Saturday, December 9, 2023
More

    Mengapa Santa Perawan Maria Menangis di La Salette?

    Di paroki La Salette, sedikit dan semakin sedikit saja umat yang ikut ambil bagian dalam Misa Kudus dan sakramen-sakramen diacuhkan. Kutuk dan sumpah serapah menggantikan doa; kebejadan moral menggantikan kemurnian; ketamakan dan kesenangan diri menggantikan kesalehan dan matiraga.

    MajalahDUTA.Com, Pontianak- Pada suatu hari Sabtu siang, 19 September 1846, dua orang anak, – Maximin Guiraud (11 tahun) dan Melanie Calvat (14 tahun) – sedang menggembalakan domba milik majikan mereka dekat La Salette di pegunungan Alpen, Perancis.

    Dampak Revolusi Perancis yang telah meneror Gereja, darah yang tertumpah sepanjang masa berkuasanya Napoleon, meningkatnya sekularisasi pemikiran masyarakat dan maraknya kekacauan politik yang menyelimuti Eropa telah mengakibatkan kerusakan serius atas iman masyarakat.

    Baca juga: Dua Tahun Kebersamaan Komisi Komunikasi Sosial Paroki Singkawang

    Di paroki La Salette, sedikit dan semakin sedikit saja umat yang ikut ambil bagian dalam Misa Kudus dan sakramen-sakramen diacuhkan. Kutuk dan sumpah serapah menggantikan doa; kebejadan moral menggantikan kemurnian; ketamakan dan kesenangan diri menggantikan kesalehan dan matiraga.

    Melanie Calvat, seorang dari delapan bersaudara, berasal dari sebuah keluarga miskin dan harus mulai bekerja ketika usianya tujuh tahun. Ia tidak pernah bersekolah, hanya tahu sedikit saja mengenai Katekese, jarang ke Misa, dan nyaris tak dapat mendaraskan Bapa Kami ataupun Salam Maria.

    Begitu pula, Maximin Guiraud, yang ibunya telah meninggal dunia dan tidak cocok dengan ibu tirinya, hanya mempunyai sedikit saja pendidikan agama dan tidak bersekolah.

    Baca juga: Paus saat Audiensi: Yesus model doa bagi murid-murid-Nya

    Ketika dalam sebagian besar penampakan di banyak daerah di seluruh dunia, Bunda Maria menampilkan dirinya tanpa banyak emosi, namun tidaklah demikian dengan penampakan di La Salette. Dalam penampakan kepada dua anak di desa itu, Santa Perawan Maria tampak menangis. Mengapa Bunda Maria menangis?

    Perempuan Cantik

    Ketika sedang menggembalakan domba, mereka melihat suatu cahaya kemilau yang lebih cemerlang dari matahari. Sementara mereka mendekat, mereka melihat seorang “Perempuan Cantik” duduk di atas sebuah batu karang dan menangis.

    Guiraud dan Melanie menggambarkan Santa Perawan Maria yang mereka lihat itu sebagai seorang perempuan yang duduk dengan siku bertumpu pada lutut dengan wajahnya yang tersembunyi di balik tangannya.

    Santa Perawan Maria tampak mengenakan jubah putih bertabur mutiara; dan celemek berwarna emas; sepatu putih dan mawar di sekitar kakinya dan hiasan kepala tinggi. Di lehernya ia mengenakan salib yang tergantung di rantai kecil.

    Dengan berurai air mata, perempuan itu berdiri dan berbicara kepada anak-anak dalam dialek Perancis setempat.

    Baca juga: Paus Fransiskus memuji biarawati AS untuk pekerjaannya menyambut para migran

    Menurut kisah anak-anak itu, salah satu alasan utama di balik kesedihan Bunda Maria adalah karena masyarakat setempat tidak menghormati dan tidak mentaati hari Minggu sebagai hari Tuhan dan hari istirahat.

    Setelah Revolusi Perancis tahun 1789, berbagai upaya dilakukan untuk menghapuskan hari Minggu sebagai hari istirahat. Sementara hari Minggu dikembalikan lagi sebagai hari istirahat tahun 1814, pada tahun 1830 Perancis kembali dalam kerusuhan politik sehingga hari Minggu kembali tidak dihormati.

    Baru pada tahun 1904 hari Minggu menjadi hari istirahat yang wajib bagi semua pekerja. Pada saat penampakan di La Salette, sebagian besar buruh di Perancis tidak membuat perbedaan antara hari Minggu dan sisa minggu kerja.

    Perawan itu menangis

    Bekerja pada hari Minggu mungkin tampak seperti hal sepele yang bisa menjadi alasan mengapa Bunda Perawan Maria menangis. Tetapi Gereja Katolik sejak awal selalu berusaha untuk memberi penekanan pada pentingnya kebutuhan manusiawi kita untuk istirahat. Ini mencapai kedalaman keberadaan kita baik pada tingkat fisik dan spiritual.

