atas “laki-laki dan perempuan yang hidup dalam biara/komunitas, yang mengikrarkan dan membaktikan diri pada pengabdian kepada Allah dan pelayanan Gereja melalui tiga kaul. Tiga kaul: Kemiskinan (menyatakan bahwa mereka tak boleh memiliki sesuatu secara pribadi), kaul keperawanan (yaitu keterikatan untuk tidak berkeluarga dan tidak aktif secara seksual), dan kaul Ketaatan (yaitu mereka memilih hidup di bawah seseorang atasan dan taat kepadanya). (Magnis Suseno, 2017, KHK 573).

    1. Awam

    Semua umat beriman Kristiani yang tidak termasuk Kaum Religius (Klerus dan biarawan/ti), yang karena berkat sakramen Baptis menjadi pengikut Kristus. Disebut awam karena mereka tidak terlibat aktif dalam panggilan khusus. Umat beriman awam juga terpanggil berkat rahmat sakramen Baptis yang diterima dan juga boleh menjadi pewarta kabar gembira kepada segala makhluk dan sampai ke ujung dunia (KHK 207).

    Bab II

    Situasi Internal dan Eksternal Di Keuskupan Agung Pontianak (KAP)

    1. Kemajemukan Sosial, Ekonomi, Politik dan Budaya

    Kemajemukan sosial dalam Gereje Katolik tampak melalui berbagai macam latar belakang etnis, budaya, bahasa, pekerjaan, kedudukan sosial, dan pandangan hidup. Tatanan tenaga pelayanan tertahbis, religius dan keadaan umat yang berwarna-warni ini menjadi dasar pembangunan spiritualitas Gereja. Di samping  imam-imam keuskupan, terdapat juga lebih dari dua puluh Ordo/Kongregasi yang berkarya di keuskupan ini (ed. Wiliam Chang, 2016). Umat Katolik yang majemuk ini tersebar di 26 paroki (sekarang 30), yang mencakup Kota Madya Pontianak, Kota Singkawang, Kab. Kubu Raya, Mempawah, Sambas, Bengkayang dan Landak. Di satu sisi, kemajemukan ini adalah kekayaan Gereja Katolik yang perlu terus menerus diolah dengan baik untuk mewujudkan “Gereja sebagai Tubuh Mistik, yang dipimpin oleh Yesus Kristus, yang merangkul semua golongan umat” (Bdk. Gal 6:15, 2Kor 5:17), (imankatolik.or.id). Dengan ini, Mgr. Agustinus Agus, selaku Gembala umat di KAP ini semangat dalam mottonya: “Instaurare Omnia in Christo” “Semua dipersatukan dalam Kristus” (Bdk. Ef 1:10). Mengambil semangat yang ditelah lebih dahulu digaungkan oleh Paus Pius X, Mgr. Agustinus mencoba mengaplikasikan teladan iman kepada umat bahwa setiap orang itu berbeda, namun bisa bersatu demi kebaikan bersama (tribunpontianak.co.id). Namun di sisi lain, kemajemukan, jika tidak diolah dengan baik, akan memunculkan kendala-kendala lainnya yang mungkin akan menjadi petaka bagi Gereja Katolik itu sendiri. Hal itu bahkan dapat menjadi pemicu keretakan dan perpecahan sosial dan kehidupan menggereja akibat adanya salah paham atau berbenturan dalam urusan kepentingan satu sama lain.

    Kehadiran Gereja yang sangat majemuk ini dipersatukan oleh Kristus Yesus sendiri, yakni melalui Sakramen Pembaptisan (Bdk. Ef 4:4). Kesatuan dan keanekaragaman ini hendaknya semakin dihargai oleh segenap umat beriman Katolik dalam keuskupan ini. Setiap nafas dan gerak lanngkah keuskupan ini mencerminkan diri sebagai Tubuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling tergantung satu sama lain, dalam perihal pelaksanaan tugas pelayanan misioner. Kesatuan di dalam kemajemukan ini menjadi kekuatan seluruh Gereja untuk meneruskan misi penyelamatan umat manusia dan seluruh jagat raya.

    1. Menghidupi “Keluarga Injili”

    Di tengah kemajemukan sosial ini, KAP senantiasa mengusahakan persaudaraan injili berupa Tubuh Kristus sebagai keluarga rohani (ed. Wiliam Chang, 2016). Keluarga ini mengenal sistem kekerabatan rohani, yang menempatkan Yesus Kristus sebagai Kepala seluruh keluarga dan kita sekalian adalah angota-anggota dari tubuh yang sama (bdk. 1 Kor 12). Ciri injili keluarga rohani ini nampak dari kesadaran Gereja untuk menghidupi dan mewartakan Kabar Baik kepada yang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada yang buta, pertolongan kepada orang yang tertindas, dan pemberitaan bahwa rahmat Tuhan telah datang (Bdk Luk 4:19-20).

    “Sebagai keluarga rohani, KAP menjunjung nilai katolisitas, kerukunan antar anggota keluarga, kerja sama yang baik, ketangguhan dalam menghidupi iman-kepercayaan, kemandirian, rasa memiliki, kerja kersa, keterampilan, percaya diri, terbuka, dialog, sikap mendengarkan, memperbarui diri terus menerus, saling menolong, rasa inkulturatif dan tanggap terhadap tanda-tanda zaman” (Ed. Wiliam Chang, 2016).

