MajalahDuta.Com, Ngabang– Disclaimer terlebih dahulu. Pertama, saya bukanlah seorang Dominikan (Ordo Pengkhotbah). Saya hanya seorang pembelajar yang baru-baru ini, secara intens, hidup bersama dan berdialog dengan para imam Dominikan di Pontianak.
Kedua, saya tidak pernah secara langsung bersekolah atau kuliah di lembaga pendidikan Dominikan. Saya hanya sesekali berkunjung ke kampus-kampus yang dikelola oleh Dominikan ataupun mempelajari dokumen-dokumen publik terkait tata kelola perguruan tinggi yang dikelola oleh Dominikan.
Ketiga, tulisan ini tentu tidak mewakili Ordo Pengkhotbah ataupun lembaga yang menaungi saya sekarang (STKIP Pamane Talino). Hanya saja, saya mengandaikan kontekstualisasinya adalah pada STKIP Pamane Talino. Tulisan ini semata-mata buah refleksi saya saat berhari-hari di Jakarta tanpa bisa berkeliling akibat pandemi.
Kita Mulai dari Pertanyaan: Mengapa Tulisan Ini Dibuat?
Ini adalah tahun ketiga saya belajar dan bekerja di STKIP Pamane Talino. Saat ini saya diberi tanggung jawab di bidang pengelolaan kehidupan akademis kampus dan tata kelola teknis di kampus. Kedua bidang ini sejatinya sangat baru bagi saya. Bertahun-tahun saya belajar Filsafat dan mencoba memahami segala sesuatu yang ada di dalamnya dengan sedikit lebih baik. Pengelolaan akademis dan teknis tentu saja baru bagi saya, walau faktanya sehari-hari saya menghidupi itu.
Semuanya bermula pada tahun 2018. Itu adalah tahun pertama saya bergabung di STKIP Pamane Talino. Kebetulan pada tahun itu juga pengelolaan STKIP Pamane Talino diserahkan kepada Keuskupan Agung Pontianak (KAP).
KAP kemudian secara langsung mempercayakan Ordo Pengkhotbah (Dominikan) sebagai pengelola langsung dalam kerjasama dengan Kongregasi Passionis.
Baca juga: Hi smart millennials!
Pada saat itu, hal yang pertama kali saya lakukan bukanlah berjumpa dengan setiap orang di STKIP Pamane Talino. Apa yang saya lakukan? Saya pertama-tama membaca Statuta dan Manual Kerja STKIP Pamane Talino. Sebagai seorang akademisi muda, tentu perjumpaan paling awal yang saya lakukan haruslah lewat dokumen dasar. Saat itu saya tertarik dengan redaksi “Tradisi Intelektual Dominikan” di banyak bagian dalam statuta. Apa itu Tradisi Intelektual Dominikan?
Selama 2-3 tahun, saya terus bertanya kepada semua Dominikan yang saya kenal tentang Tradisi Intelektual Dominikan. Saya bertanya kepada Romo Robini, Romo Ming dan Romo Andre. Saya juga bertanya langsung kepada Abang saya (Fr. Rambang, OP) serta para dosen di University of Santo Tomas Manila. Saya mencoba merumuskan dengan tepat redaksi tersebut dalam keseharian kampus. Pertama-tama, saya tidak hendak mentransformasi kampus.
Saya semata-mata hanya ingin mentransformasi pikiran dan kehidupan saya sehingga sesuai dengan tradisi intelektual tersebut. Dalam benak saya, tidak mungkin saya bisa berbagi tentang Tradisi Intelektual Dominikan tanpa saya sendiri menghidupinya.
Baca juga: Paus meminta para Dominikan untuk menjadi yang terdepan dalam pewartaan kabar suka cita
Pada saat tulisan ini saya buat, saya akhirnya sadar bahwa karakter kampus, dalam hal ini STKIP Pamane Talino (juga Akper Dharma Insan dan Akbid St. Benedicta), haruslah benar-benar dihidupi oleh setiap orang. Ini bukan soal jargon.
Ini soal bagaimana institusi ini akan dibawa dan bagaimana setiap orang yang ada di dalamnya membawakan dirinya. Ini bukan soal teks yang harus disubmit ke BAN-PT. Ini adalah soal jati diri institusi ini. Itulah alasannya saya mulai menulis tentang Pendidikan Berkarakter Dominikan yang saya tahu.
