MajalahDUTA.Com, Pontianak- Meneliti sebuah teks memang bukan perkara yang mudah. Perlu sedikit pengalaman dan juga pengetahuan di bidang sastra. Buku apa pun, termasuk Kitab Suci, tidak ditujukan kepada semua orang tanpa kecuali, melainkan kepada mereka yang tahu membaca dan sedikit banyak mampu memahami sebuah tulisan.
Bila seseorang saat ini belum pandai membaca dan karena itu tidak mau membaca pula, maka ia tidak pernah akan pandai membaca. Akan tetapi bila ia mau membaca, ia pasti akan semakin maju dalam kepandaian yang sangat bernilai itu. Kitab suci adalah sebuah tawaran penuh tantangan dan orang yang menerima nya suatu ketika akan memetik buah-buahnya yang
indah.
Kitab suci bukan sebuah buku yang dengan mudah dicerna dan dipahami. Para ahli yang paling berilmu sekali pun mengalami banyak kesulitan untuk memahaminya dengan tepat. Nasib mereka sebenarnya tidak jauh berdeda dengan orang-orang yang bukan akhli tafsir.
Tujuan Penelitian
Dalam bidang apa saja, TUJUAN mempunyai peranan yang sangat penting. Bila, misalnya seorang mau menikah, seharusnya ia ber tanya kepada diri sendiri: IIBuat apa saya mau menikah?l Kalau pertanyaan ini tidak dijawab dengan jelas dan tegas, janganlah ia heran bila pada suatu waktu ia akan mengalami kesulitan atau malahana kehilangan arah hidupnya.
Begitu pula halnya dalam usaha meneliti sebuah teks. Untuk menangkap maknanya dengan lebih tepat perlu direnungkan apa gerangan yang mau disampaikan penulisnya kepada sidang pembacanya. Perlu dipertanyakan, masalah apa kira-kira melatarbelakangi teks tersebut. Menjawab pertanyaan semacam ini sungguh tidak mudah namun perlu diupayakan. Bila tidak, maka pembaca mudah terperangkap dalam berbagai buah fantasinya sendiri.
Baca Juga: Mgr Agustinus Agus Ungkapkan Rendah Hati Harus Ditunjukkan dengan Perbuatan
Ada Dua Jenis Perangkap
Ada dua macam perangkap yang dihadapi peneliti teks Kitab Suci, yaitu 1) ia terlalu menyibukkan diri dengan KEJADIAN yang diki sahkan dalam teks, lalu nempertanyakan segala tetak bengeknya; 2) ia mulai sibuk dengan DIRINYA SENDIRI. Kedua perangkap ini sangat berbahaya. Kejadian apa saja yang diceriterakan dalam Kitab Suci tidak pernah diceriterakan demi kejadian saja melulu, melainkan karena diyakini (oleh umat beriman dan penulisnya) sebagai sesuatu tentang kejadian-kejadian yang dikisahkan dalam Kitab Suci, ia pasti akan mengalamai jalan buntu sebab kejadian-kejadian sering kali dilaporkan secara sangat skematis, singkat, tanpa rincian. Kejadian-kejadian itu sesungguhnya hanya semacam “batu loncatanll menuju kepada sesuatu yang lebih penting daripada peristiwa itu sendiri.
Bila seseorang dalam tahap penelitian mula bertanya-tanya apa yang mau disampaikan teks ini kepdanya secara pribadi, ia sebenarnya tidak meneliti teks itu lagi. la langsung berusaha mengak tualkannya. padahal ia belum menangkap maknanysa seadanya. la serupa dengan orang yang naik motor dan, karena tidak sabar, langsung memasukkan gigi ke tiga. Sebelum menjawab penanyaan “Apa yang mau disampaikan oleh Allah lewat teks ini kepada saya?”, terlebih dulu perlu dipahami arti masing-masing kata dan arti keseluruhan teks itu dalam benak penulisnya. Baru sesudahnya boleh dipertanyakan amanat Allah kepda diri sendiri. Peraturan dasariah ini jangan dilanggar.
Bila seseorang dalam tahap ini mulai menyibukkan diri dengan PAHAM KEAGAMAAN yang sudah dimilikinya dan yang mungkin tidak pernah ditinjaunya kembali, lalu berpegang padanya secara kaku, maka ada kemungkinan besar bahwa dalam teks yang dibacanya itu ia akan menemukan apa yang memang ingin ditemukannya, bukan apa yang ada didalamnya.