    Semangat kekeluargaan Injili tercermin dari sikap Gereja dalam hidup bermasyarakat. Dalam rangka kerja sama yang baik, Gereja tetap merasa diri dipanggi untuk siap bersaksi di tengah-tengah masyarakat, mengadakan penginjilan kembali (reevangelisasi) di kalangan umat, memperhatikan keluarga-keluarga Katolik, meningkatkan kemampuan kaum perempuan, mejunjung keutuhan ciptaan, dan siap melayani dalam jiwa misioner (Christus Domini, no. 17). Semangat kekeluargaan ini mendorong setiap anasir Gereja untuk bekerja sama dalam bidang pelayanan pastoral, pendidikan, karya sosial, dan karya amal yang menolong mereka yang berada dalam kesusahan dan keadaan hidup yang memilukan.

    1. Kemandirian

    Kemandirian menjadi ciri perkembangan dan kedewasaan Gereja dalam semangat kerja sama seperti Yesus dengan murid-murid-Nya. Kemandirian ini mengandaikan kerja kerjas anggota Gereja yang tersebar di seluruh dulu wilayah KAP. Kemandirian inimencakup bidang: 1. Ketenagaan, 2. Keuangan, 3. Program pelayanan terpadu setiap komisi, paroki, dan komunitas-komunitas rohani sekarang dan di masa depan. Kemandirian menjadi ciri perkembangan dan kedewasaan Gereja dalam semangat kerja sama dan saling mendukung (Ed. Wiliam Chang, 2016).

    Dalam bidang tenaga pelayanan Gereja, KAP memiliki Seminari Menengah di Nyarumkop sejak tahun 1949, yang bertujuan untuk mempersiapkan pendidikan calon imam, yang akan melayani kebutuhan umat di seluruh keuskupan ini. Untuk itu, dibutuhkan juga tenaga pelayanan yang bermutu agar bisa melayani dengan baik. Sejak tahun 1998 telah dimulai Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus, yang dirintis oleh Uskup-uskup se-Kalimantan di Pontianak. Hal itu supaya setiap calon imam dapat mempersiapkan diri dalam konteks hidup masyarakat di daerah Kalimantan. Tempat persemaian ini juga perlu dibenahi dengan memperhatikan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Lembaga pendidikan calon imam perlu menggalang kerja sama dengan segenap pihak awam yang berkeinginan serta bertindak baik dalam bidang pelayanan pastoral dan sosial Gereja. Oleh karena itu, staf pendidik yang berkualitas dan sarana pendidikan yang memadai senantiasa diusahakan terus menerus (ed. Wiliam Chang, 2016, Benyamin Yosef Bria, 2004, Optatam Totius, no. 2-3).

    Dalam bidang kemandirian berkaitan dengan keuangan pada tingkat keuskupan, setiap paroki dan komisi perlu digalakkan terus dengan lebih melibatkan segenap umat dalam kegiatan pastoral. Komputerisasi pengelolaan keuangan dimulai dari tingkat keuskupan hingga ke paroki-paroki adalah sebuah kebutuhan. Pengelolaan keuangan yang transparan dan bertanggung jawab termasuk tututan Gereja dewasa ini. Pmbentukan Dewam Keuangan pada tingkat keuskupan dan paroki menolong proses pengelolaan keuangan dengan lebih profesional. Pakar keuangan dapat dimintai pendapat-pendapat yang bijaksana sebelum pengamilan keputusan menyangkut hajat hidup umat banyak. Pembangunan-pembangunan sedapat mungkin melibatkan peran serta umat sehingga mereka ikut bertanggung jawab sebagai warga Gereja dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. keterlibatan umat mencerminkan panggilan dan tanggun jawab Gereja dalam proses pewartaan Kabar Baik di tengah-tengah masyarakat kita (ed. Wiliam Chang, 2016).

    Kemudian dalam bidang “program terpadu” yang ada di keuskupan, dalam hal ini, “paroki dan komunitas-komunitas di doa dalam keuskupan perlu ditingkatkan terus, sehingga kerja sama antarkomisi, antarwarga paroki, dan antarparoki serta antarkomunitas doa bisa berjalan dengan baik. Program terpadu ini akan menuntut umat Katolik mengikuti arah dasar seluruh kegiatan dalam keuskupan ini” (Ed. Wiliam Chang, 2016).

    Sebagai sebuah Keuskupan, Pontianak merupakan daerah yang sangat luas dengan jumlah umat sesuai data sensus umat Katolik tahun 2016, yakni lima ratus ribu lebih jiwa (ed. Wiliam Chang, 2016). Berangkat dari data jumlah umat ini, dan tentunya juga kedaan sekitarnya, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi terbentuknya spiritualitas imam diosesan di KAP antara lain sebagai berikut: situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Terlihat sangat jelas sekali kemajemukan di sini. Dalam buku pedoman Unio Indonesia (2002) dikatakan bahwa:

    “Masyarakat Indonesia sebagai medan penghayatan dan perwujudan imamat para anggota unio Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sedang mengalami perubahan. Dalam masyarakat tersebut, muncul keprihatinan-keprihatinan seperti muncul konflik SARA, merosotnya nilai-nilai moral, kehancuran sendi-sendi dasar pendidikan, ketidakadilan gender, dan pelanggaran HAM. Perubahan tersebut terus meminta perhatian Gereja semakin mendesak agar menyuarakan arus keterbukaan terhadap sesama. Hal inipun kedepannya melahirkan gerakan-gerakan yang memperjuangkan kemanusiaan. Keadilan, dan perdamaian”.