    Bunda Maria menyampaikan pesan berikut, “Datanglah kepadaku, anak-anakku. Janganlah kalian takut. Aku ada di sini untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Jika umatku tidak taat, aku akan harus terpaksa melepaskan lengan Putraku. Lengan-Nya begitu berat, begitu menekan, hingga aku tak lagi dapat menahannya.

    Baca juga: Proyek “Alasan untuk Harapan Kita” mempromosikan dialog Kristen-Muslim

    Berapa lama aku telah menderita demi kalian! Jika aku tidak menghendaki Putraku meninggalkan kalian, aku harus memohon dengan sangat kepada-Nya tanpa henti. Tetapi, kalian nyaris tidak mengindahkan hal ini.

    Tak peduli betapa baiknya kalian berdoa di masa mendatang, tak peduli betapa baiknya kalian berbuat, kalian tidak akan pernah dapat memberikan kepadaku ganti atas apa yang telah aku tanggung demi kalian.

    Aku memberikan kepada kalian enam hari untuk bekerja. Hari ketujuh Aku peruntukkan bagi DiriKu Sendiri. Namun, tak seorang pun hendak memberikannya kepada-Ku. Inilah yang menyebabkan lengan Putraku berat menekan.

    Mereka yang mengemudikan kereta tak dapat bersumpah serapah tanpa membawa-bawa nama Putraku. Inilah dua hal yang membuat lengan Putraku begitu berat menekan.

    Apabila panenan rusak, itu adalah karena kesalahan kalian sendiri. Aku telah memperingatkan kalian tahun lalu lewat kentang-kentang. Kalian mengacuhkannya. Malah sebaliknya, ketika kalian mendapati bahwa kentang-kentang itu telah membusuk, kalian bersumpah serapah, dan kalian mencemarkan nama Putraku.

    Kentang-kentang itu akan terus rusak, dan pada waktu Natal tahun ini tak akan ada lagi yang tersisa.

    Apabila ada pada kalian jagung, maka tak akan ada gunanyalah menabur benih. Binatang-binatang liar akan melahap apa yang kalian tabur. Dan semuanya yang tumbuh akan menjadi debu ketika kalian mengiriknya.

    Suatu bencana kelaparan hebat akan datang. Tetapi sebelum itu terjadi, anak-anak di bawah usia tujuh tahun akan diliputi kegentaran dan mati dalam pelukan orangtua mereka.

    Orang-orang dewasa akan harus membayar hutang dosa-dosa mereka dengan kelaparan. Buah-buah anggur akan menjadi busuk, dan biji-bijian akan menjadi rusak.”

    Sungguh, suatu pesan yang serius. Kemudian Bunda Maria mengatakan, “Apabila orang bertobat, maka batu-batu akan menjadi tumpukan gandum, dan kentang-kentang akan didapati tersebar di tanah.”

    Lalu ia bertanya kepada anak-anak, “Adakah kalian berdoa dengan baik, anak-anakku?”

    “Tidak, kami nyaris tak pernah berdoa sama sekali,” gumam mereka.

    “Ah, anak-anakku, sungguh amat penting memanjatkan doa, malam maupun pagi. Apabila kalian tak punya cukup waktu, setidak-tidaknya daraskanlah satu Bapa Kami dan satu Salam Maria. Dan apabila memungkinkan, berdoalah lebih banyak.”

    Bunda Maria kemudian kembali kepada penghukuman orang banyak, “Hanya ada sedikit perempuan tua yang pergi ke Misa pada musim panas. Semua lainnya bekerja setiap hari Minggu sepanjang musim panas.

    Dan pada musim dingin, ketika mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, mereka pergi ke Misa hanya untuk memperolok agama. Sepanjang Masa Prapaskah mereka berkerumun di kedai tukang daging bagaikan anjing-anjing yang kelaparan.”

    Ia mengakhirinya dengan mengatakan, “Anak-anakku, kalian akan menyampaikan ini kepada segenap umatku.” Kemudian ia berjalan pergi, mendaki sebuah jalanan yang tinggi, dan kemudian menghilang dalam cahaya yang cemerlang.

    Anak-anak mengulangi kisah ini kepada majikan masing-masing. Ketika orang banyak memastikan bahwa kedua kisah tersebut cocok sama, dan beberapa orang saleh menyimpulkan bahwa ini adalah penampakan Bunda Maria, maka anak-anak dikirim ke imam paroki La Salette.

    Imam mengisahkan kembali cerita anak-anak pada waktu Misa. Para pejabat pemerintahan memulai suatu penyelidikan dan anak-anak tetap bersikukuh pada kisah mereka walau diancam hukuman penjara.