Baca Juga: Pernyataan Sikap dan Himbauan Terhadap Peristiwa Bom Bunuh Diri di depan Gereja Katedral Makassar
Amanat Penulis
Bila seseorang mau tahu apa kira-kira yang hendak dikatakan penulis terlebih dahulu ia harus menyadari bahwa setiap teks Kitab Suci adalah semacam PEMBERITAAN. Bila seseorang berkhotbah maka, biarpun ia menceriterakan suatu kejadian, ia pasti menceriterakannya dengan maksud tertentu. Kisah dipakainya sebagai SARANA, bukan sebagai TUJUAN. Apa yang menjad amanat utama Kitab Suci? apa inti pemberitannya? Hidup moral yang baik ?Pengetahuan keagamaan? Sejumlah perintah dan larangan yang perlu dihafal? Bukan. Sekali lagi bukan! Kitab Suci adalah kesaksia banyak orang beriman yang telah menyadari betapa Allah itu lain daripada yang diduga manusia.
Pola hidupNya sungguh lain, bahkan sering berlawanan dengan pola yang lazim dianut manusia. Oleh sebab itu, mereka berkhotbah, lalu menulis juga, untuk menyatakan visinya tentang Allah dan pola hidupNya itu. Mereka ingin menyadarkan para pendengar dan pembacanya bahwa yang salah pada manusia bukan pertama-tama hidup moral mereka, melainkan mentalitas dan visi hidup mereka. Percuma memperbaiki hidup moral bila sumbernya, yaitu mentalitas dan visi manusia, tetap tidak beres beres.
Membaca Kitab Suci dengan baik ialah semakin membiarkan diri diresapi oleh mentalitas dan visi yang dibentangkan di dalamnya. Hidup moral dan kelakuan praktis perlahan-lahan akan sehat dengan sendirinya bila dasar ini kuta dan sehat. Para penulis Kitab Suci justru mau memberntuk mentalitas dan visi yang tepat dan untuk itu mereka menggunakan segala macam akal teknik, terutama teknik narasi, yang sangat disenangi manusia segala zaman dan budaya. Bila mereka membertahukan sesuatu, mereka melakukannya untuk meluruskan paham manusia tentang Allah, tentang dunia, tentang manusia sendiri, dan tentang relasi-relasi yang harus dijalin oleh manusia dengan Allah, sesama dan alam.
Oleh karena itu, yang pertama-tama perlu dipertanyakan pembaca Kitab Suci dalam rangka usahanya untuk menangkap amanat suatu teks ialah: gambaran Allah macam apa yang disodorkan penulis? Lalu, siapakah sesungguhnya manusia itu dan apa yang kurang tepat padanya dalam relasinya dengan Allah dan dunia?
Selain itu, perlu disadari bahwa setiap teks Kitab Suci adalah pemberitaan yang ditujukan kepada UMAT BERIMAN YANG KONKRET di masa lampau, bukan ke- pada manusia yang hidup sekarang. Mungkin umat itu dikuasai suatu paham yang salah sehingga timbuh masalah.
Masalah konkret itu mau diatasi oleh penulis bukan pertama-tama dentgan suatu petunjuk yang jelas, yang setelah diutarakan harus langsung dipandang sebagai patokan mati yang tak boleh diganggu-gugat lagi, melainkan sebagai arah yang perlu ditempuh untuk mulai berpola hidup baru, ‘alu berjumpa dengan Allah, bersekutu denganNya, dan bersekutu dengan setiap sesama yang sama-sama dikasihiNya. Yesus sendiri enggan memberikan petunjuk-petunjuk konkret. Karena itu, pada waktu ditanya tentang perintah manakah yang terpenting, dengan tidak ragu-ragu sedikit pun Yesus mengutarakan perintah KASIH menyeluruh kepada Allah dan sesama. Kasih tidak pernah perlu diatur danmemang tidak bisa diatur. la tahu mengatur diri sendiri.
Bila semuanya ini sudah disadari, dengan sendirinya cara membaca Kitab Suci akan berubah dan jadi semakin tepat. Kitab Suci tidak akan dicari untuk menemukan didalamnya SESUATU, melainkan untuk menemukan di dalamnya ALLAH dan DIRI SENDIRI yang sebenarnya, yaitu Allah sejati dan diri sendiri menurut Rencana Allah.- (Sz).