    Memang tidak mudah untuk menentukan bentuk pastoral yang ideal itu seperti apa. Pada intinya semua hal itu membutuhkan usaha-usaha dan kerja keras dari Uskup dan para imamnya dalam menemukan dan melaksanakannya. Hal-hal itu akan dijabarkan ke dalam poin-poin di bawah ini.

    a. Spiritualitas Imam Diosesan/Keuskupan Agung Pontianak

    Dalam usaha memahami spiritualitas imam diosesan, Donald Cozzens, seorang rektor sebuah seminari menulis bahwa “Inti dari semua diskusi mengenai mutu pelayanan imam adalah ‘ontensistas dan kematangan’ spiritualitas imam itu sendiri” (Kristanto Pr, 2009).  Lebih lanjut lagi dikatakannya bahwa dua hal itu pun sangat berpengaruh pada kotbah-kotbah seorang imam, kepemimpinannya, perhatian pastoral dan pelayanannya. Menurutnya, segala ketrampilan dan materi bisa dipelajari dan diajarkan, namun semua itu akan tetap menjadi “teknik” yang mengawang semata dalam ide jika tidak dilandaskan pada hidup rohani yang kuat.

    Spiritualitas berakar pada sikap dasar seseorang terhadap kehidupan  – hidup seutuhnya – bukan hanya sekedarnya sisi kultisnya. Spiritualitas itu mencakup semua perilaku yang mengalir dari sikap dasar itu (Kristanto Pr, 2009). Demikian spiritualitas mengarahkan seluruh hidup seseorang yang dihayati dalam kenyataan hidupnya yang amat konkret. Sikap dasar dan tingkah laku yang menlari dari padanya, juga dibentuk dan diwarnai oleh kesadaran dan iman akan Yang Transenden – Yang mengatasi dirinya dan dunia yang tampak, yang kemudian memberi makna, arti, dan arah hidup seseorang. “Kalau kesadaran akan Yang Transenden ini merasuki seluruh hidup seseorang, mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya, seseorang itu disebut ‘rohani’ ”.

    Demikianlah tulisan Donald tersebut hendak mengatakan bahwa spiritualitas itu berarti jalan atau cara hidup seseorang yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang terhubung dengan Yang Transenden, dengan Tuhan. Kemudian, yang dimaksud dengan corak spiritualitas yang berakar dan dibentuk oleh indentitas itu berarti identitas seorang imam diosesan adalah bahwa ia dipilih sebagai perantara dalam hubungan antara Allah dengan Manusia.

     

    Bab III

    1. Aktualisasi terhadap spiritualitas Imam keuskupan masa kini

    Sejauh kita telaah, spiritualitas imam diosesan yang telah disebutkan di atas tak lepas dari apa yang telah diajarkan dalam Konsili Vatikan II. Pedoman dalam berpastoral yang telah ditetapkan di setiap keuskupan, khususnya pedoman/Statuta Keuskupan Regio Jawa (Para Wali Gereja Regio Jawa, 1996). Dalam menanggapi tema Eklesiologi Konsili Vatikan II, maka Keuskupan di setiap daerah dan dunia, khususnya di Indonesia seturut dengan Statuta Keskupan Regio Jawa, menetapkan beberapa hal yang penting. Berbagai persoalan serta peristiwa yang terjadi dan dialami oleh Gereja di Pontianak secara khusus, merupakan tantangan dan juga sekaligus peluang bagi Gereja Keuskupan Agung Pontianak untuk membaharui diri. Pembaharuan diri ini berorientasi dan berintegrasi pada nilai-nilai yang terdapat pada aspek yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II. Pertama-tama berkaitan dengan kehidupan dan pelayanan pastoral para imam. Secara menyeluruh, bentuk konkrit dari upaya aktualisasi terhadap gagasan Konsili Vatikan II itu nampak pada adanya suatu pembaruan spiritualitas ataupun model pastoral di KAP. Model Pastoral itu dibagi menjadi dua, yaitu dari dalam dan dari luar (ed. Wiliam Chang, 2016), yang akan diuraikan pada penjelasan berikut.

    A. Pembenahan ke Dalam

    Misi untuk mewujudkan Gereja Katolik yang menjawab kebutuhan zaman dewasa ini (Missio Ad Intra), pembenahan terus-menerus dalam tubuh Gereja merupakan suatu tanggung jawab bersama. Secara khusus pada tahun 2016 Gereja kita diminta untuk memerhatikan Surat Gembala KWI tentang Keluarga, yang merupakan rangkuman hasil SAGKI 2016 tentang keluarga. Sambil memerhatikan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Hukum Kanonik, pembenahan internal organisasional dengan tenaga-tenaga pastoral yang profesional tak terhindarkan.

    1. Struktur Organisasi

    Struktur organisasi pada tingkat keuskupan, paroki, stasi, dan organisasi kategorial yang efisien akan menolong pengembanan tugas pelayanan yang efektif. Penjabaran tugas (job description) yang jelas dan terpantau dengan baik akan mendukung semua jenis tugas pelayanan dalam bidang masing-masing Transparansi, kerja sama yang baik dan sehat antarorgan struktur organisasi akan meningkatkan mutu pelayanan bagi seluruh umat Katolik. Sekretariat Keuskupan dan paroki berusaha mengadakan pendataan yang teliti tentang jumlah dan keadaan umat dalam setiap bidang pelayanan. Bank data 3 tentang seluruh situasi keuskupan diperlukan dalam proses penyusunan rencana pelayanan Penerapan media komunikasi modern akan memperlancar tugas dan pelayanan pastoral Komputerisasi semua data di setiap paroki akan memperlancar proses pelayanan umat dewasa ini.