    Suatu ketika saat menyelidiki tempat kejadian, seseorang mematahkan sebongkah dari batu karang di mana tadinya Santa Perawan duduk; maka memancarlah suatu sumber mata air di tempat yang tadinya kering terkecuali ketika saat salju mencair. Mata air ini terus memancar dengan berlimpah.

    Orang mengambil air dari sumber mata air dan memberikannya kepada seorang perempuan yang menderita suatu penyakit serius yang telah menahun; ia meminum sedikit dari air tersebut setiap hari sambil mendaraskan novena, dan pada hari kesembilan, ia disembuhkan!

    Kasus ini kemudian disampaikan kepada Uskup Bruillard dari Grenoble, yang memprakarsai suatu penyelidikan yang seksama atas penampakan. Sementara itu, semakin banyak mukjizat penyembuhan yang terjadi.

    Baca juga: HUT Tahbisan Episkopal ke-45 Emerius Mgr. Hieronymus Herculanus Bumbun, OFM. Cap- Keuskupan Agung Pontianak

    Mukjizat yang terbesar adalah sungguh mukjizat rohani: orang-orang ikut ambil bagian dalam Misa Kudus dengan setia dan mengakukan dosa-dosa mereka secara teratur. Mereka berhenti bekerja pada hari-hari Minggu dan kembali hidup saleh serta penuh devosi.

    Ziarah ke tempat ini menjadi semakin populer. Lima tahun kemudian, pada tanggal 19 September 1851, Uskup Bruillard menetapkan bahwa penampakan “memaklumkan dari dirinya sendiri segala tanda-tanda kebenaran dan bahwa umat beriman dibenarkan untuk mempercayainya sebagai dapat dipercaya dan tak diragukan.” Pertobatan sejati telah terjadi.

    Tahun berikutnya, suatu komunitas religius baru dibentuk, Misionaris dari La Salette. Juga, Uskup Bruillard meletakkan batu pertama untuk sebuah basilika baru. Para peziarah semakin banyak mengunjungi lokasi penampakan, dan Santa Perawan digelari sebagai “Pendamai orang-orang berdosa”, Reconcilatrix of sinners). Banyak orang kudus besar berdevosi kepada Santa Perawan Maria dari La Salette, di antaranya St Yohanes Bosco, St Yohanes Vianney, dan St Madeleine Sophie Barat.

    Pesan Suci Bunda

    Sementara kita merenungkan penampakan ini, pesan Bunda Maria masih sama relevannya dulu dan sekarang: Berapa banyak orang tidak punya waktu untuk Misa hari Minggu, tetapi menyempatkan diri untuk membaca koran, berolah-raga atau pergi shopping? Berapa banyak yang tidak mengakukan dosanya selama bertahun-tahun?

    Berapa banyak yang biasa mempergunakan nama Tuhan sebagai kata-kata carut-marut yang tidak pantas? Berapa banyak yang tidak berdoa setiap hari? Berapa banyak yang menyenangkan diri dengan hujat-hujat macam The Da Vinci Code?

    Baca juga: Wajah Baru Gua Maria Ratu Pencinta Damai Anjongan

    Pada tahun 1998 St Yohanes Paulus II menulis di seluruh surat apostoliknya tentang “Hari Tuhan,” dan menantikan Milenium Ketiga, melihat ketaatan pada hari Minggu sebagai bagian penting bagi masa depan iman kita.

    Dengan mengenal Gereja, yang setiap hari Minggu dengan penuh sukacita merayakan misteri yang darinya ia menghidupi dirinya, semoga pria dan wanita dari Milenium Ketiga semakin mengenal Kristus Yang Bangkit.

    Dan terus diperbarui dengan peringatan mingguan Paskah, semoga para murid Kristus menjadi semakin kredibel dalam memberitakan Injil keselamatan dan semakin efektif dalam membangun peradaban cinta.

    Jika kita ingin menghibur Perawan yang sedih dan mengeringkan air matanya, kita perlu memeriksa hidup kita sendiri dan memeriksa diri soal bagaimana kita merayakan hari Sabat.

    Baca juga: Mgr Agustinus Larang Orang Muda Katolik Ikuti Praktik Ilmu Kebal

    Apakah hari Sabat benar-benar kita jadikan sebagai hari istirahat? Ini tidak hanya berarti ketiadaan tenaga kerja, tetapi yang terpenting, meninggalkan ruang yang pantas untuk ibadat spiritual dan kegiatan yang memberi kehidupan baru bagi tubuh dan jiwa kita.

    Di zaman ketika kecemasan dan depresi telah menjadi penyakit yang lumrah, mengapa kita tidak mengambil nasihat dan istirahat dari Tuhan? Bukankah seharusnya itu mudah untuk kita lakukan? (Sumber: yesaya.indocell[.]net, web.pewartasabda/ diolah: L-MD)

    Related Articles

    Stay Connected

    1,800FansLike
    905FollowersFollow
    7,500SubscribersSubscribe

    Latest Articles