Dominikan yang saya tahu
Dalam satu kesempatan, Romo Robini memberi saya Buku Konstitusi Ordo Pengkhotbah. Saya melihat buku itu sekilas. Benar-benar saya hanya membaca daftar isinya. Saya tidak akan berfokus pada bagian Hidup Doa para Dominikan. Mereka adalah religius. Nafas mereka adalah doa. Saya lebih tertarik, saat itu, pada bagian hidup studi dan persaudaraan. Konstitusi tersebut secara khusus memberikan penekanan pada hidup studi dan persaudaraan para biarawannya.
Ini masuk akal. Dalam keseharian, saya menyaksikan sendiri bagaimana setiap Dominikan begitu “tergila-gila” pada studi. Mereka membaca, berdiskusi dan menulis.
This is in their blood! Dialog keseharian dengan para Dominikan rasanya selalu menjadi sebuah dialog yang bernas. Ada “kulit” yang selalu mereka gelitik, namun juga selalu ada “kedalaman” yang mereka ajak untuk selami.
Baca juga: Penjubahan Sembilan Novis Ordo Pewarta
Mereka jujur mengatakan “saya tidak tahu” pada hal yang benar-benar tidak mereka ketahui. Mereka menolak memberikan masukan pada bagian yang tidak mereka kuasai. Ujung dari ini semua sebenarnya adalah usaha tanpa henti para Dominikan untuk mencari Kebenaran.
Saya juga tertarik pada cara Dominikan dalam menghidupi persaudaraan di antara mereka. Saya tahu dengan cukup baik bahwa dalam komunitas Dominikan di Palapa (Pontianak), mereka hidup dalam perbedaan karakternya masing-masing. Cara mereka mengekspresikan diri dan argumentasinya juga berbeda-beda. Pendapat mereka tidak selalu sama (bahkan seringkali berbeda).
Pandangan saya ini tentu bisa jadi sekilas, tapi saya menyaksikan bahwa mereka terbuka dalam berargumentasi. Dalam keseharian, saya menyadari bahwa para Dominikan ini hadir dalam diri mereka sebagai manusia dalam segala keterbatasannya.
Namun demikian, mereka benar-benar hidup dalam perbedaan tersebut. Segala perbedaan pendapat mereka bicarakan dalam komunitas. Segala hal yang sudah disepakati dalam komunitas mereka pegang teguh dan mereka dukung. No man left behind!
Baca juga: Surat Bapa Suci Kepada Brother Gerard Francisco Timoner, O.P., Master Jenderal Order of Preachers
Bagi saya, mereka cemerlang. Ada banyak kesempatan bagi para Dominikan ini untuk menjadi teolog atau ahli besar di Indonesia. Come on! Darah mereka adalah studi. Mereka bisa menjadi “orang besar”. Namun sebaliknya, mereka lebih berfokus pada poin-poin yang disepakati dalam komunitas.
Mereka berpegang teguh pada aturan (prosedur). Romo Robini selalu mengatakan: “Prosedur/proses sama pentingnya dengan hasil”. Persaudaraan adalah pondasinya. Barangkali, jika ada Dominikan yang tampil di banyak media dan dibicarakan oleh khalayak ramai karena popularitas intelektualnya, seharusnya itu adalah atas dasar keputusan komunitas.
Ini Dominikan yang saya tahu. Tentu sangat terbatas. Bisa jadi juga saya keliru dalam melihat ini. Tapi target tulisan ini bukanlah pada cara hidup Dominikan. Saya membawa cara hidup mereka pada Karakter Pendidikan Dominikan di kampus.
Kampus Berkarakter Dominikan
Sekarang saya mulai menuliskan bagaimana kehidupan para Dominikan ini diterjemahkan dalam keseharian kampus. Ini akan menjadi sangat menarik. Bayangkan sebuah komunitas yang di dalamnya setiap orang berlomba untuk mencari Kebenaran.
Pikirkan sebuah kelompok mahasiswa yang setiap hari selalu antusias untuk mempelajari hal baru dan mendalami pengetahuan-pengetahuan yang hadir sejak jaman dulu. Bukankah itu yang kita cari di kampus? Bukankah belajar adalah tujuan kita masuk perguruan tinggi?