    1. Harta-Benda Keuskupan

    Harta benda keuskupan tersebar dalam setiap paroki dalam yurisdiksi Keuskupan Agung Pontianak. Perlu diteruskan program inventarisasi dan sertifikasi kendaraan, tanah dan bangunan milik keuskupan, sehingga bisa terpelihara dan terpantau dengan baik Tanggung jawab dan transparansi dalam penggunaan harta benda umum perlu diperhatikan dan dijalankan dalam setiap bidang pelayanan. Setiap pastor paroki dapat mendukung program ini dengan memberikan informasi teliti yang sewaktu waktu diperlukan. Proses pemeliharaan atau perawatan harta benda keuskupan termasuk tanggung jawab pastor paroki dan seluruh umat Katolik

    1. Komisi-Komisi

    Sebagai perpanjangan tangan Uskup Agung Pontianak, sampai sekarang terdapat sembilan Komisi (Keluarga, Kateketik, Kerawam, Pendidikan, PSE, Liturgi Delegat Alkitab, Komunikasi Sosial, Kendaraan, dan Kepemudaan), yang masih aktif bekerja. Program kerja setiap komisi disusun, dikoordinasi, dan disampaikan dalam forum pertemuan antarkomisi dan kepada para pastor paroki, sehingga program itu dapat dijalankan dalam bingkai kerja sama yang baik antara komisi dan paroki-paroki. Koordinasi kerja sama antarkomisi dalam keuskupan terus digalakkan, yang tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan program secara bersama. Langkah-langkah pelayanan bersama yang melibatkan pastor-pastor paroki dan segenap umat memerlukan pelayanan lintaskomisi.

    1. Yayasan-Yayasan

    Pengurus dan akta Yayasan milik keuskupan perlu dipantau dan ditinjau dengan baik, sehingga mereka yang dipercayakan untuk menangani Yayasan sungguh bisa menunai kan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Pengurus Yayasan (Sekolah. Rumah Sakit, Persekolahan, Pertukangan, dan Lembaga Amal) adalah motor yang menggerakkan seluruh roda pelayanan yayasan. Jadwal pertemuan atau rapat Yayasan secara rutin perlu diterapkan, supaya bisa menjawab kebutuhan umat di lapangan. Tenaga profesional dan dedikatif diperlukan dalam setiap bidang pelayanan, sehingga Gereja bisa menyajikan pelayanan terbaik untuk seluruh Gereja. Kerja sama dengan semua pihak yang berkehendak baik akan lebih menghidupkan dan mengaktifkan yayasan-yayasan dalam naungan keuskupan sehingga penanganan pelayanan kategorial bisa berkembang dengan lebih baik.

    1. Komunitas-Komunitas Doa

    Secara formal telah terdaftar 23 komunitas doa, yang dikoordinasi oleh BPK (Badan Pelayanan Karismatik). Pendampingan dan pemantauan terhadap kegiatan komunitas doa termasuk tugas BPK dan moderator setiap komunitas doa. Setiap komunitas memiliki visi-misi dan warna tersendiri dalam pelayanan. Komunitas ini umumnya membuka peluang terutama bagi mereka yang ingin memenuhi kehausan rohani dalam bentuk kegiatan doa dan pelayanan rohani di semua kalangan umat. Komunitas-komunitas ini perlu lebih peduli dan memperhatikan keadaan dan kebutuhan real umat Katolik setempat. Sebuah jaringan kerja sama yang terpadu ditingkatkan dalam sistem koordinasi terpadu yang baik.

    1. Kesehatan

    Pelayanan kesehatan termasuk salah satu bidang pelayanan penting sejak kedatangan misionaris di keuskupan ini, antara lain, dengan mendirikan persekolahan, klinik klinik dan rumah sakit. Sebuah pelayanan yang baik, profesional dan menjawab kebutuhan masyarakat ditangani dengan serius. toring dewasa ini perlu Sistem moni (pemantauan) dan evaluasi (penilaian) berkala dengan melibatkan semua pihak dalam bidang kesehatan adalah salah satu kunci yang dapat memperbaiki pelayanan dalam bidang kesehatan. Masukan-masukan berharga dari kalangan masyarakat akar rumput sudah waktunya diperhatikan dan ditanggapi, sehingga mutu pelayanan dapat ditingkatkan terus dari waktu ke waktu. Di tengah dunia persaingan, kehadiran pelayanan dan peran rumah sakit kita seharusnya ditingkatkan. Rumah-rumah sakit di bawah naungan Yayasan Keuskupan sudah waktunya berbenah diri secara profesional sehingga bisa menjawab kebutuhan masya rakat. Tenaga-tenaga profesional dan berjiwa pengabdian sangat dinantikan dalam memajukan pelayanan kemanusiaan ini.

    1. Pendidikan

    Pelayanan dalam bidang pendidikan formal dan kesehatan berjalan serempak. Sekolah sekolah yang berpayung pada Yayasan Perum milik Keuskupan perlu lebih diperhatikan Kerja sama antarsekolah Katolik sangat pen ting dalam menjawab tuntutan pendidikan dewasa ini. Penyusunan langkah-langkah konkret pelayanan dalam dunia pendidikan formal berupa kebijakan-kebijakan bersama tidak cukup hanya mendongkrak mutu pendidikan, tetapi juga perlu memerhatikan mereka yang berekonomi lemah dan dipinggirkan, sehingga bisa mengecap pendidikan yang baik di sekolah-sekolah asuhan kita. Koordinasi sekolah-sekolah Katolik dengan memerhatikan visi dan misi Keuskupan sedang dinantikan agar terwujud iklim pendidikan yang semakin baik dan sehat. Profesionalitas dalam pengelolaan dunia pendidikan formal adalah tuntutan dasar dalam mempertahankan dan meningkatkan pelayanan kita dalam proses lebih memanusiawikan manusia.

    1. Pelayanan Sosial

    Karya pelayanan sosial terutama bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir sangat penting diperhatikan. Lembaga-lembaga pelayanan sosial yang bergerak dalam bidang pertolongan korban bencana alam, musibah, dan pengobatan gratis ditingkatkan terus, baik pada tingkat parokial maupun stasi-stasi. Kebutuhan-kebutuhan dasar umat sederhana seharusnya lebih diperhatikan dan ditanggapi. Kerja sama dan keterlibatan dengan segenap lapisan umat akan menentukan perwujudan pelayanan sosial hingga sekarang. Peringanan biaya pengobatan dan pendidikan mereka yang sungguh berekonomi lemah dan dipinggirkan adalah sektor pelayanan utama yang masih berjalan aktif sampai sekarang Penggunaan dana APP yang tepat sasar dan sesuai dengan kebutuhan umat termasuk langkah konkret untuk mewujudkan pelayanan sosial.

    1. Optimalisasi Penggunaan Gedung Pusat Pastoral

    Pada dasarnya gedung ini berada dalam pengaturan dan pengawasan Sekretariat Keuskupan Agung Pontianak. Hingga sekarang Kantor Ekonom Keuskupan masih menempa gedung ini. Gedung ini masih dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok doa, mudika legioner dan katekumen. Pemanfaatan gedung pusat pastoral di Jl. H. Juanda (Pontianak perlu dikelola dengan lebih baik. Sebuah evaluasi menyeluruh atas penggunaan gedung perlu dilakukan, sehingga pemanfaatannya bisa lebih optimal.

    1. Pastoral Kategorial

    Pastoral kategorial di kalangan anak-anak kaum remaja, pemuda, dan mahasiswa termasuk kebutuhan pastoral yang mendesak, yang perlu lebih diperhatikan. Pembinaan anak-anak usia dini selama ini ditangani oleh pengelola Sekolah Minggu dalam koordinasi dengan Komisi Karya Kepausan. Tenaga tenaga sukarelawan yang terlatih akan meningkatkan mutu pelayanan di kalangan anak-anak. Kerja sama dengan pihak orang tua tak bisa dilalaikan sedikit pun. Jejaring kerja sama yang baik perlu dibangun dalam mengembangkan pelayanan pastoral kategorial ini.

    a. OMK

    Pelayanan pastoral di kalangan Orang Muda Katolik (OMK) sudah bergerak dan masih perlu dioptimalkan sambil memerhatikan kebutuhan mereka. Gerakan pelayanan ini tidak cukup hanya bersifat masif, tetapi sebaiknya dilaksanakan secara rutin di tingkat parokial sehingga bisa menjangkau OMK sebanyak mungkin. Pastor paroki sebaiknya mengambil langkah-langkah konkret untuk menghidupkan OMK dan mengadakan kegiatan-kegiatan dan pelatihan-pelatihan yang membekali mereka untuk menyongsong masa depan. Bahaya penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas kaum muda termasuk agenda penting yang terdaftar dalam seluruh program pembinaan. Langkah dan tindakan konkret untuk menyelamatkan OMK dar bahaya penyalahgunaan narkoba termasuk salah satu prioritas utama.

    b. Pemuda/i Katolik

    Jumlah pemuda/i Katolik kian hari kia berkembang dan mereka tersebar di hampir semua paroki secara merata. Jumlah katekumen tidak pernah surut. Kebanyakan dari antara mereka masih menuntut ilmu pengetahuan di bangku sekolah. Merek ini akan menjadi masa depan Gereja kita Di samping orang tua, pendidik di sekolah dan masyarakat, terasa penting tenaga seorang imam yang bisa mendampingi dalam perjuangan hidup mereka sebagai pemuda yang beridentitas Katolik. Kejelasan orientasi hidup kaum muda tidak tersangkalkan. Penanaman nilai-nilai Katolik sudah waktunya ditingkatkan, sehingga mereka memili bekal menapaki masa depan yang cerah Program kaderisasi perlu dirancang dengan sistematis dalam menghadapi tantangan tantangan ekonomi, politik, hukum, sosial kebudayaan dan religius di masa depan.