Lantas mengapa kemudian kita merasa “takut” untuk belajar. Lalu mengapa banyak waktu luang kita gunakan sia-sia? Saya mengandaikan setiap dosen, disela-sela tugasnya mengajar, memilih untuk membaca buku atau menulis. Ia juga bisa berdiskusi dengan rekan dosennya terkait riset terbaru ataupun masalah yang mereka temukan dalam pembelajaran. Bukankah ini lebih berarti daripada bergibah ria? Salah seorang filsuf, Jurgen Habermas, pernah mengatakan bahwa bergosip tidaklah melambangkan rasionalitas manusia.
Baca juga: Mgr. Agustinus Agus Ungkapkan Misi Pendidikan Keuskupan Harus ditangani dengan Serius
Saya membayangkan setiap prodi membuat komunitas belajar dosen, mengundang pembicara-pembicara yang relevan untuk mengasah kemampuan setiap dosen. Saya juga membayangkan dosen dan mahasiswa, setelah kelas reguler selesai, mendiskusikan topik-topik sosial-politik-psikologi-humaniora-ekonomi dan lainnya.
Pikirkan situasi dimana mahasiswa protes kepada kampus karena kurangnya buku atau artikel yang bisa mereka baca di perpustakaan. Bayangkan diskusi akademis mahasiswa di kampus sungguh terbuka. Imajinasikan dosen dan mahasiswa saling mengkritisi gagasan dalam suatu debat akademis. Tidak ada saling sakit hati karena merasa “ditelanjangi” argumentasinya secara ilmiah. Internet digunakan maksimal untuk mempelajari metode atau ilmu pengetahuan baru dari tempat lain. Pikirkan.
Bukankah setiap kita kemudian menjadi sangat cemerlang?
Ini juga berlaku pada kesadaran bahwa kampus ini dibangun atas semangat persaudaraan. Setiap kita yang memutuskan bergabung di kampus ini adalah saudara. Kita tidak akan meninggalkan satu sama lain.
Maka jika ada mahasiswa atau dosen yang menjadi juara serta mewakili kampus, itu pertama-tama bukan karena kecemerlangan dosen atau mahasiswa itu semata. Itu adalah buah dari sikap komunitas yang saling mendukung dalam persaudaraan.
Baca juga: Fr. Mikael Ardi Akhir Masa Top di STKIP Pamane Talino
Mereka yang mewakili kampus adalah mereka yang kita percaya dan kita dukung. Sebaliknya, mereka yang mewakili kampus tidak akan sampai pada titik tanpa dukungan kita.
Persaudaraan dalam kampus ini juga berarti membuka ruang bagi perkembangan setiap orang. Saya pernah bicara ke Romo Robini: “Mo, saya tidak tertarik untuk mendidik anak-anak di sini menjadi juara dalam banyak perlombaan di manapun”. Romo Robini terdiam. Saya melanjutkan: “Saya lebih tertarik untuk membantu setiap mahaiswa di kampus ini untuk menjadi yang terbaik dalam versi mereka masing-masing. Saya percaya pada keunikan mereka. Saya tahu tidak semua mahasiswa bisa dapat IPK paling tinggi. Tapi saya mau membantu mereka untuk menjadi cemerlang. Setiap mereka!”.
Belum penutup
Inilah Karakter Pendidikan Dominikan yang saya tangkap. Ini belum semuanya. Ini baru sebagian kecil. Tulisan ini tentu belum akan saya tutup. Saya mengandaikan institusi STKIP Pamane Talino, Akper Dharma Insan dan Akbid St. Benedicta (juga UNIKA St. Agustinus dari Hippo) menghidupi karakter ini. Tentu menakjubkan.
Di atas saya sengaja menggunakan redaksi “pikirkan, bayangkan, imajinasikan”. Mengapa? Karena mungkin kita belum menghidupi itu. Saya belum menghidupi itu. Tapi, just do it! Kita mulai dari sekarang.
Baca juga: Gedung Baru Semangat Baru STKIP Pamane Talino
Bersama dengan rekan pimpinan lainnya, saya mulai berupaya agar karakter tersebut dilaksanakan dalam kebijakan kampus. Contoh kecilnya, dalam pemberian Pamane Talino Award yang akan dimulai tahun ini, kami tidak hanya memberikan penghargaan bagi mahasiswa yang berprestasi secara akademis.
Kami membuka ruang bagi 14 Kategori Award lainnya. Apakah bisa bertambah? Bisa. Tergantung dari keberagaman mahasiswa sendiri. Kami menghormati dan mengembangkan keberagaman potensi mahasiswa.