    c. Mahasiswa/i

    Jumlah mahasiswa Katolik di seluruh Pontianak hampir mencapai 5.000 orang, yang tersebar di sejumlah Perguruan Tinggi, seperti Universitas Tanjungpura, Perguruan Tinggi Widya Dharma, Universitas Panca Bakti, IKIP, Akademi Perawat, Akademi Kebidanan, Universitas Muhammadyah. Hampir semua mahasiswa/i dari luar daerah Pontianak tinggal di rumah-rumah kos milik masyarakat umum. Asrama yang ditangani oleh Bruder dan Suster tidak selalu diminati. Dalam keadaan ini, perhatian dan perawatan hidup rohani mahasiswa/i sangat diperlukan, sehingga selama mengecap pendidikan di Pontianak mereka mendapat pendampingan yang diharapkan. Tenaga imam yang secara khusus mendampingi mahasiswa/i akan banyak menolong mereka dalam memenuhi keperluan hidup rohani. Kegiatan-kegiatan spiritual bisa dijalankan dengan mekanisme terpadu yang merangkul semua mahasiswa/i. Program kerja yang jelas dan terencana dengan baik sangat diperlukan dalam menjalankan karya kerasulan di kalangan mahasiswa/i.

    d. Keluarga

    Salah satu pilar utama dalam hidup menggereja adalah keluarga. Sebagai “seminari kecil keluarga bisa menjadi tempat persemaian benih-benih panggilan dalam hidup menggereja. Di dalam keluargalah seseorang dapat mempelajari cinta kasih dan kesetiaan Tuhan (Kel. 12:25-27; 13:8, 14-15; UI. 6:20-2 13:7-11; 1 Sam. 3:13). Di dalam keluargalah anak-anak mempelajari pelajaran-pelajaran mereka yang pertama dan terpenting tentang kebijaksanaan, yang terkait dengan kebajikan dalam hidup manusia (Sir. 3:1-16; 7:27-28).

    Justru itu, perhatian Gereja terhadap keadaan dan perkembangan keluarga termasuk sala satu prioritas dalam memajukan kehidupan menggereja. Perhatian, pendampingan dan bantuan Gereja sangat diperlukan oleh keluarga-keluarga yang sedang mengalami krisis hidup beriman. Kehadiran seorang imam dalam kerja sama dengan kaum awa untuk lebih memerhatikan keluarga-keluarga secara umum mendapat skala prioritas dalam keuskupan ini. Dengan memperhatikan keluarga-keluarga Katolik, Gereja secara tidak langsung ikut mendukung pendidikan keluarga bagi anak-anak mereka.

    e. Gerakan awam

    Sebagai bagian integral hidup menggereja, awam yang aktif dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan kemasyarakatan adalah bagian integral Gereja. Panggilan kaum awam sebagai imam, nabi, dan raja adalah menjadi garam dan terang dunia (Mat. 5:3 16). Merupakan panggilan dan tugas kaum awam untuk mewartakan Injil dengan memberikan kesaksian hidup yang berakar di dalam Kristus dan menghidupi kenyataan kenyataan dewasa ini. Kenyataan-kenyataan ini mencakup keadaan hidup dalam keluarga, dunia kerja, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan penelitian, dan penunaian tanggung jawab dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Kaum awam dipanggil untuk mengolah spiritualitas kaum awam, yang dengannya mereka dilahirkan kembali sebagai manusia baru, yang dikuduskan dan diresapi oleh misteri Allah dan sanggup menggarami masyarakat. Nilai-nilai dan kekayaan rohani yang baik diawetkan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Selain itu, Gereja membawa terang di tengah kegelapan kehidupan menggereja. Sejak awal karya misi hingga kini kaum awam sudah berjasa besar dalam membangun dan memajukan Gereja Katolik.

    Gerakan awam dewasa ini perlu lebih memerhatikan dan menanggapi tanda-tanda zaman dan kebutuhan umat di tengah tengah dunia modern. Masalah-masalah yang sedang berkembang dalam Gereja dan masyarakat perlu dipantau dengan saksama, sehingga Gereja bisa mengambil sejumlah langkah antisipatif dan pembenahan yang diperlukan. Keterlibatan awam dalam memajukan kehidupan sosial, ekonomi, politik. hukum, dan kebudayaan tergolong langkah langkah yang penting diambil dalam proses mempersiapkan masa depan yang baik bagi seluruh Gereja.

    B. Pembenahan dari Dalam

    1. Keadilan, Kedamaian, dan Keutuhan Ciptaan

    Gereja Katolik menyadari bahwa perjuangan untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan merupakan tugas integral dalam hidup menggereja (Missio Ad Extra). Sejak kemerdekaan hingga sekarang, keadilan sosial belum dinikmati oleh segenap anak bangsa, termasuk warga Gereja Katolik. Jumlah umat Katolik yang terjerat kemiskinan tidak sedikit dan mereka tersebar di hampir semua paroki. Ekonomi kerakyatan yang dirintis oleh CU ternyata menolong umat dalam mewujudkan kesejahteraan rumah tangga. Kesetia-kawanan sosial antaranggota umat perlu ditingkatkan terus dalam wujud nyata, seperti saling menolong dan saling mendukung dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup sehari hari. Masalahnya, langkah-langkah konkret apakah yang seharusnya ditempuh oleh Gereja Katolik untuk mengatasi ketidak-adilan struktural di tengah masyarakat kita? Unsur-unsur sosialapakah dalam masyarakat kita yang dapat diajak untuk menghadapi dan memecahkan masalah kemiskinan di tengah-tengah masyarakat kita?

    Kedamaian termasuk salah satu unsur penting dalam kehidupan menggereja. Dalam kurun waktu satu dekade lebih, Gereja Katolik di daerah Kalbar berada dalam iklim damai dan aman. Konflik individual, horizontal, vertikal dan sektoral dalam masyarakat terkadang muncul sebagai reaksi atas ketidak-adilan dalam bidang penegakan hukum positif. Sedangkan secara umum, Gereja Katolik berada dalam keadaan damai dan terluput dari konflik-konflik terbuka dan terselubung yang merugikan orang banyak. Siasat untuk menjaga dan melestarikan damai sangat diperlukan supaya Gereja dan masyarakat dapat berkembang dengan baik dari waktu ke waktu.

    Keutuhan ciptaan sedang mengalami krisis. Tanah masyarakat lokal dilepas atau dijual tanpa mempertimbangkan masa depan anak cucu. Pelepasan tanah berarti melepaskan diri dari peluang dan kemungkinan untuk mengembangkan usaha-usaha produk lokal. Mentalitas untuk menjaga dan mengolah tanah secara intensif perlu dipupuk terus. Hutan yang diubah menjadi sebuah kawasan perkebunan monokultur akan mendatangkan dampak ekologis bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Jenis tanaman yang dapat dikonsumsi masyarakat sebagai sayur mulai hilang dari perkebunan monokultur dalam ukuran raksasa. Keseimbangan alam terganggu sejak pembukaan lahan dengan sistem pembakaran hingga penggunaan pupuk kimia yang merusak struktur tanah pertanian di daerah Kalbar. Langkah-langkah konkret dan bijaksana yang mempertimbangkan masa depan diperlukan dalam proses menyejahterakan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Perjuangan Gereja Katolik untuk mewujud kan keadilan, damai, dan keutuhan ciptaan perlu menggandeng semua unsur dalam masyarakat, sehingga sebuah jejaring kerja sama antarunsur sosial dapat bergerak bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, damai, dan menyatu dengan seluruh lingkungan hidup. Kerja sama ini termasuk keterbukaan dan keterlibatan Gereja dalam membaca dan menanggapi tanda tanda zaman di tengah-tengah masyarakat

    1. Jejaring Dialog

    Gereja Katolik tetap menunjukkan diri sebagai himpunan warga masyarakat yang selalu terbuka dari waktu ke waktu untuk menjalin hubungan kerja sama yang baik dan sehat demi kepentingan seluruh Gereja. Jaringan kerja sama ini dianggap baik sejauh tidak mengaburkan misi utama Gereja Katolik untuk membawa Kabar Baik di tengah-tengah masyarakat dan merangkul semua golongan. Jaringan kerja sama ini sehat, sejauh otonomi dan perwujudan diri Gereja Katolik tidak dikaburkan oleh kerja sama antarunsur sosial dalam masyarakat.

    Sebuah dialog yang menjunjung keterlibatan  Gereja sangat tepat untuk daerah Kalbar, sehingga Gereja bisa aktif mengambil bagian dalam menegakkan keadilan, mengentas kemiskinan, dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Keterlibatan Gereja, sejauh ini, telah melibatkan kegiatan-kegiatan dalam komisi komisi Keuskupan Agung Pontianak, seperti PSE, Kateketik, Komsos, KKM, Pendidikan, Kepemudaan. Kegiatan komisi-komisi ini bisa menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang berkehendak baik, seperti LSM dalam dan luar negeri yang sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan masyarakat banyak. Dialog dalam hampir semua bidang hidup dan karya tak terelakkan. Prinsip dasar dialog ini menjunjung nilai kebenaran, kejujuran, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Sikap dasar sopan santun dan saling menghargai mencerminkan sikap Gereja yang mengakui kesederajatan setiap manusia dan lembaga agama yang dianut. Dialog yang sedang berjalan diteruskan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan nyata yang menyentuh kemanusiaan, keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan.

    1. Hubungan Antaragama

    Forum kerja sama lintas-agama terasa penting supaya Gereja bisa menempatkan diri dengan baik di tengah-tengah masyarakat majemuk yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Niat pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mendorong kita sekalian untuk aktif mengusahakan kerja sama yang baik dan sehat demi kedamaian dan kerukunan antarumat beragama. Dialog kehidupan sebagai umat beriman jauh lebih penting daripada dialog dengan kata-kata dan melalui forum pertemuan artifisial yang terkadang bersifat pro forma.

    Pertemuan dan rapat-rapat yang terkait dengan masalah hubungan antaragama perlu dihadiri sedapat mungkin, sehingga Gereja kita memiliki informasi terkini dan memadai dalam dunia hubungan antaragama. Situasi dan kondisi setiap agama akan menolong kita untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam pewartaan Kabar Baik. Bentuk dan jenis kerja sama apakah yang dapat digalang dalam proses membangun sebuah masyarakat yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Jejaring kerja sama yang berdasarkan keterbukaan dan kejujuran akan menolong kita untuk saling mengenal dan mendukung dalam memajukan kehidupan rohani masyarakat. Sikap toleran dipupuk dan dikembangkan terus dalam kalangan masyarakat terkecil dulu, sehingga bisa merambat ke kalangan masyarakat yang lebih luas. Nilai-nilai dasar dalam falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila, dapat menjadi acuan utama dalam membangun hubungan persaudaraan lintas-agama.

    Kesimpulan

    Pedoman berpastoral yang agung dan sangat baik sekalipun tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila hanya melekat pada tataran ide dan tulisan semata. Demikian juga jika apa yang tertulis tersebut tidak sesuai dengan realita. Statuta Pastoral Regio Jawa menurut memang baik dan bagus dan menjadi contoh bagi terealisasinya kegiatan berpastoral di Indonesia, khusunya Kalimantan. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak semuanya bisa diterapkan di Kalimanta. Berkenaan dengan hal pokok, seperti pelayanan orang sakit, pembaptisan, dan sakramen-sakramen lainnya tentu saja bisa. Tetapi, untuk mengaplikasikanya, terutama jika membicarakan mengenai medan pastoral, jarak tempuh serta tantangan lainnya. Sekali lagi bahwa, tantangan dan peluang yang ada tersebut justru menambah nilai juang yang indah dalam pelayanan Kabar Baik bagi semua orang yang ada di Kalimatan, terkhusus di Keuskupan Agung Pontianak (KA). Indahnya kemajemukan Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik di KAP merupakan situasi di mana iman itu membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Namun justru dengan itu, iman umat Katolik di KAP semakin menjadi kuat dan tahan uji dalam mengikuti Kristus Yesus.

    Daftar Pustaka

    Buku-Buku:

    Chang, Wiliam. (2016). Ed. Visi – Misi Keuskupan Agung Pontianak. Jakarta: Obor.

    Go, Piet Twan An. (2002). Himpunan Dokumen Status Gereja Di Indonesia. Malang: Dioma.

                . (1971). Pengantar Hukum Gereja. Malang: Dioma.

    1. Kristanto, S. (2009). Spiritualitas Imam Diosesan “Sebuah Usaha Pencarian”. Yogyakarta: Kanisius.

    Jacobs, Tom, SJ. (1970) Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium mengenai Geredja: “Terjemahan, Introduksi, dan Komentar”. Jakarta: Kanisius.

                . (1985). Gereja Yang Kudus. Yogyakarta: Kanisius.

                . (1986). Karya Roh Dalam Gereja. Yogyakarta: Kanisius.

    Komkat KWI. (2016). Katekese di Era Digital: Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital. Yogyakarta: Kanisius.

    Magnis, Frans Suseno. (2017). Katolik itu Apa? Sosok-Ajaran-Kesaksian. Yogyakarta: Kanisius.

    Mardiatmadja, B.S. SJ. (1991). Eklesiologi Makna dan Sejarahnya. Yogyakarta: Kanisius.

    MAWI. (1978). Pesan-Pesan MAWI Kepada Karya-Karya Kesehatan Katolik. Jakarta: Dokpen MAWI.

    Para Wali Gereja Regio Jawa 1995. (1996). STATUTA Keuskupan Regio Jawa/. Yogyakarta: Kanisius.

    Sogen,  Dimas Sandy Himawan,  Antonius Denny Firmanto, dan Ninik Wijayati Aluwesia. (2021). Perkembangan Iman Rasul Cilik pada Masa Pandemi Covid-19 Paroki Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel Ijen Malang. SAPA: Jurnal Kateketik Dan Pastoral. Vol 6. No. 1.

    Unio Indonesia. (2002). Pedoman Unio Indonesia Tahun 2002. Yogyakart: Unio Indonesia.

    Tim KKI. (2015). Pertemuan Nasional Karya Kepausan Indonesia VIII. Jakarta: Percetakan KKI.

    Yosef, Benyamin Bria. (2004). Norma Hukum Kanonik Tentang Klerus (Pelayan Rohani Tertahbis). Yogyakarta: Pustaka Nusantara.

    Winarno, Yayok. (2019). Skripsi: Perkembangan Katekese Digital Menurut Pertemuan Katekese Antar Keuskupan Se-Indonesia Kesepuluh (PKKI X). Diakses dari http://repository.usd.ac.id/35510/2/131124043_full.pdf. Dan diunduh  pada 25 September 2021.

    Dokumen Gereja:

    Konsili Ekumenis Vatikan II (2012). Dekrit tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja Christus Dominus. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor.

    Konsili Ekumenis Vatikan II (2012). Konstitusi tentang Gereja Lumen Gentium. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor.

    Sumber dari Internet

    Agustinus Agus. (2021). Saling Dukung Adalah Hal Pokok Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Diakses dari https://pontianak.tribunnew.com/2021/07/01/uskup-agus-saling-dukung-adalah-hal-pokok-dalam-hadapi-pandemi-covid-19. 26 September 2021

                   . (2021). Surat Gembala Mgr. Agustinus Agus dalam rangka Memasuki masa Prapaskah Di tengah Pandemi. Diakses dari https://pontianak.tribunnews.com/amp/2021/02/19/surat-gembala-app-keuskupan-agung-pontianak-2021-semakin-beriman-semakin-miliki-roh-kesetiakawanan?. Pada 26 September 2021.

    Jelahu, Ferdianus MTB. (2020). Katekese di tengah pandemi Covid 19. Bantul, Yogyakarta. Diakeses dari https://katoliktimes.com/katekese-di-tengah-pandemi-covid/. Diakses pada 29 September 2021.

    Samuel. (2021). Cegah Korona, Keuskupan Agung Pontianak meniadakan Misa hingga Jalan Salib demi mengurangi terjadinya peningkatan pasien postifif akibat virus  Covid-19. Diakses dari https://pontianak.tribunnews.com/amp/2020/03/21/cegah-corona-keuskupan-agung-pontianak-tiadakan-misa-hingga-jalan-salib. Pada 26 September 2021.

    Sumber dari Koran dan Majalah:

    Kompas. 17 September. (2021).

    Hidup Katolik. (2020).

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles